0002. PERLUKAH KITA MENGUNJUNGI TEMPAT PENINGGALAN ISLAM BERSEJARAH ?

Saat ini, telah terjadi fenomena di tengah masyarakat, adanya pemahaman baru yang dilontar oleh sekelompok orang, agar umat Islam meninggalkan tradisi berziarah ke tempat-tempat peninggalan Islam bersejarah, karena tradisi itu dianggap bukan termasuk amalan yang disyariatkan oleh agama Islam. Hal semacam itu, kini mulai marak terjadi, sebagaimana yang berkembang di negara Saudi Arabiah.

Sebagai ilustrasi, adalah tradisi berziarah ke lembah Uhud, yang mana di tempat itu terdapat makam para syuhada yang meninggal pada saat perang Uhud di jaman Rasulullah SAW. Berziarah ke lembah Uhud ini adalah tradisi turun temurun yang telah ratusan tahun dilakukan oleh hampir seluruh jamaah haji dan umrah, khususnya yang berasal dari Indonesia.
Namun, kini di lembah Uhud, tepatnya di depan pintu halaman makam Sayyidina Hamzah bin Abdil Mutthalib, salah seorang panglima Islam dalam perang Uhud tersebut, terdapat beberapa muthawwi` asal Indonesia, yang ditugaskan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhaby untuk menghadang serta menghalau jamaah haji dan Umrah yang berdatangan ke tempat itu.
Muthawwi` adalah sebutan untuk polisi swasta di negara Saudi Arabiah. Di depan pintu makam Sayyidina Hamzah, sang muthawwi` berpidato dengan berapi-api seraya mengatakan, bahwa kedatangan jamaah haji dan umrah ke lembah Uhud untuk berziarah ke makam Sayyidina Hamzah tidaklah disyariatkan oleh Islam. karena itu, para jamaah haji dan umrah yang datang ke lembah Uhud adalah sia-sia, dan tidak mendapatkan pahala sedikitpun”, demikianlah kira-kira cuplikan pidato yang disampaikan oleh sang muthawwi’. Dengan digalakkan pidato semacam itu, tentunya sebagian jama`ah haji dan umrah yang datang dari kalangan awam, menjadi terpengaruh dan terpedaya.
Demikian itu, lantaran mayoritas jamaah haji dan umrah adalah tergolong awam dalam memahami hakikat syariat Islam, terlebih yang berkaitan dengan sejarah. Jika saja umat Islam mau mempelajari sedikit lebih mendalam tentang hakikat ziarah ke lembah Uhud, niscaya tidak akan mudah terpedaya oleh slogan-slogan pembodohan terhadap umat semacam itu.
Mayoritas umat Islam Indonesia adalah bermadzhab Sunni Syafi`i. Madzhab ini salah satunya mengajarkan betapa pentingnya upaya melestarikan budaya dan peninggalan para leluhur yang telah berjuang menegakkan agama Allah. Salah satu ajarannya adalah menganjurkan umat untuk menziarahi tempat-tempat bersejarah yang kental kaitannya dengan pelestarian syariat Islam.
Demi menangkal pengaruh negatif dari upaya pendangkalan aqidah, maka sudah selayaknya umat Islam membuka ulang ajaran syariat Islam yang berstandar pemahaman para ulama salaf.
Di dalam kitab shahih Muslim pada urutan hadits nomer 1393, diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW tatkala melihat gunung Uhud, beliau SAW bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Uhud adalah gunung yang mencintai kita, dan kita juga mencintainya “. Sedangkan dalam kitab shahih Bukhari pada urutan hadits nomer 3675, diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersama shahabat Abu Bakar Asshiddiq, Umar bin Khatthab, dan Utsman bin Affan ra, suatu saat berziarah dan naik ke gunung Uhud, tiba-tiba gunung Uhud itu bergoncang dengan sendirinya, lantas Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Tenanglah wahai Uhud, sesungguhnya di atasmu ada Nabi, Asshiddiq, dan dua orang (yang bakal) mati syahid” .
Jika diteliti dengan seksama, maka masih banyak riwayat yang menerangkan keistimewaan ziarah ke lembah Uhud. Kedatangan Rasulullah SAW bersama ketiga orang shahabat setianya ke atas lembah Uhud, adalah sebagai bukti betapa mulianya amalan berziarah ke lembah Uhud ini. Jadi mengikuti perilaku Rasulullah SAW untuk berziarah ke gunung lembah adalah termasuk sunnah Nabi SAW.
Allah berfirman dalam surat Al-ahzab ayat 21 yang artinya: “Sungguh di dalam diri pribadi Rasulullah itu, terdapat teladan yang baik bagi kalian “. Ayat ini bersifat umum, bahwa yang dimaksud keteladanan pada diri Rasulullah SAW adalah meneladani setiap gerak-gerik beliau SAW, termasuk yang bersifat manusiawi, seperti tata cara makan, tata cara bepergian, kesenangan beliau SAW dalam memilih warna pakaian, termasuk juga kedatangan beliau SAW ke gunung Uhud.
Pada ayat di atas, Allah tidak membatasi misalnya “fi ibadati rasulillahi uswatun hasanah” (di dalam ibadah Rasulullah, terdapat teladan yang baik), tetapi secara umum Allah menyebutkan “fi rasulillahi uswatun hasanah” (pada diri pribadi Rasulullah terdapat teladan yang baik).
Ayat ini menunjukkan bahwa segala amalan umat Islam yang diniati mengikuti dan meneladani perilaku Rasulullah SAW, adalah termasuk amalan sunnah yang diperintahkan oleh Allah. Sedangkan umat Islam yang mengamalkan salah satu dari ayat suci Alquran, serta mencontoh perilaku Rasulullah SAW, pasti tidak akan sia-sia baik di dunia apalagi di akhirat, dan pasti mendapatkan pahala yang besar dari Allah. Karena mengamalkan isi Alquran dan Hadits Nabi SAW inilah hakikat dari bersyariat Islam.
Dari peristiwa ini, maka semakin jelas bagi umat Islam adanya upaya pembodohan terhadap umat Islam, yang dlakukan oleh para muthawwi` yang kini gencar menghalangi-halangi para jamaah haji dan umrah agar tidak berziarah ke lembah Uhud.
Padahal Rasulullah SAW justru mengajak tiga orang shahabatnya untuk berziarah ke lembah Uhud, bukan sekedar mendatangi lembahnya, melainkan mendaki gunung tersebut. Hal ini beliau SAW lakukan, karena beliau SAW sangat mencintai gunung Uhud yang bersejarah itu. Perlu diingat pula, bahwa Beliau SAW mendatangi lembah Uhud ini, karena tidak lepas dari keberadaan makam pamanda Beliau SAW yang juga sangat dicintainya, yaitu Sayyidina Hamzah bin Abdil Mutthalib ra. Untuk membuktikan argumentasi ini, perlu kiranya membuka ulang peristiwa perang Uhud, yang terjadi pada awal-awal tahun hijrah Rasulullah SAW ke kota Madinah. Karena disitulah Ummat islam dapat mengenang Sayyidina Hamzah bin Abdil Mutthalib ra.
(Penulis adalah alumni Makkah-Madinah 1983-1991, merangkap sebagai Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami, Singosari Malang)
SAYYIDINA HAMZAH BIN ABDIL MUTTHALIB,
PAMANDA RASULULLAH SAW
Rasulullah SAW memandang dengan penuh duka dan kesedihan, tatkala menyaksikan penderitaan yang dialami oleh Sayyidina Hamzah bin Abdil Mutthalib, sang pahlawan sekaligus sebagai panglima perang Uhud, akibat tancapan tombak dan perbuatan mutilasi yang dilakukan oleh Wahsyi si budak milik Hindun di saat perang Uhud berkecamuk.
Penderitaan itu pula yang mengantarkan Sayyidina Hamzah ra menjadi syahid hingga mendapat predikat sebagai pemimpin syuhada yang mati di medan peperangan. Beliau adalah pemimpin syuhada di dunia maupun di akhirat.
Di saat Rasulullah SAW berada dalam suasana duka dan kesedihan itu, beliau SAW bersumpah : “Jikalau ada kesempatan bagiku, maka akan aku cincang tujuh puluh orang dari mereka orang-orang kafir Quraisy”. Namun, pada akhirnya Allah mengingatkan beliau SAW dengan menurunkan firman-Nya agar membatalkan sumpahnya itu, sebagaimana yang telah diterangkan dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, yang artinya : “Jika kalian akan membalas, maka balaslah senada dengan penyiksaan yang mereka lakukan terhadap kalian, tetapi jika kalian bersabar maka hal itu lebih baik bagi orang-orng yang sabar” (surat An-nahl ayat 126).
Dengan turunnya ayat ini, maka Rasulullah SAW lebih memilih bersabar dengan tidak membalas perilaku kaum kafir Quraisy, sekalipun hati beliau dalam kedukaan yang sangat mendalam, mengingat Sayyidina Hamzah, adalah satu-satunya pamanda beliau SAW yang menyatakan masuk Islam secara terang-terangan, sekaligus ikut berjuang dan berperang bersama Rasulullah SAW.
Demikianlah, sejak peristiwa itu terjadi, maka setiap kali Rasulullah SAW berziarah ke makam Sayyidina Hamzah ra, di lembah gunung Uhud, beliau SAW selalu mengucapkan salam khusus : “Assalamu `alaikum bimaa shabartum fa ni`ma `uqbad daar” (Selamat atas dirimu dengan kesabaran yang engkau jalani, sesungguhnya balasan di akhirat adalah kenikmatan yang terbaik).
Lihatlah, Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada umat Islam tentang bagaimana tata cara berziarah khusus ke makam Sayyidina Hamzah sang pemimpin para syuhada, yaitu dengan cara mengucapkan salam khusus yang disesuaikan dengan isi ayat Alquran, karena turunnya ayat itu juga khusus untuk pamanda beliau SAW.
Bukankah ajaran Rasulullah SAW tentang ziarah ke makam Sayyidina Hamzah ini, teramat istimewa dalam pandangan syariat Islam? Tidakkah sangat naif jika para muthawwi` yang bertebaran di sekitar lembah Uhud, tiba-tiba mengkampanyekan keyakinan mereka dengan mengatakan bahwa berziarah ke makam Sayyidina Hamzah tidaklah disyariatkan di dalam Islam? Memang demikianlah ajaran yang selalu mereka lontarkan di depan jamaah haji dan umrah asal Indonesia.
Permasalahan yang timbul, jika keteladanan Rasulullah SAW dalam berziarah, baik ke gunung Uhud maupun ke makam Sayyidina Hamzah, sudah tidak dianggap lagi sebagai amalan sunnah yang disyariatkan di dalam Islam, maka apakah mereka akan mengatakan bahwa syariat Islam yang benar adalah berteladan kepada pribadi pendiri aliran Wahhaby? Atau mengikuti keyakinan para tokoh kontemporer beraliran Wahhaby Saudi Arabiah lainnya?
Sebut saja misalnya perilaku pelarangan kepada jamaah haji dan umrah, agar tidak berziarah ke lembah Uhud, tidak berziarah ke makam Sayyidina Hamzah, tidak berziarah ke pemakaman Baqi’, pemakaman Ma’la, tidak berziarah ke Masjid Quba, dan pelarangan-pelarangan lainnya yang menjadi trade mark kaum Wahhaby. Kira-kira yang semacam inikah ajaran syariat Islam yang sebenarnya?
Tentu, umat Islam dapat menyimpulkan, serta mengambil sikap antara meneladani perilaku Rasulullah SAW, yang beliau SAW sendiri melakukan ziarah ke lembah Uhud, atau mengikuti ajaran Wahhaby yang justru melarang umat Islam berziarah ke tempat-tempat peninggalan Islam bersejarah. Antara mengikuti ajaran Rasulullah SAW berziarah ke makam para shalihin seperti Sayyidina Hamzah, yang mana beliau SAW juga memberi contoh bagi umat, untuk mengucapkan salam khusus saat berziarah ke makam Sayyidina Hamzah ra, atau meneladani tokoh-tokoh Wahhaby yang melarang umat Islam berziarah ke makam Sayyidina Hamzah ra tersebut, dan yang mengatakan bahwa ziarah ke makam para shalihin bukan termasuk amalan sunnah yang disyariatkan Islam.
Untuk selanjutnya, semoga Allah selalu memberi petunjuk kepada seluruh umat Islam Indonesia, yang tetap teguh memegang madzhab Sunni Syafi’i, sehingga keutuhan dan persatuannya sebagai penghuni mayoritas di negeri ini, akan tetap lestari untuk selamanya. Allahumma amiin. (PejuangIslam via Ganjar Aja Setiawan).
Sumber :
http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=33

Pos terkait