PERTANYAAN  :
Si fulan punya isteri 3  rukun dan damai mereka hidup dalam rumah besar satu atap bersama anak-anak  mereka, malam jumat nanti dia ingin sesekali berfantasi dengan mencumbu 3  isterinya sekaligus dalam satu kamar, bolehkah hal itu dilakukannya ?  [Neil  Elmuna].
JAWABAN  :
Sedikit saya nukilkan  beberapa ibarot dari kitab asnal matholib  :
(  وَعَلَيْهِ أَفْرَادُ كُلٍّ ) مِنْهُنَّ ( بِمَسْكَنٍ لَائِقٍ بِهَا وَلَوْ  بِحُجُرَاتٍ تَمَيَّزَتْ مَرَافِقُهُنَّ ) كَمُسْتَرَاحٍ وَبِئْرٍ وَسَطْحٍ  وَمُرَقًّى إلَيْهِ ( مِنْ دَارٍ وَاحِدَةٍ ) أَوْ خَانٍ وَاحِدٍ.
Dan Kewajiban suami  terhadap setiap istri-istrinya memberi tempat tinggal yang layak (sesuai dengan  kemampuan suami). Bentuk tempat tinggal itu bisa dengan satu rumah untuk tiap  istri, atau berbentuk bilik (kamar/kavling) plus perlengkapannya.
فَيَحْرُمُ  عَلَيْهِ أَنْ يَجْمَعَهُنَّ بِمَسْكَنٍ وَلَوْ لَيْلَةً وَاحِدَةً إلَّا  بِرِضَاهُنَّ لِأَنَّهُ يُوَلِّدُ كَثْرَةَ الْمُخَاصَمَةِ وَيُشَوِّشُ الْعِشْرَةَ  .
Haram hukumnya meyatukan  semua isterinya dalam satu tempat dalam satu waktu, karena hal itu bisa memicu  percekcokan dan merusak hubungan satu sama lain. Kecuali bila ada keridloan  diantara mereka.
(  قَوْلُهُ إلَّا بِرِضَاهُنَّ ) إذَا جَمَعَهُنَّ بِمَسْكَنٍ وَاحِدٍ بِرِضَاهُنَّ  كُرِهَ لَهُ وَطْءُ إحْدَاهُمَا بِحَضْرَةِ الْأُخْرَى لِأَنَّهُ دَنَاءَةٌ وَسُوءُ  عِشْرَةٍ وَلَوْ طَلَبَهَا لَمْ تَلْزَمْهَا الْإِجَابَةُ وَلَا تَصِيرُ  بِالِامْتِنَاعِ نَاشِزَةً
Dan ketika semua isteri  telah meridloi disatukan dalam satu tempat oleh suaminya, itupun masih dihukumi  makruh bila suami sampai “menjima” salah seorangnya. Bahkan tidak termasuk  nusyuz bila istri menolak ajakan jima’ suami, seandainya jima’ itu dilakukan di  hadapan isteri yang lainnya. Tindakan / perlakuan suami seperti ini termasuk  DANAA-AH = kekeji/kehinaan (prilaku) dan termasuk perlakuan yang  jelek.
Ibarot lain dalam aliqna’  :
وليس  له أن يدعوهن لمسكن إحداهن إلا برضاهن ولا أن يجمعهن بمسكن إلا برضاهن ولا أن يدعو  بعضا لمسكنه ويمضي لبعض آخر لما فيه من التخصيص الموحش إلا برضاهنوَيُكْرَهُ وَطْءُ  وَاحِدَةٍ مَعَ عِلْمِ الْأُخْرَى بِهِ وَلَا تَلْزَمُهَا الْإِجَابَةُ ؛ لِأَنَّ  الْحَيَاءَ وَالْمُرُوءَةَ يَأْبَيَانِ ذَلِكَ وَمِنْ ثَمَّ صَوَّبَ الْأَذْرَعِيُّ  التَّحْرِيمَ .
Dalam beberapa sumber  rujukan yang saya temukan, redaksinya sangat mirip dan berkesimpulan hukum  menjimak di depan istri yang lain adalah makruh. Perlu dipahami pula, bahwa  kemakruhan itu terjadi di bawah keridloan semua istri-istrinya. Dan keridloan  pihak istri-istri berkonsekwensi kepada kemurahan hukum terhadap suami, sehingga  hukum makruh dirasa cukup atas tindakan suami. Lihat Al asybah :
الرضا  بالشيء رضا بما يتولد منه
Lalu kenapa masih makruh ?  Banyak hal yang dilibatkan dalam rangka bermu’asyaroh, dan yang paling penting  adalah ma’ruf (kebaikan) bagi semua pihak sebagai cara dan tujuan dari  mu’asyaroh itu sendiri.
WA’AASYIRUU HUNNA BIL  MA’RUUF Namun kemungkinan adanya penyelewengan atau penggeseran kearah munkar  dalam mu’asyaroh itu sangatlah potensial. Karenanya, daf’ul mafasid dijadikan  pagar agar bahaya munkar tidak sampai diinjak. Dan makruhlah yang menjadi  pagarnya. Berbeda jika istri-istrinya tidak meridloi suami melakukan jam’u  terhadap mereka. Ketika ini terjadi, maka menjima’ salah satunya dihukumi  haram.
مَا  حَرُمَ فِعْلُهُ حَرُمَ طَلَبُهُ
“Segala sesuatu yang haram  mengerjakannya maka haram pula menuntutnya”. [ Al asybah ]. Ketika suami  diharamkan mengumpulkan istri-istrinya karena tidak ada keridloan dari mereka,  maka diharamkan pula suami menuntut hal-hal setelahnya, jima’ misalnya. Di atas  adalah analisa penulis berdasarkan rumusan ibaroh dan beberapa qoidah fiqih.  Karena keterbatasan penulis, jelas semuanya sangat relative, dan bisa disanggah  berdasarkan dalil atau ibaroh yang sepadan.Di bawah ini, saya lampirkan juga  ibaroh tambahan. Lihat juga Tuhfatul muhtaj :
قَوْلُهُ  وَيُكْرَهُ إلَخْ ) ظَاهِرُهُ كَرَاهَةُ التَّنْزِيهِ وَبِهِ صَرَّحَ الْمُصَنِّفُ  فِي تَعْلِيقِهِ عَلَى التَّنْبِيهِ ا هـ مُغْنِي وَظَاهِرُ التَّعْلِيلِ الْآتِي  أَنَّ هَذَا الْحُكْمَ لَا يَخْتَصُّ بِالزَّوْجَاتِ بَلْ يَجْرِي فِي زَوْجَةٍ  وَسُرِّيَّةٍ وَفِي سُرِّيَّاتٍ فَلْيُرَاجَعْ ( قَوْلُهُ مَعَ عِلْمِ الْأُخْرَى  إلَخْ ) بَلْ يَحْرُمُ إنْ قَصَدَ إيذَاءَ الْأُخْرَى أَوْ لَزِمَ مِنْهُ رُؤْيَةٌ  مُحَرَّمَةٌ لِلْعَوْرَةِ م ر ا هـ سم عِبَارَةُ الرَّشِيدِيِّ قَوْلُهُ مَعَ  عِلْمِ الْأُخْرَى عِبَارَةُ غَيْرِهِ بِحَضْرَةِ الْأُخْرَى ا هـ وَمِنْ الْغَيْرِ  الْمُغْنِي  .
Intinya…Tentang kemakruhan  jimak itu zhohirnya sebatas makruh tanzih, namun apabila ada indikasi lain yang  negative seperti membuat istri yang lainnya tersakiti, atau bertendensi ke  melakukan kemungkaran seperti melihat aurat istri yang dijima’, maka hukum  makruh jadi gugur dan berubah menjadi haram. Keharaman yang dilakukan suami itu,  diperkuat oleh tashshih dari Imam Aladzro’I, beliau cenderung menganggap haram.  Lihat juga Tuhfatul muhtaj :
(  قَوْلُهُ وَلَا تَلْزَمُهَا الْإِجَابَةُ ) وَلَا تَصِيرُ نَاشِزَةً  بِالِامْتِنَاعِ ا هـ مُغْنِي .( قَوْلُهُ وَمِنْ ثَمَّ صَوَّبَ الْأَذْرَعِيُّ  إلَخْ ) وَيُمْكِنُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا بِأَنْ يَكُونَ مَحَلُّ التَّحْرِيمِ  إذَا كَانَتْ إحْدَاهُمَا تَرَى عَوْرَةَ الْأُخْرَى ا هـ مُغْنِي زَادَ  النِّهَايَةُ أَوْ قَصَدَ بِهِ الْإِيذَاءَ وَالْأَوَّلُ عَلَى خِلَافِهِ ا  هـ
Wallohu a’lam. Semoga  bermanfaat. [Yupiter  Jet].
			 
									








