PERTANYAAN :
Assalamu’alaikum. Apa hukum makanan yang berbahan dasar kodok, kepiting, yuyu atau rajungan dan hewan semacamnya yang (mungkin) ada yang bilang binatang yang hidup di dua alam. [Hamdan Hasan].
JAWABAN :
Wa’alaikumussalam. Kalau, yang kita tahu kepiting itu halal versi MUI dan saya ikut taqlid sama MUI, sedangkan kodok juga halal menurut madzhab Maliki jadi boleh makan kodok kalau kita pindah madzhab ?…mohon dikoreksi,.
Menurut imam Malik itu halal semua. [Rahmatul ummah juz 1 hlm 151].
Masalah kehalalan kepiting, memang telah menjadi polemik sejak lama, telah terjadi silang pendapat tentang hukum kepiting di kalangan ulama’. Berikut pendapat tersebut :
1. Pendapat yang Mengharamkan
Ulama’ yang mengharamkannya umumnya berkesimpulan dari pemahaman bahwa hewan yang hidup di dua alam, adalah haram dimakan. Misalnya, katak, penyu dan lainnya. Biasanya orang menyebutkan dengan istilah amphibi, atau dalam istilah fiqihnya disebut barma”i. Masalah keharaman hewan amphibi ini kita dapatkan salah satunya dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam Ar-Ramli. Di sana secara tegas disebutkan haramnya hewan yang hidup di dua alam. Namun sebenarnya, masalah keharaman hewan yang hidup di dua alam, juga masih diperselisihkan. Karena memang tidak ada ayat atau hadits yang menyebutkan keharaman hewan yang hidup di dua alam.
2. Pendapat yang Menghalalkan.
Pendapat kedua menyatakan tentang kehalalan kepiting, baik karena mereka memandang pengharaman terhadap hewan yang hidup di dua lalam adalah lemah, juga sebagian memastikan, bahwa kepiting bukanlah hewan ampibhi. inilah pendapat disampaikan ulama’ diantaranya Atha’dan Imam Ahmad.(Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah danAl-Muhalla 6/84 oleh IbnuHazm).
Kesimpulan
Pendapat bahwa kepiting itu bukan hewan dua alam dikemukakan oleh banyak pakar di bidang perkepitingan. Umumnya mereka memastikan bahwa kepiting bukan hewan amfibi seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit.
Tetapi tidak demikian halnya dengan kepiting. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di darat selama 4-5 hari, karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa bernapas. Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, dia mati. Jadi kepiting tidak bisa lepas dari air. Penjelasan bahwa kepiting bukan hewan amphibi disampaikan oleh ahli dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Sulistiono. Wallohu a’lam. [Awan Menatap Pelangi , Ghufron Bkl, Mbah Jenggot II].
Lampiran :
KEPUTUSAN FATWA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG KEPITING
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul. Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., Setelah
MENIMBANG
1. bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;
2. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hokum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.
MENGINGAT
1. Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain :
“Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah‐langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. al‐Baqarah [2]: 168).
”(yaitu) orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menhalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan! bagi mereka segala yang buruk… “(QS. al-A’raf [7]: 157).
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka? ” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik‐baik dan (buruan yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah jika kamu hanya kepada‐Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik ! dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada‐Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang‐orang yang dalam perjalanan panjang,………. ‘(QS. al‐Baqarah [2] : 172).
Kemudian Nabi menceritakan seorang laki‐laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak‐acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit ia berdoa, ‘Ya Tuhan, ya Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah swt. Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. (Nabi memberikan komentar), ‘Jika demikian halnya, bagaimana mumgkin ia akan dikabulkan doanya”… (HR. Muslim dari Abu Hurairah), “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ad! a hal‐hal yang musytabihat (syubhat, samar‐samar, tidak jelas halas haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati‐hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR. Muslim).
2. Hadis Nabi : “Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan) nya”.
3. (Qo’idah fiqhiyyah) • Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya
4. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI Periode 2001‐2005
5. Pedoman Penetapan Fatwa MUI
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtaj ila Ma’rifah Alfadza al-Minhaj, (t.t : Dar’al –Fikr, t.th) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian “Binatang laut/air , dan halaman 151-152 tentang binatang yang hidup dilaut dan di daratan.
2. Pendapat Syeikh Muhammad al-Kathib asSyarbaini dalam Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al-Minhaj, (t.t : Dar Al-Fikr, T.th), juz IV Hal 297 tentang pengertian “binatang laut/Air “, pendapat Imam Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawi dalam Minhaj Al-Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang binatang laut dan didaratan serta alasan (‘illah) hukum keharamannya yang dikemukakan oleh al-Syarbaini :
3. Pendapat Ibn al’Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al‐Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), Juz lll, halaman 249 tentang “binatang yang hidup di daratan dan laut”.
4. Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggota Komisi Fatwa) dalam makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasan yang disampaikannya pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29 Mei 2002 M. / 16 Rabi’ul Awwal 1421 H.
5. Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) dalam makalah Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scyllla spp) dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Kornisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002 M. antara lain sebagai berikut :
6. Ada 4 (empat) jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yaitu :
a. Scylla serrata,
b. Scylla tranquebarrica,
c. Scylla olivacea, dan
d. Scylla pararnarnosain.
Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan “kepiting”.
7. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan :
a. Bernafas dengan insang.
b. Berhabitat di air.
c. Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.
8. Kepiting termasuk keempat,jenis di atas (lili._angka 1) hanya ada yang : 9.
a. hidup di air tawar saja
b. hidup di air laut saja, dan
c. hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.
Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam : dilaut dan didarat :
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.
MEMUTUSKAN MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING
1. Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia.
2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana:, mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 4 Rabi’ul Akhir 1423 H. 15 Ju1i 2002 M
KOMISI FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
K. H. MA’RUF AMIN DRS. HASANUDIN, S.Ag.