233. SYARI’AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA’RIFAH

Kata syari’ah telah beredar luas di  kalangan  umat  muslim. Bahkan, dalam al-Qur’an sendiri, kata tersebut telah dipakai antara lain  pada  Surah  al-Jatsiyah:  18.  Pemakaian  kata tersebut  mengacu  kepada  makna  ajaran dan norma agama itu sendiri.  Dalam  perkembangan  Islam  munculnya  tiga   kata thariqah,   haqiqah   dan   ma’rifah,   telah  mengakibatkan terbatasnya  pengertian  syari’ah  sehingga   lebih   banyak mengacu  pada  norma  hukum.  Sedangkan  tiga  kata  lainnya menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf.  Karena  itu  ada baiknya  kita  lebih  dahulu  berbicara  tentang tasawuf itu sendiri.
Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama,  mereka adalah  kelompok  spiritual  dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok  lainnya  yang  disebut  kelompok formal  dan  kelompok  Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri  dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi), sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan  fuqaha.  Kedua,  bahwa  tasawuf  itu   hanyalah   suatu kecenderungan  spiritual  yang  membentuk  etika  moral  dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya  kita  katakan seorang  muhaddttsin  sekaligus  juga  ulama sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran  Tasawuf  pada   dasarnya   merupakan   bagian   dari prinsip-prinsip  Islam  sejak  awal.  Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya  mendidik  diri  dan  keluarga  untuk  hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama   dalam   kehidupannya   sehari-hari.   Ibnu   Khaldun mengungkapkan,   pola   dasar  tasawuf  adalah  kedisiplinan beribadah, konsentrasi  tujuan  hidup  menuju  Allah  (untuk mendapatkan  ridla-Nya),  dan  upaya  membebaskan  diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan  duniawi,  sehingga  tidak diperbudak   harta   atau  tahta,  atau  kesenangan  duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi  pada kalangan   kaum   muslim  angkatan  pertama.  Pada  angkatan berikutnya   (abad   2    H)    dan    seterusnya,    secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan  duniawi  menjadi  lebih  berat.   Ketika   itulah angkatan  pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.
Keadaan  tersebut  berkelanjutan  hingga   mencapai   puncak perkembangannya  pada  akhir  abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah,  sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat simak dalam karya sastra  “cerita  seribu satu  malam”  dimasa  kejayaan  kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga  mengalami  perkembangan  yang tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai  ditandai  juga  dengan   berkembangnya   suatu   cara penjelasan  teoritis  yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu Tasawuf.
 Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma  yang dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam  menjabarkan prinsip-prinsip  ajaran  Islam  mengenai  penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang  sudah  berkembang  selama  tiga abad  -dengan  munculnya  disiplin  ilmu Tasawuf- terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk  penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari’ah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang  disebut  haqiqah.  Selanjutnya para fuqaha pun disebut ahli syari’ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah.
Pada tahap  perkembangannya,  secara  berangsur-angsur  pola pikir  dan  pola  hubungan  antara  ahli  syari’ah  dan ahli haqiqah  makin   berbeda.   Dan   ini   menimbulkan   banyak pertentangan   antara  kedua  kelompok  tersebut.  Perbedaan tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:
1. Ahli syari’ah menonjolkan -kadang-kadang secara berlebih-lebihan- soal pengalaman agama dalam bentuk yang formalistik (syi’ar-syi’ar lahiriah). Sedang dilain pihak, para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran Islam.
2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para ahli syari’ah, misalnya teori al-fana fi ‘l-Lah (peleburan diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi’ah al-‘Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri. Semua itu dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari’ah.
3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan syi’ar-syi‘ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata, kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syari’ah. 
4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan  alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).
Jurang pemisah yang makin hari  makin  melebar  antara  ahli syari’ah  dan  ahli  haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar akhir  abad  kelima  Hijrah,  dan  Imam   Ghazali   berupaya memulihkannya.  Dalam  kaitan  inilah  beliau  tampil dengan karya besarnya Ihya ‘Ulum  al-Din.  Dalam  buku  ini  beliau mempertemukan   teori-teori   syari’ah   dengan  teori-teori haqiqah Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu  dalam merukunkan  kembali  antara  para  ahli syari’ah dengan ahli haqiqah.
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga  keagamaan  non-formal  yang  namanya “tarekat” asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita  jumpai  Tarekat Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah.  Dalam satu  dasawarsa  terakhir  ini,  kita melihat adanya langkah lebih  maju  dalam  perkembangan  tarekat-tarekat   tersebut dengan  adanya  koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat  ikatan  yang  dikenal  dengan   nama   Jam’iyah   Ahl al-Thariqah   al-Mu’tabarah.   Pada   tahun   lima  puluhan, pemerintah  Mesir  menempatkan  pembinaan   dan   koordinasi tarekat-terekat   tersebut  di  bawah  Departemen  Bimbingan Nasional  (Wizarah  al-Irsyad   al-Qaumi).   Pertimbangannya ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan  bagian  dari  potensi  bangsa/umat, yang berhak mendapatkan  perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.
Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita mempertanyakan   kapankah munculnya tarekat (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan  tasawuf Dr.  Kamil  Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan  sistem  thariqah  (tarekat)  itu Syekh Abdul Qadir  al-Jilani  (w.  561 H/1166 M)  di  Baghdad.  Ajaran tarekatnya  menyebar  ke  seluruh  penjuru dunia Islam, yang mendapat  sambutan  luas  di  Aljazair,  Ghinia  dan   Jawa. Sedangkan  di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa’iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa’i.  Dan  tempat ketiga  diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273  M).  Beliau  membuat  tradisi baru  dengan  menggunakan  alat-alat  musik  sebagai  sarana dzikir. Kemudian sistem ini  berkembang  terus  dan  meluas. Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya,  dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya.
Yang  juga  perlu  dicatat  di  sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang  mempunyai  disiplin  tinggi  mirip  disiplin militer.  Di  bawah  syeikhnya  yang  terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif  al-Sanusi  berhasil  menggalang   satu   kekuatan perlawanan  rakyat  yang  mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris  secara  berturut-turut,  dan  akhirnya membebaskan  wilayah  Libya.  Mungkin sifat keras dari iklim yang  dibentuk  Tarekat  Sanusiyah  inilah   yang   mewarnai Mu’ammar  al-Qadafi  mengambil  alih  kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.
Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa system hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat yang berbeda-beda itu. Semua  pengikutnya  dididik dalam disiplin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut walaupun beragam namanya dan metodenya,  tapi  ada  beberapa ciri yang menyamakan:
1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu menjalani masa persiapan yang berat.
2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal) 
3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa hari (kadang-kadang sampai 40 hari).
4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat membina konsentrasi ingatan.
5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang berlaku di luar kebiasaan. 
6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau pembantunya yang tidak bisa dibantah
Dari sistem  dan  metode  tersebut  Nicholson  menyimpulkan, bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang terorganisasi  untuk  membina  suatu  pendidikan  moral  dan solidaritas  sosial.  Sasaran  akhir  dari pembinaan pribadi dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih,  bersahaja, tekun  beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah yang diridlai Allah, dengan jalan  pengamalan  syari’ah  dan penghayatan   haqiqah  dalam  sistem/metode  thariqah  untuk mencapai ma’rifah.
Apa yang dimaksud dengan kata ma’rifah  dalam  terma  mereka ialah  penghayatan  puncak  pengenalan  keesaan  Allah dalam wujud  semesta  dan  wujud  dirinya  sendiri.   Pada   titik pengenalan  ini  akan  terpadu  makna tawakkal dalam tawhid, yang  melahirkan  sikap  pasrah  total  kepada  Allah,   dan melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu selain Allah.

Pos terkait