MENGENAL HATI
(Fu`âd, Lubb, dan Qalb)
Oleh: Dr.KH. Syarif, S.Ag.MA (GURU YG DIMULIAKAN)
Bagian 1
Tulisan kali ini menyunting tiga terma yang dimuat teks-teks al-Qur`an yang selalu diartikan hati. Tiga term tersebut adalah “fu`âd, lubb/al-bâb, dan qalb”. Sebenarnya apa kepahaman yang dapat diambil darinya. Yang pasti tiga terma ini menunjukkan fungsi atau prilaku yang berbeda namun sesungunya ontologinya hanya satu. Signifikansi tulisan ini oleh karena nyaris semua amal ibadah yang diajarkan Islam menyangkut dan harus menjadi kinerja hati. Signifikansi pada konteks akhir ramadhan ini ialah berkaitan dengan ‘id al-fithri, kembali kepada fitrah. Jika ‘id berarti kembali, maka pertanyaannya, siapa yang kembali, kembali dari mana dan ke mana, mengapa harus kembali, kapan waktu kembali itu. Itu semua sangat terkait dengan dan harus berbicara hati.
Ada ungkapan dalam keseharian, ketika seorang anak hendak berpergian orang tuanya selalu memesankan “hati-hati ya nak”. Pesan ini menunjuk kepada supaya sang anak mesti menengok kepada suara hati, bertindak dengan kenerja hati. Dalam sebuah hadis diingatkan “inna Allah lâ yanzhuru ilâ shuwarikum walâ ilâ a’mâlikum walâkin yanzhuru ilâ qulûbikum wa niyyatikum, Allah tidak menilik rupa dan amalmu tetapi Allah menilik hati dan niyatmu”. Di sini letak signifikannya hadis yang lain bahwa “ segala amal sebagaimana niyat”. Tinggal kita secara akurat dan maksimal menunujuk dan mengerti ontologi dari niyat yang sesungguhnya dia adalah sangat tersangut dengan hati.
Term “hati” sebenarnya bukan sebagai arti langsung dari ketiga kata di atas. Kata “hati” masih sangat abstrak dan memang hanya sebagai ungkapan umum. Teks-teks al-Qur`an di antaranya mengungkapkan: Pertama, hati diungkap dengan kata fu`âd/af`idah sebanyak 16 kali. Kata ini sebenarnya berarti fungsi dari kata fâ`dah. Jika kata “fu`âd” diusung memiliki arti hati, maka artinya fu`âd itu adalah hati yang berfungsi tertentu pada bagian tertentu pada diri kita. Apa fungsi yang ditunjuk dengan kata “fu`âd” itu? Teks-teks al-Qur`an menerangkan bahwa kata “fu`âd” dengak kepada makna rasa, yang fungsinya lebih menyentuk fisik. Q.s. 32:9, 16:78, 67;23 menunjuk fungsi berbentuk pendengaran, penglihatan, dan rasa. Rasa (af`idah) ini mewakili bau pada hidung, rasa pada lidah, dan rasa pada kulit. Jadi af`idah ini ternyata makna hati yang menunjuk dan mengarah kepada wujud panca indra. Oleh karena itu “fu`ad” nanti menunjik pada kinerja manusia kategori “insân”, yaitu manusia berkategori substansi kiri (Q.s. 14:37). Bentuknya fu`âd ini berindikasi manusia yang memperturutkan hawa (Q.s. 14:43) atau sifat yang mensuport sifat iri dengki, hasud. Ini tidak mengherankan oleh karena panca indra ini memang sifanya fisikly, maka di natar pintunya adalah dengan angan-angan (Q.s. 15:2) yang erat dengan sifat dunia yang selalu kekurangan tertama dalam hal harta.
Adapun wujud panca indra ini pada ungkapan tiga terma “al-sam’a, seperti dapat kita simak dari keterangan teks Q.s. 17:36 “lâ taqfu mâ laisa laka bihî ‘ilmu inna al-sam’a wa al-abshâra wa al-af`idata kullu ulâ`ika kâna ‘anhu mas`ulâ, janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. Ada tiga kata dimuat teks di atas yaitu “al-sam`a, al-abshâr, dan al-af`idah”. Secara bahasa tiga itu adalah jama’, maka kata berikutnya ada kata “kullun, ulâ`ika” menandakan jamak. Tetapi kata berikutnya yang menggambarkan siapa yang bertanggung jawab, muncul kata “kâna, ‘anhu, mas`ûlan” menandakan bahwa yang bertanggungjawab itu adalah mufrad atau satu saja. Siapa yang satu itu?
Sebelum menjawab siapa yang satu itu, harus dijawab dulu pertanyaan “dari apa jadinya pendenganran, penglihatan, dan rasa itu”. Ternyata panca indra yang diwakili oleh tiga terma di atas adalah wujud jadi atau wujud nyata dari rûh. Teks Q.s. 32:9 misalnya menggambarkan “kemudian Dia menyempurnakan [kejadian] manusia dan meniupkan ke dalamnya roh [ciptaan]-Nya dan Dia menjadikan [ruh itu] bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, sedikit sekali kamu yang sedang bersyukur. Jadi sang satu dan dia yang bertanggungjawab atas perilaku panca infdra itu adalah rûh oleh karena, rûhlah yang membuat panca indra itu berfungsi. Artinya tanpa rûh panca indra tidak bisa apa-apa, pada orang tidur misalnya atau bahkan orang mati. Pengungkapan kata “af`dah” ini terkait langsung dengan kata “syukur” dalam teks-teks al-Qur`an, artinya kata “af`idah” menujuk bahwa yang harus disyukuri adalah satu-satu pemberian atau anugrah Allah kepada manusia adalah rûh. Oleh karena itu syukur yang ditilik oleh Allah adalah syukurnya orang-orang yang mengerti rûh, dan itu sangat sedikit (Q.s. 32:9 berkorelasi langsung dengan 17:85)
….bersambung.