0775. Tidak Ada Kewajiban Taat Dalam Wasiyat Kemaksiatan

PERTANYAAN :
Apakah wajib bagi seorang anak memenuhi wasiat orang tua nya yang melanggar hukum agama ? [Ahmad Riandy].
JAWABAN :
Tidak boleh melakukan wasiyat yang justru melanggar syariat, siapapun pemberi wasiyat itu. Tidak ada ketaatan untuk bermaksiyat / mendurhakai Alloh.
SEKEDAR BUAT PERHATIAN BAGI KITA SAAT KELAK MENJADI ORANG TUA DARI ANAK-ANAK KITA
قال تعالى: { أَطِيعُوا اللَّهَ } أي: اتبعوا كتابه { وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ } أي: خذوا بسنته { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } أي: فيما أمروكم به من طاعة الله لا في معصية الله، فإنه لا طاعة لمخلوق في معصية الله، كما تقدم في الحديث الصحيح: “إنما الطاعة في المعروف”. وقال الإمام أحمد: حدثنا عبد الرحمن، حدثنا همام، حدثنا قتادة، عن أبي مرابة، عن عمران بن حصين، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا طاعة في معصية الله” (6) . (6) المسند (4/426).
Allah Ta’ala berfirman “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. 4:59) dalam apa yang mereka perintahkan pada kalian dalam ketaatan pada Allah bukan dalam maksiat pada Allah karena tidak ada ketaan pada makhluk dalam menjalani maksiat pada Allah seperti dalam keterangan hadits shahih lalu “Sesungguhnya ketaatan hanya pada kebaikan”. Imam Ahmad berkata “Bercerita padaku Abdur rahman dari Hammam dari Abu Muraabah Imran Bin Husein dari Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam “Tidak ada ketaatan dalam maksiat pada Allah” (HR. Ahmad dalam Musnadnya IV/426). [ Tafsiir Ibn Katsiir II/345 ].
وَمَذْهَبُ الْحَنَابِلَةِ فِي ذَلِكَ كَمَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ حَيْثُ صَرَّحُوا بِأَنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِلْوَالِدَيْنِ فِي تَرْكِ تَعَلُّمِ عِلْمٍ وَاجِبٍ يَقُومُ بِهِ دِينُهُ مِنْ طَهَارَةٍ وَصَلاَةٍ وَصِيَامٍ ، وَإِنْ لَمْ يَحْصُل مَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنَ الْعِلْمِ بِبَلَدِهِ فَلَهُ السَّفَرُ لِطَلَبِهِ بِلاَ إِذْنِ أَبَوَيْهِ (1) .
(1) الفتاوى الهندية 2 / 189 ، 5 / 365 ، 366 ط . الأميرية 1310 هـ حاشية الدسوقي 2 / 175 ، 176 ، حاشية العدوي على شرح الخرشي 3 / 111 حاشية الجمل 5 / 190 ، 191 ، كشاف القناع 3 / 45 ، الإنصاف 4 / 123 .
Dan kalangan madzhab Hanabilah sama dengan kalangan Syafi’iyyah mengenai hal tersebut, mereka menjelaskan tidak ada ketaatan pada kedua orang tua dalam perintah meninggalkan mencari ilmu yang wajib ia kuasai untuk menegakkan agamanya seperti masalah bersuci, shalat, dan puasa. Bila pengetahuan mengenai hal-hal tersebut tidak mampu ia dapatkan didaerahnya maka wajib baginya pergi keluar daerah untuk menguasainya meskipun tanpa restu kedua orang tuanya. [ Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah XXVIIII/84 ].
قَال الأَْوْزَاعِيُّ : لاَ طَاعَةَ لِلْوَالِدَيْنِ فِي تَرْكِ الْفَرَائِضِ ، وَالْجُمَعِ ، وَالْحَجِّ ، وَالْقِتَال ؛ لأَِنَّهَا عِبَادَةٌ تَعَيَّنَتْ عَلَيْهِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ إِذْنُ الأَْبَوَيْنِ فِيهَا كَالصَّلاَةِ (1) .
Berkata al-Auzaa’i “Tidak ada ketaatan pada kedua orang tua dalam perintah meninggalkan aneka kewajiban, perkumpulan islami, haji dan berperang (jihad) karena kesemuanya adalah ibadah yang menjadi keharusan baginya maka tidak menjadi bahan pertimbangan izin kedua orang tua sebagaimana shalat”. [ Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah XVI/134 ].
وقال يوسف بن أسباط وسفيان الثوري رحمهما اللّه : لا طاعة للوالدين في الشبهة ،
Yusuuf Bin Asbaath dan Sufyan ats-Tsauri berkata “Tidak ada ketaatan pada perintah kedua orang tua dalam menjalankan hal-hal yang syubhat (hal yang antara haram dan halalnya tidak jelas). [ Quwwah al-Quluub Fii Mu’aamalah al-Mahbuub II/473 ]. Wallaahu A’lamu Bis Showaab. [Masaji Antoro, Alif Jum’an Azend].

Pos terkait