1424. ISTILAH-ISTILAH DALAM MADZHAB SYAFI’I DAN SYSTEM PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM DALAM BAHTSU AL MASAIL

OLEH : UST. Muhammad Fadhil

Bacaan Lainnya

Qaul Qodim maksudnya adalah pendapat imam syafi’i yang di kemukakan ketika beliau tinggal di bagdad irak, sebelum hijrah ke mesir baik pendapat itu berupa tulisan, dalam kitab atau fatwa maupun dalam bentuk yang lain. Al-Syafi’i ketika di Irak menulis kitab berjudul al-Hujjah yang di riwayatkan oleh lima murid beliau : Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H), Abu Tsaur (w. 240 H), al-Za’faroni (w.260H), Karabisi (w.248H), dan Abu Ali al-Hasan (w. 260H).
Sedangkan Qaul Jadid : Pendapat al-Syafi’i ketika beliau bermukim di mesir, baik berupa kitab maupun fatwa,. kitab populer yang beliau tulis di mesir adalah al-Um. perowi kitab ini dan Qaul Jadid yang lain adalah al-Bawaithi (w.231H), al-Muzani (w.260H) dan masih ada enam perowi sekaligus murid al-Syafi’i yang lain.
antara Qaoul Qodim dan Qaoul Jadid dalam fikih syafi’i secara fungsional tak ubahnya seperti nasikh mansukh dalam kaidah hukum islam, walaupun tidak secara mutlak, masih harus di perhatikan korelasi Qaoul itu dengan kemaslahatan umum manusia.
selain dua istilah yang sangat populer dalam kitab-kitab mazhab Syafi’i ada beberapa istilah yang seharusnya di pahami oleh para ulama bermazhab syafi’i.
Istilah istilah itu adalah :
1) al-Nash (teks) adalah pendapat Syafi’i sendiri. pendapat beliau ini di sebut nash untuk menempatkan pendapat beliau pada posisi tertinggi dalam internal mazhab.
2) al-Manshush, pendapat yang kuat menurut penilaian al-Syafi’i. istilah ini di populerkan oleh murid-murid beliau guna mencari legitimasi dari gurunya.
3) al-Takhrij adalah jawaban al-Syafi’i dalam dua kasus yang hampir sama, tetapi ketentuan hukumnya di terapkan berbeda.
4) al-Awjuh pendapat murid al-Syafi’i sesuai dengan kaidah dan metodologi yang di kembangkan oleh al-Syafi’i walaupun ending ketetapan hukumnya berbeda dengan pendapat gurunya.
5) al-Thuruqi adalah pendapat murid-murid al-Syafi’i yang antara satu pendapat dengan yang lain berbeda istilah istilah di atas di pilih secara hirarkhisesuai urutannya. dalam al-Qaoul (jama al-Aqwal) di kenal istilah al-Adzhar, al-Dzohir, dan al-Masyhur. sedang dalam al-Awjuh berkembang istilah al-Ashoh dan al-Shohih yang kekuatannya berlaku secara hirarkhis. bersambung..
Istilah-Istilah dalam Fiqih Syafi’i 
Sebagaimana surat kabar dan juga buku-buku kontemporer, kitab turots pun mempunyai istilah khusus yang perlu kita ketahui sebelum membacanya. Ketika membaca kitab-kitab yang dalam kategori fiqih Syafi’i, kita akan menjumpai istilah-istilah khusus yang agak sulit kita pahami seperti; Aqwal, Awjah, Azhhar, Masyhur, Ashohh, Shohih, Qoul Qodim, Qoul Jadid, dan sebagainya.
Oleh sebab itulah, tak ada salahnya jika kita mengetahui apa sih makna sebenarnya istilah-istilah yang kedengerannya agak asing tersebut.
Dengan demikian, diharapkan agar kita tidak perlu lagi repot-repot memikirkan maksud dan maknanya. Adapun keterangannya sebagai berikut; 
1. Aqwal; istilah ini berarti perkataan Imam Syafi’i.
 2. Awjah; adalah perkataan pengikut madzhab Syafi’i. 
3. Azhhar; adalah suatu istilah yang dilontarkan Imam Syafi’i apabila terdapat perbedaan antara dua pendapat yang sama-sama kuat, maka yang lebih kuat dinamakan azhhar. 
4. Masyhur; adalah pendapat yang kurang kuat menurut Imam Syafi’i. 
5. Ashohh; suatu istilah yang dikemukakan pengikut madzhab Syafi’i apabila terdapat perbedaan dua pendapat yang sama-sama kuat, maka pendapat yang lebih kuat dinamakan ashohh. 
6. Shohih; ialah pendapat yang kurang kuat dari perbedaan pendapat di atas.
7. Nash; bila ada kata nash, maka yang dimaksud adalah nash/teksnya Imam Syafi’i dalam suatu masalah. 
8. Qoul Qodim; adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i ketika berada di Iraq. Di antara para fuqoha’ yang masyhur meriwayatkan pendapat ini adalah Karabisi, Za’faroni, Abu Tsaur, dan Ahmad ibnu Hanbal. 
9. Qoul Jadid; adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i setelah kepindahannya ke Mesir. Adapun di antara para fuqoha’ yang masyhur meriwayatkan perkataan ini aadalah al-Mazani, Buwaithy, Rabi’ al-Muradi, dan rabi’ al-Jizi. Pada tataran realitanya, qoul (pendapat) ini mendapat prioritas yang lebih daripada qoul qodim, kecuali perihal perpanjangan waktu shalat Maghrib hingga hilangnya mega-mega merah. 
10. Wa qila kadza; adalah pendapat lemah dari pengikut madzhab Imam Syafi’i. 
11. Wa fi qouli kadza; adalah pendapat Imam Syafi’i yang lemah menurut pengikutnya.
System pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail nahdlatul ulama’ (NU)
A. KETENTUAN UMUM
Yang di maksud dengan kitab adalah al kutub al mu’tabarah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran islam yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wal jama’ah (rumusan mu’tamar ke XXVII)
Yang di maksud dengan bermadzhab secara qauly adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup madzhab tertentu.
Yang dimaksud dengan bermadzhab secara manhajy adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab.
Yang dimaksud dengan qauly adalah pendapat imam madzhab
Yang di maksud dengan wajah adalah pendapat ‘ulama’ madzhab
Yang di maksud dengan taqrir jama’I adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu qaul/wajah diantara beberapa qaul/wajah.
Yang di maksud dengan ilhaq (ilhaq masail bi nadza’iriha) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah di jawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi)
Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa judul masalah maupun disertai pokok-pokok pikiran atau hasil pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan
Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu bahtsu al masa’il oleh pengurus besar syuriah NU, munas alilm ulama NU atau muktamar NU
SYSTEM PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM
1. Prosedur Penjawaban MasalahKeputusan bahtsu al masa’il dilingkungan Nahdlatul Ulama’ (NU) dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara Qauly. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
• Dalam kasus ketika jawaban dicukupi oleh ibarat kitab dan disana hanya ada satu qaul/wajah tersebut sebagaiman diterangkan dalam ibarat tersebut.
• Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana terdapat lebih dari satu qaul/wajah maka dilakukan taqrir jama’I untuk memilih salah satu qaul/wajah.
• Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan ilhaq al masa’il bi nadza’iriha secara jama’I oleh para ahlinya.
• Dalam kasus tidak satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath jama’I dengan prosedur bermadzhab secara manhajy oleh para ahlinya.
2. Hirarki dan sifat keputusan bahtsu al masa’il
• Seluruh keputusan bahtsu al masa’il dilingkungan nahdlatul ulama’ yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik yang diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun diluarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan
• Suatu keputusan bahtsu al masa’il dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh pengurus besar syuriah nahdlatul ‘ulama’ tanpa harus menunggu alim ulama’ dan muktamar
• Sifat keputusan bahtsu al masa’il tingkat munas dan muktamar adalah :
a. Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan / atau,
b. Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang lebih luas disegala bidang.
3. Kerangka analisis masalah
Terutama dalam memecahkan masalah social, bahtsu al masa’il hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah (yang sekaligus tercermin dalam hasil keputusan) antara lain sebagai berikut : 
• Analisa masalah (sebab mengapa terjadi kasus ditinjau dari berbagai factor,) antara lain : 
a. Factor ekonomi
b. Factor budaya
c. Factor politik
d. Factor social dan lainnya
• Analisa dampak (dampak positif dan negative yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang hendak dicari hukumnya ditinjau dari berbagai aspek) antara lain :
a. Secara social ekonomi
b. Secara social budaya
c. Secara social politik
d. Dan lain-lain
• Analisa hukum (fatwa tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya disegala bidang). Di samping keputusan fiqh/yuridis formal, keputusan ini juga memperhatikan pertimbangan islam dan hukum positif, yaitu :
a. Status hukum (al-ahkam al khamsah / sah-batal)
b. Dasar dari ajaran ahli sunnah wal jamaah
c. Hukum positif
• Analisa tindakan, peran dan pengawasan (apa yang harus dilakukan sebagai konsekwensi dari fatwa di atas) kemudian siapa saja yang melakukan, bagaimana kapan dan dimana hal itu hendak dilakukan, serta bagaimana mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai rencana.
a. jalur politik (berusaha pada jalur kewenangan Negara dengan sasaran mempengaruhi kebijakan pemerintah)
b. jalur budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat melalui media massa dan forum seperti pengajian dan lain-lain)
c. jalur ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat)d. jalur social lainnya (upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan dan seterusnya)
B. PETUNJUK PELAKSANAANI.
PROSEDUR PEMILIHAN QAUL/ WAJAH
1. Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang sama, maka diusahakan memilih satu pendapat.
2. Pemilihan pendapat dilakukan dengan : Memilih pendapat yang lebih kuat dan / atau pendapat yang lebih maslahah. 
Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan muktamar nahdlatul ulama’ ke 1 bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih :
1. Pendapat yang disepakati oleh al syaikhoni (imam nawawi dan rofi’i)
2. Pendapat yang dipegang oleh imam nawawi saja3. Pendapat yang di pegang oleh imam rofi’I saja
4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama’
5. Pendapat ulama’ yang terpandai
6. Pendapat ulama’ yang paling wara’
II. PROSEDUR ILHAQ
Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum di pecahkan dalam kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaq al masail bi nadza’iriha secara jama’I. ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ‘alaih dan wajah ilhaq oleh para mulhiq yang ahli
III. PROSEDUR ISTINBATH
Dalam hal ketika tidak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq bih dan wajah ilhaq sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinbath secara jama’I yaitu dengan mempraktekkan qawa’id al ushuliyyah dan qawaid al fiqhiyyah oleh para ahlinya.
Disadur dan dikutip dari kitab ahkamul fuqaha’
DIAMBIL DARI solusi problematika actual terbitan LTN PWNU jawa timur

Pos terkait