1111. HADIST : PERINGATAN BAGI YANG BELAJAR HADITS DIGITAL

Belajar hadits secara instan lewat sarana elektronik memang
memudahkan. Zaman yang serba canggih, semua informasi mudah didapatkan
dan dipelajari. Begitu juga tentang materi-materi agama, khusus untuk
kajian agama –memang sangatlah diperlukan– ada satu perlakuan khusus dan
adab dalam mempelajarinya terutama yang berkaitan dengan nash-nash
sumber hukum Islam mutlak seperti ayat Al-quran dan al-hadits.

dalam mempelajari hadits, ada ada beberapa syarat dan ketentuan
mengingat satu kaidah syariat yang mungkin cukup ‘ekstrim’ bagi
kebanyakan umat islam. Salah satu kaidahnya syar’iyyah-nya yang mau saya
singgung yaitu:

Bacaan Lainnya

الحديث مضلة إلا للفقهاء

Al-Hadits itu menyesatkan, kecuali bagi fuqaha/ulama’ (Imam Syufyan bin Uyainah, guru Imam As-Syafi’i)

Maksud ‘menyesatkan’ disini adalah kurang memahami atau bahkan salah
paham terhadap apa yang dimaksudkan oleh lisan Nabi Muhammad -salallahu
alaihi wassalam. Karena dalam mendalami hadits, seseorang minimal sudah
memahami ayat al-quran, ulumul hadits (mustolahat hadits), asbabul-wurud
al-hadits, paham fiqh dasar, dan ada guru yang membimbing. Guru yang
membimbing pun benar-benar orang yang bisa dipertanggungjawabkan
keilmuannya haditsnya, berakhlak mulia, bertaqwa, wara’, dan benar-benar
tsiqah (terpercaya).

Sudah menjadi ketetapan Allah ta’ala, bahwasanya ilmu agamanya akan
dijaga oleh orang-orang yang diberi kepahaman agama yang lebih, maka
tugas kita sebagai ‘santri’ selayaknya bertanya dan bertanya kepada
orang yang lebih tahu, dalam hal ini para ulama’. Sebagaimana dalam
al-quran, Allah menasehati kita:

فاسألوا اهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

“Hendaklah kalian bertanya kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui” (QS. An-Nahl 16: 43)

Ketika orang awam membaca suatu hadits -bahkan yang berderajat shahih
sekali pun- dikarenakan ia tidak pernah belajar ‘syarah’ dan ulumul
hadits dari guru yang bersanad, maka sangat dikhawatirkan ia akan dengan
mudah menginstinbath hukum dari teks hadits sesuai pemikirannya
sendiri. Hal inilah yang dikhawatirkan oleh para ulama, karena suatu
hadits terkadang sudah ter-mansukh (terhapus dengan hadits yang lain
yang menjadi nashikh-nya), atau hadits tersebut bersifat umum
(‘am/general) yang perlu di-takhshis (dirinci) keterangannya lebih
lanjut oleh hadits yang lain, atau bahkan terkadang secara dzahir
haditsnya (leterlijk-nya) seolah-olah bertentangan dengan hadits yang
lainnya, padahal tidak demikian; atau ditemukan hadits dho’if –karena
ketidaktahuannya- sehingga ia serta-merta meninggalkannya, padahal
hadits dhaif tersebut masih bisa diangkat derajatnya dengan beberapa
syarat, atau hadits dhaif tersebut masih bisa dimanfaatkan sebagai
fadha-il amal.

Akibat tidak memiliki adab ini dalam mempelajari hadits, akhir-akhir ini
muncul orang-orang akhir zaman yang suka menyalahkan pendapat ulama
besar seperti pendapat para imam besar sekaliber Imam As-Syafi’i atau
Imam Al-Ghazali, bahkan kitab hadits shahih para mualif kutubus-sittah,
pun dikritik dan didho’ifkan. Golongan orang yang ‘bingung’ ini mudah
membid’ahkan dan menyalahkan kaum muslimin yang berbeda pendapat
dengannya. Naudzubillah minhum.

Oleh karena itu, ana –sebagai santri- turut prihatin dan menyarankan
agar para ‘pecinta hadits’ di dimanapun itu agar lebih konprehensif
dalam mempelajari hadits. Usahakan dekat dengan ulama dalam memahami
hadits, jangan gegabah dalam memutuskan suatu hal dalam syariat agama
yang mulia ini. Intinya jangan hanya membaca hadits lewat sarana-sarana
instans -seperti software, buku terjemahan, e-book dsb- tanpa bimbingan
guru yang kompeten, serta usahakan tetap dalam adab ketika membuka
file-file hadits. Saya tidak mengatakan bahwa semua sarana instan itu
tidak bermanfaat sama sekali, tetapi setiap perkara yang instan ada
dampak negatifnya jika tidak bijak dan hati-hati dalam memanfaatkannya.
Wallahu a’lam.

Pos terkait