2130. BOLEHKAH ISTRI MENOLAK ORAL TANPA JIMA’ ?

PERTANYAAN :
As’salamu alaikum wr wb. Jangan bosan-bosan menjawab pertanya dari saya. sebelum bertanya ijinkan saya cerita dulu karena ini kaitannya dengan agama. Aku juga belum bisa menjelaskannya. Ada seorang perempuan bertanya sama saya, perempuan : mas saya malas dengan tingkah laku suami saya tiap malam maunya oral mulu mulutku sudah sakit tapi selalu dipaksa, aku suruh masukin selalu tak mau sedangkan saya kan pingin di-jimak. tapi suami maunya oral mungkin dalam kurung suami punya penyakit kelainan maunya oral mulu tak mau jimak aku. Pertanyaannya adalah :

1. kalau istri nolak dosa tidak…?
2. Istri Ingin menceraikan karena setiap malam hanya diperlakukan seperti itu..? Aku butuh jawaban tapi bila status ini tak layak/tak sopan silahkan dihapus tapi jangan lupa inbok dulu ya, makasih. [Tarkam Sriatun].

JAWABAN :
Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.

1. Tidak berdosa, sebab yang diwajibkan hanya pelayanan agar bisa disetubuhi bukan dicumbui.
2. Khilaf. Bagi syafi’iyah perilaku kasar dari suami, bila sampai taraf menyakiti (dharbun mubarrihun) hanya berakibat pisah rumah, tidak mengakibatkan thalaq / fasakh. Bagi malikiyah perilaku kasar suami bisa berimbas pada thalaq.

Bacaan Lainnya
Catatan versi malikiyah:

– Thalaq akibat dharar cukup dijatuhkan satu kali dan tergolong thalaq bain.
– Dharar untuk memperbolehkan thalaq disyaratkan terjadi berulang kali pada dharar khafif (tidak menyakiti) dan cukup terjadi satu kali pada dharar fahisy (menyakiti).

وَسُئِلَ عَمَّا إذَا طَلَبَ الزَّوْجُ من زَوْجَتِهِ عِنْدَ الْجِمَاعِ رَفْعَ الْفَخِذَيْنِ وَالتَّحْرِيكَ هل يَجِبُ عليها ذلك فَتَكُونُ نَاشِزَةٌ إذَا امْتَنَعَتْ فَأَجَابَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِقَوْلِهِ الْوَاجِبُ عليها هو التَّمْكِينُ من الْوَطْءِ بِحَيْثُ يَسْهُلُ على الزَّوْجِ وَلَا يَجِبُ عليها ما وَرَاءَ ذلك مِمَّا هو مَعْرُوفٌ وَإِنْ تَرَتَّبَ عليه مَزِيدُ قُوَّةٍ لِهِمَّةِ الرَّجُل وَتَنْشِيطٌ لِلْجِمَاعِ هذا هو الذي يُتَّجَهُ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَجِبَ عليها ما يَتَوَقَّفُ عليه الْإِنْزَالُ أو ما يَتَرَتَّبُ على تَرْكِهِ ضَرَرٌ لِلرَّجُلِ وَأَفْتَى بَعْضُهُمْ بِأَنَّهُ لو كان بِهِ عِلَّةٌ لَا يَقْدِرُ مَعَهَا على الْجِمَاعِ إلَّا مُسْتَلْقِيًا فَسَأَلَهَا أَنْ تَرْكَبَهُ وَتَكُونُ هِيَ الْفَاعِلَةُ لم يَلْزَمْهَا ذلك وَلَا تَسْقُطُ نَفَقَتُهَا إذَا امْتَنَعَتْ وَفِيهِ نَظَرٌ وَالْأَوْجَهُ خِلَافُهُ حَيْثُ لَا ضَرَرَ عليها في ذلك
Ditanyakan : Hukum dari suami yang meminta istrinya ketika bersetubuh untuk mengangkat paha dan menggoyang-goyangkannya, apakah itu diwajibkan bagi istri sehingga bisa dianggap nusyuz bila menolak ?
Dijawab olehnya -rahimahullah ta’ala- : Yang diwajibkan atas istri yaitu memungkinkan dirinya untuk disetubuhi dengan sekira mudah bagi suami (melakukan hal itu). Tidak diwajibkan selain hal tersebut pada perkara yang sudah diketahui bersama, meskipun itu sifatnya menambah semangat lelaki serta membuat persetubuhan lebih bergairah. Ini pendapat yang lebih layak dikedepankan. Namun ada peluang wajib atas perkara yang menentukan keberhasilan orgasme atau perkara yang berimbas negatif pada suami bila tidak dipenuhi. Sebagian ulama memfatwakan bila suami menderita suatu penyakit tertentu serta tidak mampu bersetubuh selain pada posisi terlentang, lalu dia meminta istri naik ke atasnya dan menjadi pihak yang aktif dalam bersetubuh maka hal itu tidak wajib dituruti, serta tidak menggugurkan hak nafkah bila istrinya itu menolak. Fatwa ini perlu ditinjau ulang, menurut qaul awjah adalah kebalikannya selama tidak berdampak negatif bagi istri ketika mengiyakannya.” (Fatawa al-Kubra, 4/208).
التَّفْرِيقُ لِسُوءِ الْمُعَاشَرَةِ :  نَصَّ الْمَالِكِيَّةُ عَلَى أَنَّ الزَّوْجَةَ إِذَا أَضَرَّ بِهَا زَوْجُهَا كَانَ لَهَا طَلَبُ الطَّلاَقِ مِنْهُ لِذَلِكَ ، سَوَاءٌ تَكَرَّرَ مِنْهُ الضَّرَرُ أَمْ لاَ ، كَشَتْمِهَا وَضَرْبِهَا ضَرْبًا مُبَرِّحًا . وَهَل تَطْلُقُ بِنَفْسِهَا هُنَا بِأَمْرِ الْقَاضِي أَوْ يُطَلِّقُ الْقَاضِي عَنْهَا ؟ قَوْلاَنِ لِلْمَالِكِيَّةِ, وَلَمْ أَرَ مِنَ الْفُقَهَاءِ الآْخَرِينَ مَنْ نَصَّ عَلَيْهِ بِوُضُوحٍ ، وَكَأَنَّهُمْ لاَ يَقُولُونَ بِهِ مَا لَمْ يَصِل الضَّرَرُ إِلَى حَدِّ إِثَارَةِ الشِّقَاقِ ، فَإِنْ وَصَل إِلَى ذَلِكَ ، كَانَ الْحُكْمُ كَمَا تَقَدَّمَ
“Perpisahan suami-istri karena tingkah pergaulan yang buruk. Kalangan malikiyah menegaskan bahwa seorang istri ketika suaminya menimbulkan madharat baginya maka dia boleh menuntut thalaq atas hal tersebut, baik dharar itu terjadi berulang kali ataupun tidak. Misalnya pada suami yang mengumpati istrinya serta suami yang melakukan pemukulan yang menyakitkan. Kemudian apakah istri memiliki hak thalaq sendiri atas perintah qadhi ataukah qadhi yang melakukan thalaq atasnya? Ada dua pendapat dari malikiyah. Aku tidak mengetahui fuqaha lainnya mengungkit masalah ini secara jelas. Seakan-akan mereka tidak berkomentar selama kasusnya tidak sampai pada taraf dharar yang mendorong pada perpisahan. Ketika sampai pada taraf itu maka hukumnya sebagaimana yang telah disebutkan.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 29/57).
الثالث : لا بد من تكرار الضرر حيث كان أمراً خفيفاً فإن كان ضرباً فاحشاً كان لها التطليق به ولو لم يتكرر كما مر أول الفصل عن المتيطية وقول ( خ ) ولها التطليق بالضرر ولو لم تشهد البينة بتكرره لا يعول عليه ، بل لا بد من التكرار حيث كان خفيفاً كما مر . ولذا قال بعضهم : هو على حذف الصفة أي : ولها التطليق بالضرر البين أي الفاحش ، والقول الثاني في النظم صريح في اشتراط التكرير إلا أن ظاهره أنه لا بد من الزجر والتكرار ولو كان بيناً فاحشاً وليس كذلك كما في النقل . قال ابن عبد الصادق المذكور معترضاً على ظاهر لفظ ( خ ) ما نصه : والعجب كيف تطلق المرأة نفسها بالمرة الواحدة من تحويل وجهه عنها وقطع كلامه ومشاتمته إلى غير ذلك مما عدوه من الضرر بالمرة الواحدة إذ لا يخلو عنه الأزواج مع أن مسائل مبنية على ثبوت التكرار كالسكنى بين قوم صالحين وبعث الحكمين واختبارهما أمور الزوجين المرة بعد المرة قال : وقد نزلت فاحتج بعض المفتين بظاهر ( خ ) وخالفه غيره فعظم الأمر حتى وصل إلى أمير الوقت فحكم بأنه لا بد من التكرار .
“Catatan ketiga : Wajib berulang kalinya dharar pada dharar yang ringan, jika dhararnya berat maka boleh baginya hak thalaq meskipun belum terjadi berulang kali sebagaimana di awal perincian yang diambil dari kitab al-mutaithiyyah. Pendapat al-Khalil ‘baginya terdapat hak thalaq sebab terkena dharar meskipun tidak menghadirkan persaksian atas berulang kalinya dharar’ merupakan pendapat tidak bisa dijadikan pegangan. Bahkan wajib atas berulang kalinya dharar bila berupa dharar ringan sebagaimana yang telah dijelaskan. Atas hal ini sebagian ulama membela: pada redaksi ucapan al-Khalil terjadi pembuangan sifat, yakni ‘baginya terdapat hak thalaq sebab terkena dharar yang nyata, yaitu dharar yang berat. Namun fakta kutipannya sudah jelas berbeda. Ibnu Abdish Shadiq berkomentar bahwa pembelaan ulama tersebut bertentangan dengan zhahirnya fatwa al-Khalil. Adapun isi komentar Ibnu Abdish Shadiq: Mengherankan bagaimana mungkin seorang wanita berhak atas thalaq terhadap dirinya sendiri hanya dengan kejadian satu kali dari memalingkannya wajah suami atas istri, tidak mengajaknya bicara, mengumpat padanya, dan kejadian dharar semacamnya sementara hanya terjadi satu kali? Memandang karena kejadian seperti ini selalu ada di antara rumah-tangga suami istri, memandang juga pada kasus ini telah dijelaskan atas syarat terjadi berulang kalinya, sebagaimana pada seorang warga yang tinggal di antara orang shalih lalu hakim bisa menyelidiki ihwal rumah tangga mereka secara bertahap. Ibnu Abdish Shadiq meneruskan: Masalah ini pernah terjadi dan sebagian mufti mengambil hujjah atas zhahir ucapan al-Khalil. Namun sebagian mufti lainnya menentangnya maka hebohlah kasus tersebut dan sampai ke hadapan penguasa waktu itu, akhirnya sang penguasa menghukumi wajibnya dharar yang berulang kali.” (al-Bahjah fi syarh at-Tuhfah, 1/487).
وقوله أعسر الخ الحاصل شروط هذه المسألة خمسة تعلم من كلامه الأول الإعسار فخرج ما إذا امتنع مع عدم الإعسار الثاني كونه بالنفقة أو الكسوة أو المسكن أو المهر بشرطه الآتي فخرج ما إذا أعسر بنحو الأدم الثالث كون النفقة لها فخرج ما إذا أعسر بنفقة الخادم الرابع كون الإعسار بنفقة المعسر فخرج ما إذا أعسر بنفقة الموسر أو المتوسط مع القدرة على نفقة المعسر الخامس كون النفقة مستقبلة فخرج ما لو أعسر بالنفقة الماضية
“Perkataan mushannif: Kesusahan dst, kesimpulan yang diambil dari perkataannya yaitu ada lima syarat fasakh. Pertama, kesusahan. Maka mengecualikan pengabaian yang tidak sampai mengakibatkan taraf kesusahan. Kedua, kesusahannya dalam hal nafkah, sandang , papan, ataupun mahar dengan syarat yang akan dijelaskan. Maka mengecualikan kesusahan dalam lauk pauk. Ketiga, kesusahan nafkah pada istri. Maka mengecualikan suami yang susah menafkahi pembantu. Keempat, kesusahan diukur dari nafkah mendasar. Maka mengecualikan suami yang susah memberi nafkah mewah atau menengah ketika dia masih mampu memberi nafkah mendasar. Kelima, nafkah prioritas ke depan. Maka mengecualikan suami yang kesusahan atas nafkahnya yang lampau.” (I’anatuth Thalibin, 4/98).
( وَالْخُرُوجُ مِنْ بَيْتِهِ بِلَا إذْنٍ ) مِنْهُ ( نُشُوزٌ ) لِأَنَّ لَهُ عَلَيْهَا حَقَّ الْحَبْسِ فِي مُقَابِلَةِ وُجُوبِ النَّفَقَةِ ، ( إلَّا أَنْ يُشْرِفَ عَلَى انْهِدَامٍ ) فَتَخْرُجُ خَوْفًا مِنْ الضَّرَرِ ( وَسَفَرُهَا بِإِذْنِهِ مَعَهُ ) لِحَاجَتِهِ أَوْ لِحَاجَتِهَا ، ( أَوْ ) وَحْدَهَا ( لِحَاجَتِهِ لَا يُسْقِطُ ) النَّفَقَةَ ( وَلِحَاجَتِهَا يُسْقِطُ فِي الْأَظْهَرِ ) لِانْتِفَاءِ التَّمْكِينِ وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ لِإِذْنِهِ فِي السَّفَرِ وَمِنْهُمْ مَنْ أَجْرَى الْقَوْلَيْنِ فِي سَفَرِهَا لِحَاجَتِهَا مَعَهُ .
قَوْلُهُ : ( خَوْفًا مِنَ الضَّرَرِ ) وَيُلْحَقُ بِهِ خَوْفُهَا مِنْ سَارِقٍ أَوْ فَاسِقٍ أَوْ مِنْ ضَرْبِهِ الْمُبَرِّحِ
“[Keluarnya istri dari rumah suami tanpa izin] darinya [termasuk nusyuz] sebab pada suami terdapat hak menahan istri menetap di rumah sebagai timbal balik dari kewajiban nafkah. [Kecuali bila dia hampir kejatuhan tertimpa reruntuhan bangunan] maka boleh baginya keluar karena khawatir tertimpa dharar, [serta pada kepergiannya bersama suami dengan seijinnya] untuk kepentingan suaminya atau kepentingannya sendiri, [atau] pergi sendirian [untuk kepentingan suaminya semata maka tidak akan membuat gugur] hak nafkah, [sedang bila untuk kepentingannya sendiri maka gugur hak nafkahnya menurut qaul azhar] sebab menjadi tiadanya peluang digauli oleh suaminya (ketika pergi, pen). Menurut qaul kedua tidak gugur nafkahnya sebab kepergiannya atas seijin suami. Di antara para ulama ada yang memberlakukan khilafiyah dua qaul ini dalam kepergiannya bersama suami untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri.
Ucapan mushannif [karena khawatir tertimpa dharar], disamakan dengan itu kekhawatirannya dari pencuri, orang fasiq, atau dari pukulan suaminya yang menyakiti.” (Hasyiyah Qulyubi ma’a syarhihi, 4/79).
الاحوال الدائرة في هذه الفنون بين الزوجين تنقسم ثلاثة أقسام: أحدها أن يصدر العدوان من الرجل في إيذائها والإضرار بها فإذا تحقق ذلك منه منعناه من الإضرار واستوفينا منه ما يمتنع عنه الحقوق وإن كان جسورا لم نأمن أن يضربها ضربا مبرحا وقد يفضي ذلك إلى هلاكها فنحول بينها
وإذا لم يتحقق إيذاؤه إياها بل ششظننا ذلك ظنا فالوجه أن يأمر الحاكم من يراقبها في السر والعلن ولا يشترط أن يتحقق ذلك ولا يضرب القاضي حيلولة بينهما بمجرد الظن إذا لم تبدر منه بادرة فإذا بدرت فقد يديم الحيلولة إلى ظهور الظن بالأمر وإذا تحققنا الإضرار بها فليس إلا الحيلولة فأما إلزام الطلاق فلا
“Keadaan seputar hubungan suami-istri di bab ini terbagi menjadi tiga : Salah satunya, terlihatnya sikap permusuhan dari suami ketika menyakitinya. Ketika hal itu terbukti maka kita akan mencegahnya berbuat dharar dan meminta agar hak-hak yang diabaikannya agar dipenuhi. Jika suami itu tergolong lelaki tak bermoral dan kita khawatir dia akan menganiaya istrinya dengan kasar yang terkadang bisa berakibat fatal pada istrinya maka akan kita pisahkan (pertemuan) keduanya.
Bila perbuatan menyakiti istrinya belum terbukti dan sebatas persangkaan maka hakim bisa mengutus seseorang untuk menyelidiki ihwal pihak wanita secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, tidak disyaratkan penyelidikan ini harus sampai terbukti nyata. Namun hakim tidak boleh memisahkan antara suami dan istri hanya berlandaskan persangkaan semata ketika situasi tidak mendesak. Sedangkan bila situasi mendesak maka boleh bagi hakim memisahkan keduanya sampai jelas kebenaran dari persangkaannya. Ketika sudah terbukti maka hakim hanya berhak memisahkan bukan menthalaq.” (Nihayat al-Mathlab, 13/280). Wallahu a’lam. [Khodim Piss-ktb II].
Link Asal :

www.fb.com/groups/piss.ktb/482747028414777/

Pos terkait