PERTANYAAN :
Assalamu’alaikum wr wb. siti nurbaya suka sama syamsul yang agamis. Tapi ortu memaksa kawin dengan datuk maringgi orang kaya nan kikir, bagaimana sikap yang harus diambil siti nurbaya ? dosakah jika ia memaksa kawin dengan syamsul ? [Nur Hasyim Juragan EsKrim].
JAWABAN :
Waalaikumsalam Wr Wb. Ini seperti pernikahan ala Siti Nurbaya dahulu. Meskipun dikenal istilah haqq al ijbaar atau hak paksa seorang wali (Ayah atau Kakek) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa perlu izin dari pihak anak, namun ditilik dari Hak asasi manusia, aturan ini praktis bernuansa diskriminatif dan bertentangan dengan semangat kebebasan yang Islam datang untuk menghapus segala bentuk penindasan dan tradisi-tradisi ala Siti Nurbaya. Memang ada Hadits yang memberikan legitimasi kepada orang tua (wali) untuk menjodohkan putri gadisnya tanpa harus melalui kesepakatannya terlebih dahulu, dalam sebuah Riwayat Rasulullah SAW bersabda : “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya sedangkan anak gadis yang menikahkan adalah bapaknya” (HR. Ad-Daruquthny).
Redaksi hadits ini menegaskan bahwa hak nikah seorang anak gadis berada ditangan ayahnya (wali mujbir) namun bisa terealisasinya hadits ini dengan ketentuan syarat yang amat memberatkan pada pihak ayah, diantaranya sebagai berikut :
1. Tidak ada kebencian nyata antara ayah dan anak gadisnya
2. Tidak ada kebencian nyata antara calon suami dan anak gadis
3. Menjodohkan dengan laki-laki yang selevel (kufu’) dengan anak gadis
4. Memilih calon suami yang sanggup memenuhi kewajiban membayar mahar (mas kawin)
5. Menikahkan dengan mahar standar (mitsli)
6. Mahar harus dibayar kontan
Dari ketentuan-ketentuan syarat diatas untuk empat syarat yang pertama apabila tidak dapat terpenuhi salah satunya maka prosesi akad pernikahannya dianggap tidak sah kecuali sebelumnya ada kerelaan dan perizinan oleh pihak gadis sedangkan dua syarat terakhir apabila tidak terpenuhi tidak sampai mempengaruhi keabsahan pernikahan.
Imam al-Bukhari berkata: Mu’adz bin Fadhalah memberitahu kami, ia berkata : Hisyam memberitahu kepada kami, dari Yahya dari Abu Salamah bahwa Abu Hurairah ra pernah menyampaikan hadits kepada mereka bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Tidaklah seorang janda dinikahkan sehingga diminta pertimbangannya dan tidak pula seorang gadis dinikahkan sehingga diminta izinnya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana pengizinan seorang gadis itu?” Beliau menjawab, “Yaitu, dia diam.”
Dari ‘Aisyah ra, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai seorang gadis yang akan dinikahkan oleh keluarganya, apakah perlu dimintai pertimbangannya?” Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Ya, dimintai pertimbangannya.” Lalu ‘Aisyah berkata, maka aku katakan kepada beliau, “Dia malu.” Rasulullah saw pun berkata, “Demikianlah pengizinannya, jika ia diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi saw bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya. Sedangkan seorang gadis dimintai izin dan pengizinannya adalah sikap diamnya.” (HR. Muslim)
Dari ‘Aisyah raa dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Mintalah izin kepada wanita dalam pernikahannya.” Dikatakan kepada beliau, “Sesungguhnya seorang gadis akan merasa malu dan diam.” Beliau bersabda, “Itulah izinnya.” (HR. An-Nasa-i dengan sanad yang shahih)
Imam al-Bukhari rahimahullah telah membuat bab tersendiri: “Bab Idzaa Zawwaja Ibnatahu wahiya Kaarihah fanikaahuhaa Marduudun (Bab Jika Seorang Bapak Menikahkan Anaknya, Lalu Menolak, Maka Nikahnya Batal).”
Imam al-Bukhari berkata, Isma’il memberitahu kami, dia berkata, Malik memberitahuku, dari ‘Abdurrahman bin al-Qasim dari ayahnya dari ‘Abdurrahman dan Mujammi’, dua putera Yazid bin Jariyah, dari Khansa’ bin Khidam al-Anshariyah bahwa ayahnya pernah menikahkannya sementara dia adalah seorang janda, lalu dia tidak menyukai hal itu, kemudian dia mendatangi Rasulullah saw, maka beliau pun membatalkan nikahnya.
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, dia berkata, “Pernah datang seorang remaja puteri kepada Nabi saw seraya berucap, “Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk meninggikan derajatnya.” Lebih lanjut, dia berkata, “Maka Nabi saw menyerahkan masalah tersebut kepada wanita itu, maka wanita itu pun berkata, ‘Aku tidak keberatan atas tindakan ayahku, tetapi aku ingin agar kaum wanita mengetahui bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini.’”(HR Ibnu Majah dengan sanad yang shahih)
Kesimpulan : Sesungguhnya pengertian wali mujbir dari Hadits di atas bukan berarti dia berhak memaksa anak gadisnya untuk menikah sesuai keinginan walinya, Musyawarah antara keduanya akan sangat dibutuhkan ketimbang semuanya berlangsung dengan penyesalan, bagaimanapun pernikahan dalam seumur hanya diinginkan sekali dan diharapkan semuanya menuju kearah rumah tangga SAKINAH MAWADDAH wa RAHMAH. Wallaahu A’lam bi Asshowaab… [Mujawwib : Masaji Antoro ].
REFERENSI : Syarh Shohih Bukhori Vol 7 Hal 257, Fath al-Bari Vol 1 Hal 230, Mughni al-Muhtaj Vol 4 hal 248, al-Madzaahib al-Arba’ah Vol 4 Hal 35.