Masalah menghajikan orang lain Pendapat ulama yang mengatakan boleh menghajikan orang lain, dengan syarat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia dan belum melakukan ibadah haji, atau karena sakit berat sehingga tidak memungkinkannya melakukan ibadah haji namun ia kuat secara finansial. Ulama Haanfi mengatakan orang yang sakit atau kondisi badanya tidak memungkinkan melaksanakan ibadah haji namun mempunyai harta atau biaya untuk haji, maka ia wajib membayar orang lain untuk menghajikannya, apalagi bila sakitnya kemungkinan susah disembuhkan, ia wajib meninggalkan wasiat agar dihajikan. Mazhab Maliki mengatakan menghajikan orang yang masih hidup tidak diperbolehkan. Untuk yang telah meninggal sah menghajikannya asalkan ia telah mewasiatkan dengan syarat biaya haji tidak mencapai sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Mazhab Syafi’i mengatakan boleh menghajikan orang lain dalam dua kondisi; Pertama : untuk mereka yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena tua atau sakit sehingga tidak sanggup untuk bisa duduk di atas kendaraan. Orang seperti ini kalau mempunyai harta wajib membiayai haji orang lain, cukup dengan biaya haji meskipun tidak termasuk biaya orang yang ditinggalkan. Kedua orang yang telah meninggal dan belum melaksanakan ibadah haji, Ahli warisnya wajib menghajikannya dengan harta yang ditinggalkan, kalau ada. Ulama syafi’i dan Hanbali melihat bahwa kemampuan melaksanakan ibadah haji ada dua macam, yaitu kemampuan langsung, seperti yang sehat dan mempunyai harta. Namun ada juga kemampuan yang sifatnya tidak langsung, yaitu mereka yang secara fisik tidak mampu, namun secara finansial mampu. Keduanya wajib melaksanakan ibadah haji.
Dalil-dalil :
1. Hadist riwayat Ibnu Abbas “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah “Wahai Rasulullah ayahku telah wajib Haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan apakah boleh aku melakukan ibadah haji untuknya?” Jawab Rasulullah “Ya, berhajilah untuknya” (H.R. Bukhari Muslim dll.).
2. Hadist riwayat Ibnu Abbas ” Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Rasulullah s.a.w. bertanya “Rasulullah!, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?. Rasulullah menjawab “Hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi” (H.R. Bukhari & Nasa’i).
3. “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata “Ayahku meninggal, padahal dipundaknya ada tanggungan haji Islam, apakah aku harus melakukannya untuknya? Rasulullah menjawab “Apakah kalau ayahmu meninggal dan punya tanggungan hutang kamu juga wajib membayarnya ? “Iya” jawabnya. Rasulullah berkata :”Berahjilah untuknya”. (H.R. Dar Quthni)
4. Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata “Labbaik ‘an Syubramah” (Labbaik/aku memenuhi pangilanmu ya Allah, untuk Syubramah), lalu Rasulullah bertanya “Siapa Syubramah?”. “Dia saudaraku, Rasulullah”, jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah haji?” Rasulullah bertanya. “Belum” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubramah”, lanjut Rasulullah. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Dar Quthni dengan tambahan “Haji untukmu dan setelah itu berhajilah untuk Syubramah”. Hukum menyewa orang untuk melaksanakan haji (badal haji): Mayoritas ulama Hanafi mengatakan tidak boleh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, seperti juga tidak boleh mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur’an. Dalam sebuah hadist riwayat Ubay bin Ka’ab pernah mengajari al-Qur’an lalu ia diberi hadiah busur, Rasulullah bersabda “Kalau kamu mau busur dari api menggantung di lehermu, ya ambil saja”.(H.R. Ibnu Majah). Rasulullah juga berpesan kepada Utsman bin Abi-l-Aash agar jangan mengangkat muadzin yang meminta upah” (H.R. Abu Dawud).
Sebagian ulama Hanafi dan mayoritas ulama Syafi’i dan Hanbali mengatakan boleh saja menyewa orang melaksanakan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya yang boleh diwakilkan, dengan landasan hadist yang mengatakan “Sesungguhkan yang layak kamu ambil upah adalah Kitab Allah” (Dari Ibnu Abbas H.R. Bukhari). dan hadist-hadiat yang mengatakan boleh mengambil upah Ruqya (pengobatan dengan membaca ayat al-Qur;an). Ulama yang mengatakan boleh menyewa orang untuk melaksanakan ibadah haji, berlaku baik untuk orang yang telah meninggal maupun orang yang belum meninggal. Ulama Maliki mengatakan makruh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, karena hanya upah mengajarkan al-Qur’an yang diperbolehkan dalam masalah ini menurutnya. Menyewa orang melaksanakan ibadah haji juga hanya boleh untuk orang yang telah meninggal dunia dan telah mewasiatkan untuk menyewa orang melakukan ibadah haji untuknya. Kalau tidak mewasiatkan maka tidak sah.
Syarat-syarat menghajikan orang lain :
1. Niyat menghajikan orang lain dilakukan pada saat ihram. Dengan mengatakan, misalnya, “Aku berniyat melaksanakan ibadah haji atau umrah ini untuk si fulan”.
2. Orang yang dihajikan tidak mampu melaksanakan ibadah haji, baik karena sakit atau telah meninggal dunia. Halangan ini, bagi orang yang sakit, harus tetap ada hingga waktu haji, kalau misalnya ia sembuh sebelum waktu haji, maka tidak boleh digantikan.
3. Telah wajib baginya haji, ini terutama secara finansial.
4. Harta yang digunakan untuk biaya orang yang menghajikan adalah milik orang yang dihajikan tersebut, atau sebagian besar miliknya.
5. Sebagian ulama mengatakan harus ada izin atau perintah dari pihak yang dihajikan. Ulama Syafi’i dan Hanbali mengatakan boleh menghajikan orang lain secara sukarela, misalnya seorang anak ingin menghajikan orang tuanya yang telah meninggal meskipun dulu orang tuanya tidak pernah mewasiatkan atau belum mempunyai harta untuk haji.
6. Orang yang menghajikan harus sah melaksanakan ibadah haji, artinya akil baligh dan sehat secara fisik.
7. Orang yang menghajikan harus telah melaksanakan ibadah haji, sesuai dalil di atas. Seorang anak disunnahkan menghajikan orang tuanya yang telah meninggal atau tidak mampu lagi secara fisik. Dalam sebuah hadist Rasulullah berkata kepada Abu Razin “Berhajilah untuk ayahmu dan berumrahlah”. Dalam riwayat Jabir dikatakan “Barang siapa menghajikan ayahnya atau ibunya, maka ia telah menggugurkan kewajiban haji keduanya dan ia mendapatkan keutamaan sepuluh haji”. Riwayat Ibnu Abbas mengatakan “Barangsiapa melaksanakan haji untuk kedua orang tuanya atau membayar hutangnya, maka ia akan dibangkitkan di hari kiamat nanti bersama orang-orang yang dibebaskan” (Semua hadist riwayat Daruquthni). Demikian, semoga membantu.
الحديث)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا : رواه مسلم(1149 )
المغني ابن قدامة جزء 3 ص185 :
فصل : ولا يجوز أن يستنيب من يقدر على الحج بنفسه في الحج الواجب إجماعا . قال ابن المنذر : أجمع أهل العلم على أن من عليه حجة الإسلام ، وهو قادر على أن يحج ، لا يجزئ عنه أن يحج غيره عنه ، والحج المنذور كحجة الإسلام ، في إباحة الاستنابة عند العجز ، والمنع منها مع القدرة ; لأنها حجة واجبة ، فأما حج التطوع ، فينقسم أقساما ثلاثة
أحدها ، أن يكون ممن لم يؤد حجة الإسلام ، فلا يصح أن يستنيب في حجة التطوع ، لأنه لا يصح أن يفعله بنفسه ، فبنائبه أولى .
الثاني ، أن يكون ممن قد أدى حجة الإسلام ، وهو عاجز عن الحج بنفسه ، فيصح أن يستنيب في التطوع ، فإن ما جازت الاستنابة في فرضه ، جازت في نفله ، كالصدقة . الثالث ، أن يكون قد أدى حجة الإسلام ، وهو قادر على الحج بنفسه ، فهل له أن يستنيب في حج التطوع ؟ فيه روايتان ; إحداهما ، يجوز . وهو قول أبي حنيفة ; لأنها حجة لا تلزمه بنفسه ، فجاز أن يستنيب فيها ، كالمعضوب . والثانية ، لا يجوز . وهو مذهب الشافعي ; لأنه قادر على الحج بنفسه ، فلم يجز أن يستنيب فيه ، كالفرض
شرح النووي على مسلم جزء 8 ص 27
والجمهور على أن النيابة في الحج جائزة عن الميت والعاجز الميئوس من برئه ، واعتذر القاضي عياض عن مخالفة مذهبهم – أي : المالكية – لهذه الأحاديث في الصوم عن الميت والحج عنه بأنه مضطرب ، وهذا عذر باطل ، وليس في الحديث اضطراب ، ويكفى في صحته احتجاج مسلم به في صحيحه
فتح الباري جزء 4 ص70
واتفق من أجاز النيابة في الحج على أنها لا تجزى في الفرض إلا عن موت أو عضَب – أي : شلل – ، فلا يدخل المريض ؛ لأنه يرجى برؤه ، ولا المجنون ؛ لأنه ترجى إفاقته ، ولا المحبوس ؛ لأنه يرجى خلاصه ، ولا الفقير ؛ لأنه يمكن استغناؤه
المجموع شرح المهذب جزء 7 ص 96
قال المصنف رحمه الله تعالى ( وتجوز النيابة في حج الفرض في موضعين ( أحدهما ) : في حق الميت إذا مات وعليه حج ، والدليل عليه حديث بريدة ( والثاني ) : في حق من لا يقدر على الثبوت على الراحلة إلا بمشقة غير معتادة ، كالزمن والشيخ الكبير ، والدليل عليه ما روى ابن عباس رضي الله عنه ، أن امرأة من خثعم أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت : يا رسول الله إن فريضة الله في الحج على عباده ، أدركت أبي شيخا كبيرا ، لا يستطيع أن يستمسك على الراحلة ، أفأحج عنه ؟ قال : نعم ، قالت أينفعه ذلك ؟ قال : نعم ، كما لو كان على أبيك دين فقضيته نفعه : ولأنه أيس من الحج بنفسه فناب عنه غيره كالميت ، وفي حج التطوع قولان ( أحدهما ) : لا يجوز ; لأنه غير مضطر إلى الاستنابة فيه ، فلم تجز الاستنابة فيه كالصحيح ( والثاني ) أنه يجوز ، وهو الصحيح ; لأن كل عبادة جازت النيابة في فرضها جازت النيابة في نفلها كالصدقة ، فإن استأجر من يتطوع عنه ، وقلنا : لا يجوز ، فإن الحج للحاج ، وهل يستحق الأجرة ؟ فيه قولان ( أحدهما ) : أنه لا يستحق ، لأن الحج قد انعقد له ، فلا يستحق الأجرة كالصرورة ( والثاني ) : يستحق ; لأنه لم يحصل له بهذا الحج منفعة ; لأنه لم يسقط به عنه فرض ولا حصل له به ثواب بخلاف الصرورة ، فإن هناك قد سقط عنه الفرض .
( فأما ) الصحيح الذي يقدر على الثبوت على الراحلة ، فلا تجوز النيابة عنه في الحج ; لأن الفرض عليه في بدنه ، فلا ينتقل الفرض إلى غيره إلا في الموضع الذي وردت فيه الرخصة ، وهو إذا أيس وبقي فيما سواه على الأصل ، فلا تجوز النيابة عنه فيه ( وأما ) المريض ، فينظر فيه ، فإن كان غير مأيوس منه لم يجز أن يحج عنه غيره ; لأنه لم ييأس من فعله بنفسه ، فلا تجوز النيابة عنه فيه كالصحيح فإن خالف وأحج عن نفسه ثم مات ، فهل يجزئه عن حجة الإسلام ؟ فيه قولان
أحدهما : يجزئه ; لأنه لما مات تبينا أنه كان مأيوسا منه :والثاني : لا يجزئه ; لأنه أحج وهو غير مأيوس منه في الحال ، فلم يجزه ، كما لو برئ منه ، وإن كان مريضا مأيوسا منه جازت النيابة عنه في الحج ; لأنه مأيوس منه فأشبه الزمن والشيخ الكبير :فإن أحج عن نفسه ثم برئ من المرض ، ففيه طريقان ( أحدهما ) أنه كالمسألة التي قبلها ، وفيها قولان ( والثاني ) أنه يلزمه الإعادة قولا واحدا ; لأنا تبينا الخطأ في الإياس ، ويخالف ما إذا كان غير مأيوس منه فمات ، لأنا لم نتبين الخطأ ; لأنه يجوز أنه لم يكن مأيوسا منه ، ثم زاد المرض ، فصار مأيوسا منه ، ولا يجوز أن يكون مأيوسا منه ، ثم يصير غير مأيوس منه
Waalahu a’alam. [Oleh Mbah Jenggot II, Wong Gendeng].
LINK ASAL :
www.fb.com/notes/232206810135468