1480. KEAGAMAAN : PERIHAL GERAKAN SEMPALAN ISLAM

Sempal adalah kata kerja dari bahasa Jawa. Artinya patah dan terpisahnya dahan dari batang pohon, atau cabang dari dahan. Dengan bahasa Indonesia, sulit untuk menamai gerakan Islam yang memisahkan diri dari batang tubuh umat seagama.
Kata ‘pecahan’, umpamanya, mengandung pengertian sama besar antara yang memisahkan diri dan batang tubuh umat. Karenanya, digunakan kata ‘sempalan’ untuk menunjuk kepada fenomena, yang dalam bahasa Inggris disebut splinter groups.
Jumlahnya banyak, berukuran kecil-kecil, dan ada kecenderungan untuk memecah diri terus menerus dalam sebuah proses reaksi bersambung. Fenomena ini memunculkan diri dalam semakin banyaknya kelompok yang keras dan militan di kalangan muslimin berusia muda dimana-mana.
Di tahun sembilan belas enam puluhan, Nasser dibuat kaget dengan terbongkarnya kelompok untuk merebut kekuasaan di Mesir, untuk mengembalikan ‘pemerintahan Islam’ di bumi Nil.
Ternyata anggota kelompok itu masih muda-muda dalam usia, dan menjadi bagian dari elite negeri: seorang ahli fisika inti di lembaga yang mengelola persiapan pembuatan sebuah reaktor nuklir, seorang lagi perwira muda yang baru saja diangkat jadi perwira teladan, seorang lagi pegawai tinggi sebuah kementrian dan seterusnya.
Cerita gerakan sempalan di kalangan kaum muslimin muncul dari ketidakmampuan mencerna-kan dampak modernisasi yang semakin lama semakin laju tetapi timpang jalannya. Modernisasi yang menimbulkan ekses-eksesnya, termasuk ketidak-mampuannya memberikan jawaban tepat atas masalah-masalah yang ditimbulkannya sendiri.
Anak-anak muda yang sangat kecewa dengan buruknya ‘kenyataan’ dunia modern ini lalu mem-buang modernitas mereka, membenahi diri dengan tuntas dalam kehidupan beragama mereka, dan setelah itu dengan lantang menghardik orang lain yang seagama tetapi berbeda penghayatan akan ajaran agama mereka. Hardikan yang sangat lantang, karena dilontarkan dari keyakinan mem-bara akan benarnya sikap sendiri dan salahnya sikap orang lain.
Kalau baru sampai pada tingkat menghardik saja, belum sampai pada tingkat gerakan sempalan. Paling jauh baru mencapai tingkat pemuda pemberang: pemberang kepada dunia, kepada lingkungan sendiri yang terdekat, ataupun kepada batang tubuh umat.
Tingkat ‘sempal’ (splitntering stage) baru tercapai, bila keberangan itu ditujukan kepada diri sendiri: mengapakah harus takut memikul beban sepenuh-nya dalam melakukan pembenahan keluar? Mengapakah tidak berani menuntut pengorbanan terjauh dari diri sendiri untuk memperjuangkan apa yang diyakini sebagai kebenaran?
Lebih jauh lagi, mengapa masih bimbang untuk mempertahankan segala-galanya untuk sebuah ‘tindakan terakhir’ guna membela kebenaran?
Tingkat ‘sempal’ itu dicapai tatkala ada seseorang pemimpin yang berani melakukan koreksi total atas dirinya sendiri dan diri anggota kelompoknya: penataan kembali kehidupan kelompok secara menyeluruh. Ajaran agama dilaksanakan secara tidak pandang bulu, tanpa melalui proses pencernakan terlebih dahulu, yaitu dalam bentuk penafsiran oleh sang pemimpin. Dengan demikian, kebenaran Islam lalu dipersonifikasikan kedalam diri sang pemimpin. Apa yang dibenarkan pemimpin menjadi kebenaran Islam, dan tidak ada hak orang lain diluar untuk menyanggah sang pemimpin.
Lahirlah struktur ‘formal’ yang sekaligus memberikan identitas diri kepada pengikut, dan memungkinkan sang pemimpin untuk melakukan tindakan disipliner secara Intern atas diri mereka yang dianggap masih belum mampu berjuang. Maka diberikanlah akolade tertinggi bagi sang pemimpin, untuk melegitimisir kedudukannya sebagai pengarah perjuangan gerakan, sebagai pengaman dari kemungkinan penyelewengan intern, dan sebagai pelindung dari kemungkinan gangguan dari luar. Iman, amir, khalifah dan lain-lain gelar lagi.
Kekuasaannya tunggal, tidak mau berbagi tempat dengan orang lain. Kharisma yang dimiliki-nya mutlak, tidak ada tempat bagi keraguan dalam dirinya. Dan visi yang dikemukakannya adalah satu-satunya jendela penglihatan bagi para pengikutnya, tidak ada tempat bagi pandangan lain.
Laa dina illa bijama’atin, wala jama’ata lilla bi imaratin, wala imarata illa bi amirin (bi imamin, bi khalifatin dan seterusnya), demikianlah kredo yang memberikan legitimasi kepada kepemimpinan seperti ini: tak ada agama tanpa masyarakat, tak ada masyarakat tanpa pimpinan, tak ada pimpinan tanpa pemimpin (amir, iman, khalifah, dan sebagainya).
Fungsi keimanan seperti itu, di tambah mentalitas yang merasa senantiasa terancam, membawa kepada keyakinan messianistik akan peranan sang pemimpin dalam kehidupan: dialah sang penyelamat, ratu adil yang akan menghilangkan kebalauan, Imam Mahdi yang sudah dijanjikan Allah.
Pemberian fungsi seperti itu membawa keharusan kepada sang pemimpin untuk ‘menghasilkan’ sesuatu, dan apakah cara lebih untuk itu selain kekerasan?
Ternyata gerakan sempalan memang sulit diperkirakan dimana munculnya, bagaimana harus ditangani, dan tindakan preventif apa yang dapat dilakukan untuk mencegah meluasnya angkatan muda. Satu hal sudah jelas: ia tidak dapat ditangani secara gegabah, apalagi diidentifikasi sebagai sesuatu yang berlingkup luas dan mengancam keselamatan negara.
Gerakan sempalan dapat melakukan hal-hal yang membahayakan, tetapi tetap dalam kerangka terisolasi satu dari yang lain dan dalam lingkup kecil. Namanya saja sempalan, bagaimana sesuatu yang sempal dapat digeneralisasi mewakili batang pohon?
Ya, gerakan sempalan janganlah diterapkan pada batang tubuh umat. Nanti akan bertambah kekecewaan dalam kelompok-kelompok kecil di kalangan umat itu dan dari kekecewaan itu akan muncul lagi dorongan membuat gerakan sempalan baru.
Perlakukanlah batang tubuh umat sebagai sesuatu yang wajar. Nanti akan tumbuh sikap-sikap wajar pula dalam dialognya dengan modernisasi. Dan kalau sikap wajar bertambah banyak, akan lebih sedikit kecenderungan bersempal-sempalan.

[ DIKUTIP DARI KUMPULAN ARTIKEL GUS DUR oleh Hakam elChudrie ].

Pos terkait