Zaid Al Arobi
bagaimana pendapat antum sekaliann tentang niat ibadah yg di lafadzkan.……….……? mohon penjelasannya
JAWABAN :
>> Masaji Antoro
النية شرط للصوم ) أي : لا بد منها لصحته كما بأصله ؛ إذ هي ركن داخلة في ماهيته لما مر في الوضوء وغيره ومحلها القلب ولا تكفي باللسان وحده ولا يشترط التلفظ بها قطعا فيهما كذا قاله شارح وينافيه ما حكاه غيره من موجب التلفظ بالنية بطرده في كل عبادة وجبت لها نية ويصح تعقيبها بإن شاء الله إن قصد التبرك لا التعليق ولا إن أطلق ولا يجزئ عنها التسحر وإن قصد به التقوي على الصوم ولا الامتناع من تناول مفطر خوف الفجر ما لم يخطر بباله الصوم بالصفات التي يجب التعرض لها في النية ؛ لأن ذلك يستلزم قصده غالبا كما هو ظاهر وبه يندفع ما للأذرعي هنا .
( قوله أن موجب التلفظ ) أي : من أوجبه كردي ( قوله بطرده ) أي : وجوب التلفظ بالنية .
ولو عقب النية بقوله إن شاء الله بالقلب وباللسان فإن قصد به التبرك ووقوع الفعل بمشيئة الله تعالى لم يضر وإن قصد الشك لم تصح صلاته انتهت
Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu FIQH. Contoh melafadzkan Niyat adalah membaca “ushulli fardhush shubhi rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”, hal semacam ini biasa dibaca oleh kalangan Muslimin (terutama di Indonesia) sebelum Takbiratul Ihram artinya dibaca sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan Shalat dan bukan bagian dari rukun shalat.
Seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah Niyat dan takbiratul ihram dilakukan bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة ) ;
قال الشافع: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
“..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”
Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;
. (مقرونا به) أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به،
“..Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adl rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat”
Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير)
يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان
“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi’i, pada pembahasan (باب فرائض الصلاة) ;
النية، والتكبير، ومقارنة النية للتكبير
“Niat dan Takbir, niat bersamaan dengan takbir”
Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi’i (1/30) :
وتكون النية مقارنة للتكبير لا يجزئه غيره والتكبير أن يقول ألله أكبر أو الله الأكبر لا يجزئه غير ذلك
“dan adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir yaitu mengucapkan (ألله أكبر) atau ( الله الأكبر), selain yang demikian tidaklah cukup (bukan takbir).”
Jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan). Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk dalam bagian dari (rukun) shalat.
============
Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
– Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
– Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
– Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal (ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah”) saja sudah cukup.
Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) mengadung pengertian sebagai berikut (Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ayn),
. وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله
“Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.
وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة
“Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat” (al-Istihdar al-‘Urfiyyah).
Imam Al-Ibnu Rif’ah dan A-Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Al-Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas (Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ )) tidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus kepada kewas-wasan.
Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul Ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ).
Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah cukup dengan sSyarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ ).
Menurut pendapat IMAM MADZHAB selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek.
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu’ (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup”
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;
النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة)]
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”
==================
Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada bab باب فرائض الصوم
لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih), tempatnya niat didalam hati, dan tidak Syaratkan mengucapkannya tanpa ada khilaf”
Keterangan : pada bab Fardhu PUASA ini, mengucapkan niat tidak diSyaratkan artinya bukan merupakan Syarat dari puasa. Dengan demikian tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah. Demikian juga dengan shalat, melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan merupakan Syarat dari shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun shalat). Jadi, baik melafadzkan niat (talaffudz binniyah) maupun tidak, sama sekali tidak menjadikan shalat tidak sah, tidak pula mengurangi atau menambah-nambah rukun shalat.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج بشرح المنهاج) [II/12] :
والنية بالقلب
“dan niat dengan hati”
Al-Hujjatul Islam Al-’Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi’ fi Kaifiyatis Shalat ;
“niat dengan hati dan bukan dengan lisan”
Semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati (tidak ada cap bid’ah), niat Amalan hati atau niat dengan hati. Demikian juga dengan niat shalat adalah didalam hati, sedangkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula aktifitas hati (bukan Amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan. Niat dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat yang akan dilakukan. Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya sesuatu. Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;
” Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.
Sebagaimana juga dikatakan didalam kitab Fathul Qarib :
وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”
Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi’i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;
وهي قصد الشيء مقترناً بأول أجزاء فعله، ومحلها القلب. ودليلها قول النبي”إنما الأعمال بالنيات”
“(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; (“إنما الأعمال بالنيات”)”
Al-’Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج)
وهي شرعا قصد الشيء مقترنا بفعله وأما لغة فالقصد
“(niat) menurut syara’ adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut lughah adl menyengaja”
Maka, selagi lagi kami perjelas. Niat adalah Amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah Amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم)
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ) “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول : ” نويت العمرة ، أو نويت الحج
Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga Kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”
Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu’in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi’i, didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
“selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
“Aku (Imam Syafi’i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur’an maka itu hukum Allah (al-Qur’an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur’an dan Sunnah)”
==================
Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah Amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.
Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul ‘Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;
. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-’Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan “Syafi’i Kecil” [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ
خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi’iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
“(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati..”
Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-’Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ;
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ
“dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai”
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ;
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
“Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)”
Al-’Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat ;
ويندب النطق قبيل التكبير
ليساعد اللسان القلب
“dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati”
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] ;
(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله: ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati”
Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :
“(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)”
Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
“Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun tempatnya niat didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu sunnah”
===================
Dalam kitab Nihayatuz Zain Syarh Qarratu ‘Ain, Al-’Allamah Al-’Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
“adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati”
Kitab Faidlul Haja ‘alaa Nailur Roja, Al-’Alim Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudz Salam Al-Hajiniy ;
قوله واللفظ سنة) اللفظ بمعنى التلفظ مصدر لفظ يلفظ من باب ضرب يضرب أى والتلفظ بها أى بالنية سنة فى جميع الأبواب كما قاله حج خروجا من خلاف موجبه
” melafadzkan (niat) itu sunnah..”
Kitab Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ,
وسن نية نفل فيه وإضافة لله ونطق قبيل التكبير وصح أداء بنية وقضاء وعكسه لعذر وتكبير تحرم مقرونا به النية
“…(sunnah) mengucapkan (niat) sebelum takbir…”
Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawi,
والنية بالقلب ويندب النطق قبل التكبير
“niat didalam hati dan sunnah melafadzkan/mengucapkan niat sebelum takbir”
Al-’Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam kitab Minhajul Qawim (1/191) ;
فصل في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك
“Fashal didalam menerangkan sunnah-sunnah shalat, dan sunnah shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati dan untuk keluar (menghindari) khilaf ulama yang mewajibkannya”
Al-’Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi’i, Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut – Lebanon ;
قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
“qouluhu (tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan talaffudz biha (melafadzkan niat) didalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”
Al-’Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna’ Fiy Alfaadh Abi Syuja’, pada pembahasan “Arkanush shalah” ;
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya menjauhi dari was-was”
Didalam kitab Al-Wafi Syarah Arba’in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
“dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat”
Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) ‘alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu ‘Alan Ash-Shadiqiy mengatakan:
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
“Iya, sunnah mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya Nabi mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka diqiyaskan kepadanya dalam seluruh Ibadah, dan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaannya dan terjadinya”
=================
Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi’i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri’ didalam kitab Mu’jam beliau (336) :
أخبرنا ابن خزيمة حدثنا الربيع قال كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة، قال: بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر
“Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi’ berkata, Imam Syafi’i ketika akan masuk dalam Shalat berkata”
(بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر)”
Hawasyi Asy-Syarwaniy (1/240) ;
قوله: (سنن كثيرة) منها تقديم النية مع أول السنن المتقدمة على غسل الوجه فيحصل له ثوابها كما مر ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
“disunnahkan melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati”
Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Selain itu lafadz niat adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
Berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat ;
باب النية لغة : القصد ، يقال : نواك الله بخير ، أي قصدك به ، ومحلها : القلب ، فتجزئ وإن لم يتلفظ .
ولا يضر سبق لسانه بغير قصده وتلفظه بما نواه تأكيد
“.. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta’kid)”
Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang beramal ASBED (asal beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain, tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama dan menuduh ulama-ulama Madzhab yang telah mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafi’iiyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam kitab ulama syafi’iiyah lainnya maupun kitab-kitab ulama madzhab yang lainnya.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Dengan demikian ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat sebagai amal bagi hamba tersebut.
Allah berfirman ;
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. al-Qaaf 50 : 18)
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
‘Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir 35 : 10)
Maka demikian, melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah berdasarkan ayat al-Qur’an diatas.
Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafi’iiyah juga mensunnahkan melafadzkan niat, misalnya ; Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyah) berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunnah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. [al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66]
Mazhab Hanbali (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. [al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370]
Mazhab Maliki (Ulama Malikiyah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan [asy-Syarhu ash-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305, al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520]
Misalnya dari Kalangan Malikiyah, Al-Imam Al-’Allamah Ad-Dardir rahimahullah ta’alaa didalam Syarh Al-Kabir,
قال العلامة الدردير رحمه الله تعالى في الشرح الكبير ( ولفظه ) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض الظهر مثلا ( واسع ) أي جائز بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن النية محلها القلب ولا مدخل للسان فيها
“dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli melafadzkan niat dimana dia mengatakan seumpama (نويت صلاة فرض الظهر) adalah wasi’/luas maksudnya boleh (جائز) bimakna khilaful Aula”
=====================
Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya ‘alaa Syarh Al-Kabir berkata;
قال الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على الشرح الكبير : لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خلاف الأولى
“dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat”
DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : “Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki.” Didalam kitab yang sama juga diterangkan mengenai pendapat madzhab Maliki, jilid I/214 bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan”.
Hal-Hal Yang Berkaitan :
[-]. Perihal Hadits (إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى), “Sesungguhnya Amalan-Amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan” [Arba’in an-Nawawi, hadits pertama (متفق عليه)]
Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, namun mengenai niat sebagai syarat sahnya sebuah amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah Amalan. Sebagaimana shalat juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati. Berbeda dengan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya adalah lisan dan bukan merupakan rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakan atau tidak, tidak merusak pada sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.
Didalam kitab syarahnya pun yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba’in An-Nawawi, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
“dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat”
[1]. Perihal Jawaban Imam Ahmad : Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir?” Jawab beliau, ” tidak usah”. [Lihat Masa’il Abi Dawud (hal.31)]
Dalam Masa’il Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak membid’ahkan, beliau hanya mengatakan tidak usah. Sedangkan kalangan Madzhab Hanabilah sendiri mensunnahkan melafadzkan nit.
[2] Ada yang mengatakan, “yang didahulukan itu seharusnya adalah sabda Nabi bukan Ulama”.
Jawaban : “memang benar, tetapi siapa yang lebih paham mengenai sabda/perbuatan Nabi daripada Ulama ?? Tentu saja yang diikuti adalah ulama yang tepat, yang lebih paham sabda Nabi.
[3] Perihal Ulama Yang Mewajibkan (Melafadzkan niat)
Ini kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham atau disalah pahami untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (Nihayatul Muhtaj), Al-’Allamah Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu’in) dan yang lainnya, bahwa penetapan hukum sunnah terhadap melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga bermaksud menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.
Perlu diketahui bahwa ulama yang mewajibkan (talaffudz binniyah) juga dinisbatkan kepada madzhab Syafi’iyyah sebab memang masih bermadzhab Syafi’i. Beliau adalah Imam Abu Abdillah az-Zubairiy (أبي عبد الله الزبيري). Beliau mewajibkan melafadzkan niat berdasarkan pemahamannya terhadap perkataan Imam Syafi’i tentang “an-Nuthq (النطق). Menurut pemahaman beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan “an-nuthq (النطق)” adalah melafadzkan niat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan an-Nuthq (النطق) adalah Takbir (Takbiratul Ihram), menurut Al-Imam Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu’ (II/43) ;
، لأن الشافعي رحمه الله قال في الحج : إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ ، وإن لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق
“Karena sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi’i berkata didalam (Bab) Haji : “apabila seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan melafadzkannya (an-Nuthq)”
Jadi, beliau (Abu Abdillah az-Zubairiy ) mengira bahwa Imam Syafi’i memasukkan talaffudz binniyah menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, padahal tidak demikian.
=====================
Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya ‘alaa Syarh Al-Kabir berkata;
قال الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على الشرح الكبير : لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خلاف الأولى
“dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat”
DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : “Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki.” Didalam kitab yang sama juga diterangkan mengenai pendapat madzhab Maliki, jilid I/214 bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan”.
Hal-Hal Yang Berkaitan :
[-]. Perihal Hadits (إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى), “Sesungguhnya Amalan-Amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan” [Arba’in an-Nawawi, hadits pertama (متفق عليه)]
Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, namun mengenai niat sebagai syarat sahnya sebuah amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah Amalan. Sebagaimana shalat juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati. Berbeda dengan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya adalah lisan dan bukan merupakan rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakan atau tidak, tidak merusak pada sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.
Didalam kitab syarahnya pun yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba’in An-Nawawi, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
“dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat”
[1]. Perihal Jawaban Imam Ahmad : Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir?” Jawab beliau, ” tidak usah”. [Lihat Masa’il Abi Dawud (hal.31)]
Dalam Masa’il Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak membid’ahkan, beliau hanya mengatakan tidak usah. Sedangkan kalangan Madzhab Hanabilah sendiri mensunnahkan melafadzkan nit.
[2] Ada yang mengatakan, “yang didahulukan itu seharusnya adalah sabda Nabi bukan Ulama”.
Jawaban : “memang benar, tetapi siapa yang lebih paham mengenai sabda/perbuatan Nabi daripada Ulama ?? Tentu saja yang diikuti adalah ulama yang tepat, yang lebih paham sabda Nabi.
[3] Perihal Ulama Yang Mewajibkan (Melafadzkan niat)
Ini kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham atau disalah pahami untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (Nihayatul Muhtaj), Al-’Allamah Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu’in) dan yang lainnya, bahwa penetapan hukum sunnah terhadap melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga bermaksud menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.
Perlu diketahui bahwa ulama yang mewajibkan (talaffudz binniyah) juga dinisbatkan kepada madzhab Syafi’iyyah sebab memang masih bermadzhab Syafi’i. Beliau adalah Imam Abu Abdillah az-Zubairiy (أبي عبد الله الزبيري). Beliau mewajibkan melafadzkan niat berdasarkan pemahamannya terhadap perkataan Imam Syafi’i tentang “an-Nuthq (النطق). Menurut pemahaman beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan “an-nuthq (النطق)” adalah melafadzkan niat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan an-Nuthq (النطق) adalah Takbir (Takbiratul Ihram), menurut Al-Imam Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu’ (II/43) ;
، لأن الشافعي رحمه الله قال في الحج : إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ ، وإن لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق
“Karena sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi’i berkata didalam (Bab) Haji : “apabila seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan melafadzkannya (an-Nuthq)”
Jadi, beliau (Abu Abdillah az-Zubairiy ) mengira bahwa Imam Syafi’i memasukkan talaffudz binniyah menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, padahal tidak demikian.
================
Maka, itu sebabnya pendapat yang mewajibkan ini dikatakan syad (menyimpang) oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy didalam Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
” dan (juga) untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang)”
Imam an-Nawawi didalam kitab Al-Majmu’ (II/43) juga menjelaskan kekeliruan tersebut.
قال أصحابنا : غلط هذا القائل ، وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا ، بل مراده التكبير
“beberapa shahabat kami berkata : “Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dengan kata “an-Nuthq (melafadzkan)” di dalam shalat, tetapi yang dikehendaki adalah Takbir (Takbiraul Ihram)”
Sementara lihatlah begitu indah menyebut Syekh Abu Abdillah az-Zubairy dengan sebutan “Ashabinaa”, walaupun tidak menyetujui pendapatnya. Tauladan yang sangat terpuji dalam menyikapi khilafiyah.
Disebutkan juga dalam Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi’i, Al-Imam Al-Mawardiy Asy-Syafi’i, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut – Lebanon ;
وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا : النِّيَّةُ اعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَذِكْرٌ بِاللِّسَانِ لِيُظْهِرَ بِلِسَانِهِ مَا اعْتَقَدَهُ بِقَلْبِهِ فَيَكُونُ عَلَى كَمَالٍ مِنْ نِيَّتِهِ وَثِقَةٍ مِنَ اعْتِقَادِهِ ، وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ : لِأَنَّ الْقَوْلَ لَمَّا اخْتَصَّ بِاللِّسَانِ حكم النية به لَمْ يَلْزَمِ اعْتِقَادُهُ بِالْقَلْبِ ، وَجَبَ أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ إِذَا اخْتَصَّتْ بِالْقَلْبِ لَا يَلْزَمْ ذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ . فَعَلَى هَذَا لَوْ ذَكَرَ النِّيَّةَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَعْتَقِدْهَا بِقَلْبِهِ لَمْ يُجِزْهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا . فَلَوِ اعْتَقَدَهَا بِقَلْبِهِ وَذَكَرَهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ جَمِيعًا وَذَلِكَ أَكْمَلُ أَحْوَالِهِ ، وَلَوِ اعْتَقَدَ النِّيَّةَ بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَذْكُرْهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ ، وَلَمْ يُجْزِئْهُ عَلَى مَذْهَبِ الزُّبَيْرِيِّ
dan didalam kitab Hilyatul Ulama fiy Ma’rifati Madzahib Al-Fuqaha (2/70), Al-Imam Saifuddin Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asy-Syasyi Al-Qaffal,
وينوي والنية فرض للصلاة ومحلها القلب وغلط بعض أصحابنا فقال لا تجزئه النية حتى يتلفظ بلسانه
Jadi, pendapat yang dianggap menyimpang/keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap tidak cukup jika tanpa melafadzkan niat. Sebab mewajibkan talaffudz binniyah sama saja telah masukkannya sebagai bagian dari shalat. Maka yang sebenarnya tidak dikehendaki adalah dalam hal mewajibkannya bukan Kesunnahan melafadzkan niat. [] []
Wallahu Subhanahu wa Ta’alaa A’lam…
Abdurrohim ats-Tsauriy (Bangkalan)
http://ashhabur-royi.blogspot.com/2010/11/hukum-melafadzkan-niat-menurut-jumhur.html