0049. Hukum Jual Beli Dengan Sistem Kredit

PERTANYAAN :
Apakah pembelian barang dengan sistem kredit adalah RIBAWI, karena jika terlambat 1 – 2 hari maka pembayaran bertambah besar ? [Iking Iks].
JAWABAN :
Sebenarnya perdagangan yang tidak beresiko tinggi kearah ribawi memang dengan memakai system naqdan (kontan) namun demikian menjual barang dengan sistem kredit yang di kenal dalam fikih dengan istilah bai’ bi tsaman ajil (menjual barang dengan harga tempo) penjualan model seperti ini hukumnya sah-sah saja.
Saat terjadi penjualan barang dengan memakai sistem kredit yang perlu diperhatikan adalah adanya pilihan harga yang jelas dari kedua belah pihak, sehingga tidak terjadi penjualan satu barang dengan dua harga (bai’atun fi bai’ataini) yang dilarang dalam Hadits riwayat at-Tirmidzi. Semisal penjual bilang pada pembeli, “Aku jual barang ini kepada kamu dengan harga 1.000 kontan atau dengan harga 2.000 dengan tempo (kredit). Terserah kamu pilih harga yang mana.”
– Roudhotu Thoolibiin III/397 :
والثاني أن يقول بعتكه بألف نقدا أو بألفين نسيئة فخذه بأيهما شئت أو شئت أنا وهو باطل أما لو قال بعتك بألف نقدا وبألفين نسيئة أو قال بعتك نصفه بألف ونصفه بألفين فيصح العقد
Lihat juga : Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuh, V/147; Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil-Minhaj, 17/54
Catatan : Meskipun terjadi TAROODHI saling suka rela antara dua belah pihak (penjual-pembeli) dengan transaksi yang mereka lakukan itupun tidak berpengaruh terhadap rusaknya akad, artinya transaksinya tetap dianggap batal dan berkosekwensi wajibnya mengembalikan barang yang telah mereka terima.
Sedangkan transaksi kredit dengan praktek perjanjian pencabutan barang serta hangusnya uang cicilan disaat konsumen tidak mampu memenuhi kewajiban angsuran dalam jangka tertentu adalah tidak sah kecuali jika hal itu dilakukan di luar aqad (kharij al-aqd).
سلم التوفق ص : 65
واعلم ان الكلام وسيلة إلى المقاصد فكل مقصود محمود يمكن التوصل اليه بالصدق والكذب جميعا فالكذب فيه حرام لعدم الحاجة اليه وان أمكن التوصل اليه بالكذب ولم يمكن بالصدق فالكذب فيه مباح ان كان تحصيل ذلك المقصود مباحا وواجب ان كان المقصود واجبا فاذا اختفى مسلم من ظالم وسأل عنه وجب الكذب بإخفائه وكذا لو كان عنده أو عند غيره وديعة وسأل عنها ظالم قهرا وجب ضمانها على المودع المخبر. اهـ
حواشي الشرواني ج: 4 ص: 294
(وقوله في بيعة ) بفتح الباء اه ع ش (قوله بخلاف بألف الخ ) أي فإنه يصح ويكون الثمن ثلاثة آلاف ألف حالة وألفان مؤجلة لسنة اه نهاية )قوله وألفين لو زاد على ذلك فخذ بأيهما شئت الخ( ففي شرح العباب أن الذي يتجه البطلان وإن تردد فيه الزركشي لأن قوله فخذ الخ مبطل لإيجابه فبطل القبول المترتب عليه سم على حج اهـ
(قوله بألف نقدا وألفين إلي سنة الخ) قضيته بطلان ذلك وإن قبل بأحدهما معينا وهو الأوجه في شرح العباب وفاقا لمقتضى كلام الغزالي وغيره خلافا لما نقله ابن الرفعة عن القاضي من الصحة حينئذ وتخصيص البطلان بقبوله علي الإبهام أو بقبولهما معا .اهـ
المجموع ج: 9 ص: 364
الشروط خمسة أضرب أحدها: ما هو من مقتضى العقد بأن باعه بشرط خيار المجلس أو تسليم المبيع أو الرد بالعيب أو الرجوع بالعهدة أو انتفاع المشتري كيف شاء وشبه ذلك فهذا لا يفسد العقد بلا خلاف لما ذكره المصنف ويكون شرطه توكيداً وبياناً لمقتضاه الضرب الثاني: أن يشترط ما لا يقتضيه إطلاق العقد لكن فيه مصلحة للعاقد كخيار الثلاث والأجل والرهن والضمين والشهادة ونحوها، وكشرط كون العبد المبيع خياطاً أو كاتباً ونحوه فلا يبطل العقد أيضاً بلا خلاف بل يصح ويثبت المشروط الضرب الثالث: أن يشترط ما لا يتعلق به غرض يورث تنازعاً كشرط ألا يأكل إلا الهريسة، أو لا يلبس إلا الخز أو الكتان، قال إمام الحرمين وكذا لو شرط الإشهاد بالثمن وعين شهوداً وقلنا لا يتعينون فهذا الشرط لا يفسد العقد، بل يلغو ويصح البيع، هذا هو المذهب، وبه قطع إمام الحرمين والغزالي ومن تابعهما، وقال المتولي لو شرط التزام ما ليس بلازم بأن باع بشرط أن يصلي النوافل، أو رمضان أو يصلي الفرائض في أول أوقاتها بطل البيع لأنه ألزم، ما ليس بلازم، قال الرافعي مقتضى هذا فساد العقد في مسألة الهريسة ونحوها، والله سبحانه وتعالى أعلم الضرب الرابع: أن يبيعه عبداً أو أمة بشرط أن يعتقه المشتري ففيه ثلاثة أقوال الصحيح المشهور الذي نص عليه الشافعي في معظم كتبه وقطع به المصنف وأكثر الأصحاب، أن البيع صحيح طاعة لازم يلزم الوفاء به ولثاني يصح البيع ويبطل الشرط، فلا يلزمه عتقه والثالث يبطل الشرط والبيع جميعـاً همام من الشروط، والمذهب صحتهما
Dalam transaksi dikalangan kaum Hawa sering juga kita dengar istilah YARNEN (mbayar panen), YARDU (mbayar gadu), YARSEM (mbayar karo mesem). Apapun jenis transaksi seperti diatas kalau jelas akadnya maka SAH, yang tidak sah bila dijual dengan model akad “Aku jual barang ini kepada kamu dengan harga 1.000 kontan atau dengan harga 2.000 dengan tempo (kredit). Terserah kamu pilih harga yang mana.”
Bagaimana kalau beli barang dengan barang. Misal beli minyak goreng dengan beras ? Coba ana contekin macam-macam definisi akad/transaksi dalam fiqh :
قال الدارمي في جمع الجوامع و من خطه نقلت : إذا كان المبيع غير الذهب و الفضة بواحد منهما فالنقد ثمن و غيره مثمن و يسمى هذا العقد : بيعا  و إذا كان غير نقد سمى هذا العقد : معاوضة و مقايضة و منافلة و مبادلة  لان كان نقدا سمي : صرفا و مصارفة  و إن كان الثمن مؤخرا سمي : نسيئة  وإن كان المثمن مؤخرا سمي : سلما أو سلفا  و إن كان المبيع منفعة : سمي : إجارة  أو رقبة العبد له سمي : كتابة  أو بضعا سمي : صداقا أو خلعا انتهى

“Berkata Imam Daroomi dalam Kitab Jam’u Aljawaami’ :
~ Bila yang di jual tidak berupa emas dan perak sedang (alat pembayaran) dengan alat pembayaran emas dan perak (uang) maka alat pembayaran dinamakan harga sedang barangnya di namakan yang dihargai, dan transaksinya namanya jual beli
~ Bila alat pembayaran tidak berupa emas dan perak (uang, misalnya barang dengan barang) nama transaksinya Mu’aawadhoh/Muqooyadhoh/Munafalah/Mubadalah (barter)
~ Bila alat pembayaran berupa emas dan perak (auang) nama transaksinya pembelanjaan
~ Bila harga (uang) dibelakang nama transaksinya kredit
~ Bila barang di belakang nama transaksinya pesan
~ Bila barang berupa jasa nama transaksinya sewa
~ Bila barang berupa pembebasan hamba nama transaksinya kitaabah
~ Bila barang berupa BUDH’ (“hoho hihe” nya wanita) nama transaksinya mas kawin”
[ Asyabah 463 ]
 
Bolehkah jual beli barang dengan barang ? Diperbolehkan asal tidak terjadi RIBA FADHL (riba yang trjdi dalam masalah barter / tukar menukar benda). Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, tapi dari satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda
.ويسمى ربا الفضل لفضل أحد العوضين على الآخر
Di dalam masyarakat sering terjadi berbagai macam perdagangan ada yang sistim kontan ada juga yang sistim kredit / tempo, kalau mengkreditkan emas termasuk riba g pak ustad? Sama halnya dengan hukum diatas, Kalau saat transaksi pihak penjual berkata “Aku jual barang (emas) ini seharga 800.000 dengan kredit maka sah-sah saja“. Berbeda saat penjual bilang “Aku jual barang (emas) ini kepada kamu dengan harga 700.000 kontan atau dengan harga 800.000 dengan tempo (kredit). Terserah kamu pilih harga yang mana.” Kemudian antara penjual dan pembeli tidak mengadakan bentuk kesepakan transaksi yang disetujui dan berpisah, maka ini tidak boleh karena harga barang (emas) tersebut masih tidak di ketahui karenanya transaksi semacam ini di hukumi fasid (rusak), berbeda hukumnya dengan bila telah sepakat mengambil salah satu bentuk transaksi baik kontan/kredit sebelum keduanya berpisah….
Pada dasarnya jual beli saat buah belum nampak kebaikannya (masih muda/masih belum masak) tidak diperbolehkan karena masih rawan penyakit disamping akan menimbulkan gambling pada kedua belah pihak,. Berikut ketentuan jual beli buah dalam saat belum tampak kebaikannya menurut ketentuan syara’ :
1. Padi, jagung, semangka, terong sayuran, tidak di perbolehkan dijual sebelum tampak kebaikannya kecuali dipetik langsung atau dijual bersama tanahnya.
2. Kurma, kelapa dan buah dalam batang pohon lainnya, tidak diperbolehkan dijual sebelum tampak kebaikannya kecuali dipetik langsung atau dijual bersama batang pohonnya atau bersama tanahnya.
 
Solusi dalam mengatasi masalah pembelian buah yang masih belum tampak kebaikannya dan belum di mungkinkan untuk segera di potong bila memang hal semacam ini terjadi di lingkungan kita dan tidak dapat bagi kita menghindarinya :
1. Mengikuti pendapat Imam Syafii dengan Qoul Qadiimnya yang memperkenankan penjualan semacam padi meski masih dalam tangkainya asalkan bentuk bijinya telah mengeras (dapat diperkirakan rata-rata hasil buahnya di saat siap potong. [ al Majmu’ juz 5 hal 49 dan juz 10 hal 472 ].
2. Antara penjual dan pembeli tidak mengadakan akad jual beli tapi mengadakan akad saling hibah menghibahi.
– Siraaj Alwahhaab I/308 :
وكذلك الثمار قبل بدو الصلاح تجوز هبتها من غير شرط القطع بخلاف البيع

Wallaahu A’lamu Bis Showaab. [Masaji Antoro].

Pos terkait