PERTANYAAN  :
Assalamualaikum, sering  terjadi, jika kita memesan suatu barang, kita diminta uang DP (panjeran), kalau  kita tak ngambil pesanan uang kita diambil, pertanyaannya,  dinamakan akad  apakah di atas, dan uang tersebut dinamakan uang apa ? makasih. [Rosyid  Abdi].
JAWABAN:
Wa’alaikumsalam. JUAL BELI  SISTEM PANJER (UANG MUKA)
A.  DEFINISI
Uang muka dalam istilah  fiqih dikenal dengan al-‘Arabuun
الْعَرَبُونُ
Kata ini memiliki padanan  kata (sinonim) dalam bahasa Arabnya yaitu, ‘Urbuun (الْعُرْبُونُ), dan juga ‘Urbaan  (الْعُرْبَانُ). Secara bahasa artinya  yang jadi transaksi dalam jual beli. Berkata penulis kitab Al Mishbah Al Munier  (hal. 401),“Al Arabun dengan difathahkan huruf ‘Ain dan Ra’nya.Sebagian ulama  menyatakan, yaitu seorang membeli sesuatu atau menyewa sesuatu dan memberikan  sebagian pembayarannya atau uang sewanya kemudian menyatakan,‘Apabila transaksi  sempurna maka kita hitung ini sebagai pembayaran dan bila tidak maka itu untukmu  dan aku tidak meminta kembali darimu.’ Dikatakan Al ‘Urbun dengan wazan ‘Ushfur  dan Al ‘Urbaan dengan huruf nun asli. Al Ashma’i menyatkan, Al-’Urbun adalah  kata ajam (non arab) yang diarabkan.
Bentuk jual beli ini dapat  diberi gambaran sebagai berikut :
Sejumlah uang yang  dibayarkan dimuka oleh seseorang pembeli barang kepada si penjual. Bila  transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga  pembayaran. Kalau tidak jadi, maka menjadi milik si penjual.Atau seorang pembeli  menyerahkan sejumlah uang danmenyatakan, “Apabila saya ambil barang tersebut  maka ini adalah bagian dari nilai harga dan bila saya tidak jadi mengambil  (barang itu), maka uang (DP) tersebut untukmu.”
Atau seorang membeli barang  dan menyerahkan kepada penjualnya satu dirham atau lebih dengan ketentuan  apabila si pembeli mengambil barang tersebut, maka uang panjar tersebut dihitung  pembayaran dan bila gagal maka itu milik penjual. Jelas disini bahwa sistem jual  beli ini dikenal dalam masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang  jadi.
B. HUKUM  JUAL BELI SISTEM PANJER (UANG MUKA)
Dalam permasalahan ini para  ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat :
1. Jual  beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah
Inilah pendapat mayoritas  ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Al Khothobi  menyatakan, “Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli ini.  Malik, Syafi’i menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits dan karena  terdapat syarat fasad dan Al Ghoror Juga hal ini masuk dalam kategori memakan  harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yi (madzhab Abu  Hanifah -pen) menilainya tidak sah.”
Ibnu Qudamah menyatakan,  “Ini pendapat Imam Malik,Al Syafi’i dan Ash-hab Al Ra’yi dan diriwayatkan juga  dari Ibn Abbas dan Al Hasan Al Bashri.”
Dasar argumentasi mereka di  antaranya :
a. Hadits Amru bin Syuaib,  dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata,
ِ  نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ  (1)
Rasulullah shollallohu  ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka. (HR. Abu Daud dan  di Dhifkan oleh Ibn Hajar)
Imam Malik menyatakan, “Dan  menurut yang kita lihat –wallahu A’lam- (jual beli) ini adalah seorang membeli  budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan, ‘Saya berikan kepadamu  satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka  uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu.’
b. Jenis jual beli semacam  itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi  si penjual tanpa ada kompensasinya.
Sedangkan memakan harta  orang lain hukumnya haram sebagaimana firman Allah : “Hai orang-orang yang  beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,  kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara  kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha  Penyayang kepadamu.” (Qs. An Nisaa’ 4: 29)
Imam Al Qurthubi dalam  Tafsirnya (5/150) menyatakan,“Diantara bentuk memakan harta orang lain dengan  bathila dalah jual beli dengan panjar (uang muka). Jual beli ini tidak benar dan  tidak boleh menurut sejumlah ahli fiqih dari ahli Hijaz dan Iraq, karena  termasuk jual beli perjudian, ghoror, spekulatif, dan memakan harta orang lain  dengan batil tanpa pengganti dan hadiah pemberian dan itu jelas batil menurut  ijma’.
c. Karena dalam jual beli  itu ada dua syarat batil: syarat memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan  barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha. Padahal  Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak boleh ada hutang dan  jual beli dan dua syarat dalam satu jual beli.” (HR Al Khomsah).
Hukumnya sama dengan hak  pilih terhadap hal yangtidak diketahui (Khiyaar Al Majhul). Kalau disyaratkan  harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah.  Demikian juga apabila dikatakan, “Saya punya hak pilih. Kapan mau, akan saya  kembalikan dengan tanpa dikembalikan uang bayarannya. Ibnu Qudamah menyatakan,  “Inilah qiyas (analogi).”
Pendapat ini dirojihkan Al  Syaukani dalam pernyataan beliau, “Yang rojih (kuat) adalah pendapat mayoritas  ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah ada dari beberapa jalan periwayatan  yang saling menguatkan. Juga karena hal ini mengandung larangan dan hadits yang  terkandung larangan lebih rojih dari yang menunjukkan kebolehan sebagaimana  telah jelas dalam ushul Fiqih…”‘Illat (sebab hukum) dari larangan ini adalah  jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid; salah satunya adalah syarat  menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila pembeli gagal  membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila  tidak terjadi keridhoan untuk membelinya.
2. Jual  beli ini diperbolehkan
Inilah pendapat madzhab  Hanabilah dan diriwayatkan kebolehan jual beli ini dari Umar, Ibnu Umar,Sa’id  bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin. Al Khothobi menyatakan, “Telah  diriwayatkan dari IbnuUmar bahwa beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga  diriwayatkan dari Umar. Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya  dan menyatakan, ‘Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini adalah  pendapat Umar, yaitu tentang kebolehannya.’ Ahmad pun melemahkan (mendhoifkan)  hadits larangan jual beli ini, Karena terputus.
Wallaahu A’lamu Bis Showab.  [Masaji  Antoro].
– Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah  IX/93-94 :
بَيْعُ  الْعَرَبُونِ   التَّعْرِيفُ :
1  – الْعَرَبُونُ بِفَتْحَتَيْنِ كَحَلَزُونٍ ، وَالْعُرْبُونُ وِزَانُ عُصْفُورٍ ،  لُغَةٌ فِيهِ . وَالْعُرْبَانُ بِالضَّمِّ لُغَةٌ ثَالِثَةٌ (1) ، بِوَزْنِ  الْقُرْبَانِ (2) . وَأَمَّا الْفَتْحُ مَعَ الإِْسْكَانِ فَلَحْنٌ لَمْ  تَتَكَلَّمْ بِهِ الْعَرَبُ (3) .
وَهُوَ  مُعَرَّبٌ (4) . وَفَسَّرُوهُ لُغَةً : بِمَا عُقِدَ بِهِ الْبَيْعُ (5)  .
وَفِي  الاِصْطِلاَحِ الْفِقْهِيِّ : أَنْ يَشْتَرِيَ السِّلْعَةَ ، وَيَدْفَعَ إِلَى  الْبَائِعِ دِرْهَمًا أَوْ أَكْثَرَ ، عَلَى أَنَّهُ إِنْ أَخَذَ السِّلْعَةَ ،  احْتَسَبَ بِهِ مِنَ الثَّمَنِ ، وَإِنْ لَمْ يَأْخُذْهَا فَهُوَ لِلْبَائِعِ (6)  .
__________
(1)  المصباح المنير مادة : ” عرب “
(2)  مختار الصحاح مادة : ” عرب “
(3)  حاشية القليوبي على شرح المحلي 2 / 186
(4)  تحفة المحتاج 4 / 322
(5)  القاموس المحيط مادة : ” عربون ” باب النون فصل العين . فنونه أصلية . كما نص عليه  الفيومي
(6)  الشرح الكبير في ذيل المغني 4 / 58 ، وانظر كشاف القناع 3 / 195 ، وقارن بالشرح  الكبير للدردير 3 / 63 ، وشرح المحلي على المنهاج 2 / 186 ، وتحفة المحتاج 4 / 322  وبالتعريف الذي في المصباح المنير في المادة المذكورة نفسها
الْحُكْمُ  الإِْجْمَالِيُّ :
2  – وَالْفُقَهَاءُ مُخْتَلِفُونَ فِي حُكْمِ هَذَا الْبَيْعِ :
(  أ ) فَجُمْهُورُهُمْ ، مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ ،  وَأَبُو الْخَطَّابِ مِنَ الْحَنَابِلَةِ ، يَرَوْنَ أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ ، وَهُوَ  الْمَرْوِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَالْحَسَنِ كَمَا  يَقُول ابْنُ قُدَامَةَ ، وَذَلِكَ : لِلنَّهْيِ عَنْهُ فِي حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ  شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ ، قَال : نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ (1)
وَلأَِنَّهُ  مِنْ أَكْل أَمْوَال النَّاسِ بِالْبَاطِل ، وَفِيهِ غَرَرٌ (2) ، وَلأَِنَّ فِيهِ  شَرْطَيْنِ مُفْسِدَيْنِ : شَرْطَ الْهِبَةِ لِلْعُرْبُونِ ، وَشَرْطَ رَدِّ  الْمَبِيعِ بِتَقْدِيرِ أَنْ لاَ يَرْضَى (3) .
وَلأَِنَّهُ  شَرَطَ لِلْبَائِعِ شَيْئًا بِغَيْرِ عِوَضٍ ، فَلَمْ يَصِحَّ ، كَمَا لَوْ  شَرَطَهُ لأَِجْنَبِيٍّ (4) .
وَلأَِنَّهُ  بِمَنْزِلَةِ الْخِيَارِ الْمَجْهُول ، فَإِنَّهُ اشْتَرَطَ أَنَّ لَهُ رَدَّ  الْمَبِيعِ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ مُدَّةٍ ، فَلَمْ يَصِحَّ ، كَمَا لَوْ قَال : وَلِي  الْخِيَارُ ، مَتَى شِئْتُ رَدَدْتُ السِّلْعَةَ ، وَمَعَهَا دِرْهَمٌ (5)  .
__________
(1)  حديث : ” نهى عن بيع العربان . . . ” . أخرجه أبو داود ( 3 / 768 ط عزت عبيد دعاس )  . وضعفه ابن حجر في التلخيص ( 3 / 17 شركة الطباعة الفنية )
(2)  شرح الخرشي بحاشية العدوي عليه 5 / 78
(3)  شرح المنهج وحاشية الجمل عليه 3 / 72 ، وتحفة المحتاج 4 / 322 ، وشرح المحلي على  المنهاج 2 / 186 ، وانظر نيل الأوطار 5 / 154
(4)  الشرح الكبير في ذيل المغني 4 / 58
(5)  المرجع السابق 4 / 58 ، 59
3  – ( ب ) وَمَذْهَبُ الْحَنَابِلَةِ جَوَازُ هَذِهِ الصُّورَةِ مِنَ الْبُيُوعِ  .
وَصَرَّحُوا  بِأَنَّ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الأَْئِمَّةُ مِنْ عَدَمِ الْجَوَازِ ، هُوَ  الْقِيَاسُ ، لَكِنْ قَالُوا : وَإِنَّمَا صَارَ أَحْمَدُ فِيهِ إِلَى مَا رُوِيَ  عَنْ نَافِعِ بْنِ الْحَارِثِ ، أَنَّهُ اشْتَرَى لِعُمَرَ دَارَ السِّجْنِ مِنْ  صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ ، فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ ، وَإِلاَّ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا  ، قَال الأَْثْرَمُ : قُلْتُ لأَِحْمَدَ : تَذْهَبُ إِلَيْهِ ؟ قَال : أَيَّ شَيْءٍ  أَقُول ؟ هَذَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ .
وَضَعَّفَ  الْحَدِيثَ الْمَرْوِيَّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ فِي النَّهْيِ عَنْهُ (1) .  لَكِنْ قَرَّرَ الشَّوْكَانِيُّ أَرْجَحِيَّةَ مَذْهَبِ الْجُمْهُورِ ؛ لأَِنَّ  حَدِيثَ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَدْ وَرَدَ مِنْ طُرُقٍ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا  ، وَلأَِنَّهُ يَتَضَمَّنُ الْحَظْرَ ، وَهُوَ أَرْجَحُ مِنَ الإِْبَاحَةِ ، كَمَا  تَقَرَّرَ فِي الأُْصُول (2) .
			 
									








