1881. SIDRATUL MUNTAHA DAN TEMPAT MANUSIA AGUNG

PERTANYAAN :
Assalamu’alaikum.mau nanya nh tentang mi’rojnya rosul.apakah rosul ketika mi’roj bertemu allah di sidrotul muntaha ? Seumpama ketemu berarti Allah bersemayam di atas dong ? syukron. [Salim Cah Nahdlotul Ulama ].
JAWABAN :
Berikut kutipan dari Mutiara Hikmah Buya Yahya, Sidratil Muntaha dan Tempat Manusia Agung :
Bulan ini adalah bulan rojab, jutaan manusia dingatkan kepada sebuah peristiwa agung yang tidak pernah terjadi pada makhluk Allah SWT dari dulu hingga nanti kecuali kepada nabi Muhammad SAW. Peristiwa luar biasa Isra-mi’raj.
Ada hal yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang tentang tempat mulya Sidratul-muntaha dan Mustawa, tempat yang Allah tidak memperkenankan siapapun menginjakkan kakinya di sana kecuali Rasulullah SAW. Bahkan Malaikat Jibril paling mulyanya malaikatpun tidak berani dan tidak bisa sampai kepada tempat tersebut.
Hal lain lagi adalah naik turunya nabi Muhamad untuk mengambil pendapat dari Nabi Musa, berikut perbincangan Rasulullah SAW dengan Allah SWT di tempat tersebut. Kejadian dahsyat dan luar biasa ini sungguh mengagumkan hati ahli iman. Ini adalah memang urusan hati dan tidak akan bisa faham kejadian ini kecuali ahli iman.
Kejadian dahsyat dan luar biasa (Isra-mi’raj) ini sungguh mengagumkan hati ahli iman. Ini adalah memang urusan hati dan tidak akan bisa faham kejadian ini kecuali ahli iman.
Hal yang perlu di cermati dibalik kisah luar biasa ini adalah hanyutya sebagian orang dalam irama kekaguman terhadap kisah sidratul-muntaha dan mustawa berikut dialog Rasulullah SAW dengan Allah SWT. Hingga sampailah pada titik keyakinan bahwa Rasulullah berdialog dengan Allah SWT di tempat itu karena menganggap disitulah tempat Allah SWT. Dan mungkin juga terbayang sebuah suasana hening saling duduk berhadapan dan berdampingan antara Allah SWT dengan Rasulullah SAW.
Inilah kesesatan aqidah bahkan itulah kekafiran yang tersembunyi dibalik sebuah keyakinan. Disinilah orang sering salah alamat, seolah telah meyakini Tuhan Allah SWT yang (laisa kamtslihi syaiun)tidak diserupai aleh apa dan siapapun, akan tetapi ternyata telah tersesat di jalan menyerupakan Allah dengan makhlukNya. Meyakini Allah SWT bertempat, berhadap-hadapan dengan Rasulullah SAW adalah salah jalan dalam beriman kepada Allah SWT.
Begitu indah dan istimewanya perjalanan Isro-mi’roj, mempesonakan hati yamg mencari-cari keteduhan dibalik penghambakan kepada Allah SWT. Menghadirkan renungan dalam makna sambung komunikasi dengan Allah Yang Maha Agung yang terurai dalam kekhusukan dalam Sholat. Shalat lima waktu.
Akan tetapi Shalat yang semestinya penghambaan kepada Allah bisa berubah menjadi penyembahan kepada berhala yang di hayalkan jika ternyata seorang yang lagi Sholat telah meyakini tuhanya duduk dan membutuhkan tempat, buah kesalah pahaman akan isra mi’rojnya Rasulullah.
Shalat yang semestinya penghambaan kepada Allah bisa berubah menjadi penyembahan kepada berhala yang di hayalkan jika ternyata seorang yang lagi Sholat telah meyakini tuhanya duduk dan membutuhkan tempat, buah kesalah pahaman akan isra mi’rojnya Rasulullah.
Sungguh benar Rasulullah SAW telah diperjalankan oleh Allah SWT dari masjidil-haram ke masjidil-aqsa lalu menembus langit ketujuh hingga albaitil-makmur dan sidratul-muntaha dengan ruh dan jasadnya. Lalu berdialog dengan Allah SWT. Itulah tempat kemulyaan yang hanya disediakan untuk memulyakan Rasulullah SAW saja.
Yang perlu diyakini bahwa tempat itu bulkanlah tempat Allah SWT. Sebab Allah SWT yang menciptakan tempat. Sebelum Allah SWT menciptakan tempat Allah SWT tidak butuh kepada tempat dan setelah Allah SWT menciptakan tempat Allah SWT tetap tidak butuh kepada tempat. Tidak bisa dan tidak boleh menyebut Allah SWT bertempat.
Bagi Allah SWT sangat mudah mengajak dialog khusus dengan Rasulullah SAW dimana saja. Bisa di Indonesia, Malaysia dan Amerika atau di bukit Tursina seperti yang pernah terjadi pada nabi Musa. Akan tetapi untuk seorang Nabi yang paling Allah SWT cintai dan mulyakan, Allah SWT mengingikan dialog dengan kecintaanNya itu di tempat yang sangat istimewa yang tidak penah dijamah oleh apa dan siapapun.
Tempat tersebut adalah tempat untuk memulyakan Rasulullah SAW dan bukan tempatnya Allah SWT. Maha suci Allah SWT yang tidak diserupai oleh segala ciptaan Nya.
Seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki menguraikan dalam kitabnya “Wa huwa bi al’ufuq al-a’la” yang diterjemahkan oleh Sahara , publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam: Rekaman berbagai peristiwa besar sepanjang perjalanan akbar dari Mekkah al-Mukarramah menuju Sidrah al Muntaha pada halaman 284 dan 286 menyampaikan :
Halaman 284  :
“Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq”.
Halaman 286 :
“Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oelh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka. Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu”.
Jadi yang harus diyakini saat sholat itu gimana ?? kan banyak yang bilang, kalau sholat itu dialog dengan Allah, menyembah Allah, apa yang harus dibayangkankan ? Kan kita berkeyakinan Allah ada tanpa arah dan tempat. ? Dalam penggalan riwayat sebuah hadits yang sangat masyhur disebutkan : “…….Lalu orang itu bertanya lagi : ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau”. Dari situ bisa didapat Makna Ihsan dalam beribadah. Sebuah amal dikatakan hasan cukup jika diniati ikhlas karena Allah, adapun selebihnya adalah kesempurnaan ihsan. Kesempurnaan ihsan meliputi 2 keadaan :
1.Maqom Muraqobah yaitu senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktifitasnya,
2.Maqom Musyahadah yaitu senantiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Maqom ini lebih tinggi daripada maqom pertama. Jadi ihsan dalam beribadah BUKAN BERARTI DENGAN MEMBAYANGKAN  Allah. Wallahu a’lam bishshowab. [Alif Jum’an Azend, Aba Zerra].
Link Asal :

www.fb.com/groups/piss.ktb/469790653043748/

Pos terkait