Assalamu’alaikum. Mohon bantuannya Ya Ma’syaro al-Mutafaqqihin wa al-Mutafaqqohat. Ada Musykilah di Bab Dzabhu : Baru-baru ini ada kejadian aneh di Bandung, seperti yang dilansir oleh salah satu stasiun televisi, yaitu Ayam yang belum mati, padahal sudah disembelih tiga kali. NB : Sembelihan pertama sudah memenuhi standar syara’ (Qath’u Kullil Hulqum, Wa Kullil Mari’). Pertanyaan :
Demikian, Matur nuhun ingkang sanget. Jazaa-kum Allhau Ahsan al-Jaza’. [Su Kakov].
JAWABAN :
Wa’alaikumussalam. Jika sudah disembelih kok masih terlihat hidup namanya hayatul madzbuh, bukan hayat mustaqirroh. Kesimpulannya jika penyembelihan awal sudah memenuhi syarat maka sah dan halal dan tak wajib disembelih lagi. Boleh dipotong lehernya biar cepat mati, tapi makruh. Hewan yang sembeiihannya sudah memenuhi syarat (terpotongnya hulqum dan mari’) kalau masih bertahan hidup maka cara cepat mematikannya boleh dengan memotong lehernya sampai putus.
(Kecuali yang kalian sembelih) Yakni kecuali kalian mendapati menyembelih hewan, sedangkan dalam hewan itu masih terdapat HAYAT MUSTAQIRROH, dari perkara lima (yang tersebut dalam ayat), tandanya hayat mustaqirroh adalah bergerak dengan ikhtiyar.
Apabila tidak (terdapat hayat mustaqirroh, dari kelima hewan yang tersebut dalam awal ayat) maka tidak di-halal-kan dengan sebab disembelih, karena kematiannya adalah di-sebabkan perkara yang mendahului penyembelihan, baik yang sebab di-makan hewan buas atau yang lainnya.
– Asnal Matholib Juz 01/539 :
Hayat Mustaqirroh terkadang di-yakini, seperti halnya hewan tersebut bisa berdiri sepeti sedia kala dll. Terkadang juga hanya berupa Dzon, yang diperkuat dengan tanda-tanda (bahwa masih terdapat Hayat mustaqirroh), di antara tanda-tandanya gerakan gesit usai disembelih, tersemburnya darah.
Memang benar dalam kasus hewan yang tertabrak boleh langsung di-sembelih kalau sudah yakin / dzon terdapat “Hayat Mustaqirroh”. Tapi kalau masih ragu-ragu dalam “Hayat mustaqirrohnya”, maka hukumnya tidak boleh, dan kalau dipaksa disembelih hewannya tetap HARAM.
Bisa bertahan satu sampai dua hari, termasuk tanda-tanda Hayat Mustaqirroh, jadi sudah mencukupi persyaratan untuk disembelih.
– Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 9/89 :
Pengertian walam tanfasil itu termasuk yang dicontohkan Imam Nawawi.
Lebih jelasnya : Seumpama ada hewan yang perutnya dibedah yang sehingga usus-ususnya keluar, tapi usus-usus tersebut belum munfashil / terputus, maka kalau mati dengan sebab dibiarkan, ini TIDAK HALAL, tapi kalau disembelih menjadi HALAL.
– Kifayah al-Ahyar :
Dan untuk poin nomor tiga ini gugur dengan terjawabnya dua poin sebelumnya, karena tidak ada sketsa hukum untuk hewan yang sudah memenuhi syarat penyembelihan, hanya karena dia tidak mati-mati maka dicabut bulunya atau dipotong kakinya dan akhirnya dia mati, lantas putusnya hulqum dan mari` baru dikatakan ijza`. Ini kan lucu bin aneh. Ibarot itu bukan untuk diambil contoh kasusnya :
Namun biar bisa diambil kesimpulan apa itu hayat mustaqirroh sebagaimana terpampang jelas di Syarwani. Tidak semua persoalan harus terjawab dengan contoh kasus tapi adakalanya dengan uraian ataupun definisi.
Menurut pemahaman keterangan di atas BAHWA kehidupan hayawan setelah putus / hancur organ fital hidupnya (hulqum, mari’) baik karena disembelih secara syar’i atau tidak, baik karena ditabrak bus, diterkam binatang buas… dll. MAKA sisi hidupnya setelah itu disebut HARKATUL MADZBUH / ‘AISYUL MADZBUH, bukan HAYAT MUSTAQIRROH.
Kalau kita amati dari sisi hewannya dan kita nisbatkan pada definisi-definisi yang ada, maka bisa saja hal ini mencakup dua predikat sekaligus. Mengapa ? Bila kita katakan kehidupan kedua itu merupakan Hayat Madzbuh, tapi nyatanya hewan itu memiliki unsur Hayat Mustaqirroh. Dan bila kita katakan itu Hayat Mustaqirroh tapi nyatanya sebab Hayat Madzbuh bisa kita jumpai pada hewan tersebut.
Kejadian di atas memang benar adanya dan pernah tersiar beritanya melalui media televisi. Dan terlepas dari hal yang kita anggap tidak wajar itu, di mata hukum hewan tersebut mestilah melewati proses pertimbangan hukum untuk bisa dikatakan halal atau haram nantinya. Memang benar bahwa terpotongnya hulqum dan mari` itu merupakan sebab halak-nya hewan tersebut, tapi di lain sisi hewan itu tidak identik dengan sifat idhthiror, dan bahkan ikhtiyar. Mengapa dikatakan ikhtiyar ? Karena dari fakta yang saya lihat, hewan tersebut andai mau ditangkap ia lari, ini artinya tindakan lari itu hanya bisa dilakukan oleh hewan yang masih sadar dan paham maksud dari sikap orang-orang di sekitarnya. Ini sekedar perbandingan agar lebih tepat sasaran :
Kehidupan hayawan itu yang setelah disembelih secara syara’ dinamakan Hayat apa.? Mustaqirroh atau bukan ? Kalau sudah disembelih kehidupan hayawan tsb, maka tidak lagi disebut Hayatun Mustaqirroh, sebab sudah selesai melalui proses penyembelihan secara syar’i, tapi disebut Harkatun Madzbuh / ‘Aisyun Madzbuh / yakni kehidupannya / gerakannya, penglihatannya dan suaranya tidak lagi disebut ikhtiyariy tapi disebut idhthiroriy. Mengetahui hayat mustaqirrun hanya berlaku jika hewan tersebut belum disembelih.
Ulama membagi 3 bagian mengenai kehidupan hewan dalam hal ini :
Jika BENAR-BENAR hewan tersebut telah sukses dalam penyembelihannya yaitu terpotongnya haulqum dan mari’, maka sisa hidupnya setelah ini digolongkan ‘aisyul madzbuh, dikatakan di atas supaya cepat mati disembelih lagi, dipukul, langsung masukkan ke kuwali atau cara yang lainnya. Kalau kejadian seperti ini tidak dianggap ANEH, maka jawaban nya juga jangan dianggap ANEH. Memenggal kepalanya, mungkin ini adalah salah satu solusi agar cepat mati, asalkan sudah disembelih secara sempurna dengan sembelihan yang mu’tabarah..
– AL-MAJMU’ :
Apakah pernyataan ini bermakna Hewan yang masih hayat mustaqirroh, padahal sudah disembelih sesuai syara’, tidak boleh / halal bila dibiarkan mati sendiri ? Ta’rif Hayat mustaqirrah tidak identik kalau disematkan kepada hewan yang telah disembelih lebih-lebih setelah terpotong hulqum dan mari’nya. Andaikan hayat mustaqirrah tersebut boleh disematkan pada hewan yang sudah disembelih, tentunya tidak ada larangan disembelih dua kali atau lebih dengan cara mengangkat pisau atau cara bergantian, karena status hewan pada saat itu adalah harkatul madzbuh / ‘aisyul madzbuh.
– FATHUL MU’IN :
Sebenarnya asalkan sudah terpotong hulqum dan mari maka hewan tersebut HALAL, itu intinya. Kenapa ? karena hulqum itu jalan nafas dan mari’ itu jalan makanan, tanpa keduanya maka nyawa hewan takkan bertahan lebih lama. Hanya disunnahkan terpotong juga dua urat leher aliran darahnya (wijdain).
Selebihnya dari itu, asalkan anggota wajib dan sunnah sudah terpotong maka hukumnya MAKRUH tapi tidak sampai haram. Semisal setelah itu tapi sebelum mati, masih dipotong kepalanya atau masih mengorek sumsumnya dsb. Dimakruhkan karena tidak berprikehewanan, ibarot :
fokus (AL-MAJMU’) :
– AL-MUGHNI IBNU QUDAMAH :
fokus :
Ada atsar dari Sahabat Sayyidina Anas Ra, atsar tersebut mengenai penyembelihan ayam dari arah leher belakang karena ayamnya tidak mau diam saat penyembelihan sampai terputus lehernya. Lihat Fathul Bari 9/642 :
Ada seorang jagalnya sahabat Anas menyembelih ayam, kemudian ayam itu bergerak gesit, kemudian tukang jagal tadi menyembelih lagi ayamnya dari jitok / Qofa (leher bagian belakang) dan kali ini sampai di putus kepala ayamnya. Karena dianggap tidak memenuhi syarat, mereka hendak membuang ayam itu, tapi sama sahabat Anas disuruh untuk dimakan.
Artinya kalau kita meneliti Atsar lebih dalam, maka akan berkesimpulan :
Wallohu a’lam. [Mbah Godek, Ghufron Bkl, Utsman Hasan, Brojol Gemblung, Su Kakov, Hasyim Toha].
LINK ASAL :