oleh Ahmad Fuady
Mengapa kaum Muslimin begitu tak berdaya? Sebaliknya, kaum Yahudi begitu perkasa? Inilah email yang pekan lalu saya terima dari Prof Salim Said yang kemudian diteruskan banyak orang lain kepada saya.
‘Why are Jews so powerful?’ Ini adalah tulisan Dr Farrukh Saleem, direktur eksekutif Pusat Riset dan Kajian Keamanan, Islamabad, Pakistan, yang juga kolumnis di berbagai media. Dalam catatan Saleem, kini terdapat sekitar 14 juta orang Yahudi di dunia: tujuh jutaan di Benua Amerika, lima jutaan di Asia, dua jutaan di Eropa, dan 100 ribuan di Afrika.
Pada pihak lain, ada 1.476.233.410 jiwa Muslim di muka bumi: satu miliaran di Asia, 400 jutaan di Afrika, sekitar 44 juta di Eropa, dan enam jutaan di Benua Amerika. Jadi, satu di antara lima manusia beragama Islam; setiap satu Hindu atau Buddha ada dua Muslim; dan setiap satu Yahudi ada 100-an Muslim. ‘Ever wondered why Muslims are so powerless?’ Tulis Saleem.
Lihat saja fakta berikut: Figur sangat berpengaruh semacam Yesus [Kristus] dari Nazareth adalah Yahudi. Albert Einstein, Sigmund Freud, dan Karl Marx. Begitu juga sederetan nama yang ikut meningkatkan kesejahteraan manusia seperti Benjamin Rubin penemu jarum suntik, Jonas Salk penemu pertama vaksin polio, Alert Salin pengembang vaksin polio, Gertrude Elion pengembang obat leukemia, dan Baruch Blumberg pengembang vaksin hepatitis B. Hasilnya, dalam 105 tahun terakhir, 15 ilmuwan Yahudi memenangkan Hadiah Nobel, sebaliknya hanya ada tiga pemenang beragama Islam.
Masih banyak inventor lain di kalangan Yahudi. Misalnya, Stanley Mezor penemu micro-processing chip, Leo Szillard pengembang reaktor rangkaian nuklir, Peter Schulz penemu kabel fiber optik, Charles Adler penemu lampu lalu lintas, Benno Strauss penemu besi tanpa karat, Isador Kisee penemu film suara, Emile Berliner mikrofon telepon, dan Charles Ginsburg, perekam videotape.
Juga ada financiers Yahudi di dunia bisnis seperti Ralph Lauren (Polo), Levis Strauss (Levi’s), Howard Schultz (Starbuck’s), Sergey Brin (Google), Michael Dell (komputer Dell), Larry Ellison (Oracle), Donna Karan (DKNY), Irv Robbins (Baskins & Robbins), dan Bill Rosenberg (Dunkin Donuts). Lalu, filantropis semacam George Soros yang mendonasikan empat miliar dolar AS dan Walter Annenberg yang menyumbang dua miliar dolar untuk ratusan perpustakaan.
Figur Yahudi juga mencakup Richard Levin (Presiden Universitas Yale), Henry Kissinger dan Madeleine Albright (keduanya mantan Menlu AS), Alan Greenspan (ketua The Fed masa presiden Reagan, Bush, Clinton, dan Bush), Caspar Weinberger (menhan AS), Maxim Litvinor (menlu Soviet), David Marshal (chief minister pertama Singapura), Issac Isaacs (gubernur jenderal Australia), Benjamin Disraeli (negarawan Inggris), Yevgeny Primakov (PM Rusia), Jorge Sampaio (presiden Portugal), John Deutsch (direktur CIA), Herb Gray (deputi PM Kanada), Pierre Mendes (PM Prancis), Michael Howard (mendagri Inggris), Bruno Kresiky (kanselor Austria), dan Robert Rubin (menteri perbendaharaan Negara AS).
Bahkan, Hollywood didirikan orang Yahudi. Bintang film terkenal keturunan Yahudi termasuk Harrison Ford, Tony Curtis, Charles Bronson, Sandra Bullock, Billy Christal, Woody Allen, Paul Newman, Peter Sellers, Dustin Hoffman, Kirk dan Michael Douglas, Ben Kingsley, dan Goldie Hawn. Lalu, sutradara dan produser film Steven Spielberg, Mel Brooks, Oliver Stone, dan Aaron Spelling.
Dengan begitu, tidak heran kalau bangsa Yahudi sangat berpengaruh dalam banyak bidang. Ditambah lobi Israel dan lobi Yahudi yang kuat di berbagai negara Barat, pengaruh Yahudi dalam ekonomi dan politik global sulit tertandingi.
Mengapa kaum Muslim tak berdaya? Saleem memberikan dua kesimpulan saja: Dunia Muslim kurang memiliki kapasitas untuk menghasilkan iptek; dan gagal melakukan difusi iptek. Terdapat kepincangan amat mencolok dalam bidang pendidikan. Di seluruh 57 negara anggota OKI hanya ada sekitar 500 universitas; sedangkan India ada 8.407 dan AS punya 5.758 universitas. Tidak ada universitas di dunia Muslim yang masuk 500 universitas terbaik ‘Academic Ranking of World Universities’ versi Shanghai Jiao Tong. Hasilnya, hanya ada 230 ilmuwan per satu juta Muslim; sedangkan AS 4.000-an dan Jepang 5.000-an.
Memang, pendidikan di dunia Muslim jauh tertinggal. Sebagian besar karena keadaan ekonomi dan keuangan yang tidak memadai, sehingga gagal menyediakan pendidikan berkualitas sejak tingkat dasar sampai tinggi. Sedangkan beberapa negara Muslim kaya penghasil minyak tidak memprioritaskan pendidikan; banyak dana dihamburkan untuk anggaran pertahanan dan proyek mercusuar seperti gedung tertinggi di dunia.
Indonesia dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia masih berkutat dengan usaha peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan. Meski 20 persen anggaran pusat dan daerah sudah diabdikan untuk pendidikan, sebagian besar pendidikan masih bermutu rendah. Sementara itu, sekolah dan universitas bermutu kian sulit terjangkau karena biaya kian mahal. Jika Indonesia ingin merebut posisi terdepan dalam pendidikan di Dunia Muslim, pembenahan pendidikan mesti benar-benar menjadi prioritas pokok.
Seorang penulis milis MF menyatakan, kenyataan ini adalah “ironi karena lima ayat surah al-‘Alaq yang pertama kali diterima Rasulullah SAW yang didahului perintah ‘Iqra’ tidak berdampak luas dalam kehidupan [umat] Islam”.
Menyangkut akselerasi pendidikan dan pengembangan iptek, adalah keniscayaan bagi kaum Muslim mengembangkan keter bukaan pada sumber iptek dari mana pun. Ini berarti meniscayakan pula penghilangan sikap apologetik, defensif, dan reaktif dari sebagian Muslim yang masih sangat mencurigai segala macam iptek yang bersumber, misalnya, dari Barat.
Kalangan Muslim seperti ini seolah melupakan sejarah kemajuan iptek di tangan ilmuwan Muslim di masa klasik yang bersumber dari sikap keterbukaan menerima dan mengkaji berbagai sumber iptek untuk kemudian mereka kembangkan menjadi iptek universal yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas kehidupan kemanusiaan.
Dalam kaitan itu, kaum Muslim patut mengembalikan rasa percaya diri. Karena sering ada kecurigaan berlebihan bersumber dari kekhawatiran dan ketakutan berlebihan, akhirnya menimbulkan mentalitas tertutup dan bahkan ‘mentalitas terkepung’.
Akan tetapi, ketidakberdayaan kaum Muslimin tidak hanya terutama bersumber dari keterbelakangan pendidikan. Ketidakberdayaan itu juga terkait dengan berbagai realitas lain Dunia Islam, ter utama dalam bidang politik, sosial, bu daya, dan bahkan pemahaman keagamaan. Karenanya, usaha mengatasi ketidakberdayaan kaum Muslimin mesti juga melibatkan pembenahan dan perbaikan ke adaan sehingga dapat memberikan kondisi kondusif bagi pemberdayaan dan pemajuan kaum Muslimin dalam berbagai bidang.
Ketidakberdayaan kaum Muslimin sangat terkait dengan kondisi politik yang kacau di banyak bagian Dunia Muslim sejak masa kolonialisme Eropa sampai sekarang. Kekacauan politik itu dalam batas tertentu berhubungan dengan ketidakadilan tatanan politik internasional, seperti terlihat di Timur Tengah menyangkut konflik Palestina-Israel, dan pendudukan sekutu yang terus berlanjut di Irak dan Afghanistan.
Tetapi jelas, kekacauan politik terutama bersumber dari kegagalan banyak negara Muslim membangun sistem politik yang viabel—mampu bertahan karena dapat diterima masyarakatnya sendiri sebab demokratis, misalnya. Namun, yang terjadi di banyak negara Muslim, realitas politik adalah otoritarianisme militer dan sipil yang berkuasa sangat lama, amat korup, yang hampir tidak memberikan ruang bagi warga negara bersuara. Indonesia pernah memiliki pengalaman seperti ini di masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto sebelum kemudian tumbang lewat peristiwa yang melibatkan kekuatan rakyat dan pertumpahan darah.
Di banyak negara Muslim lain, situasi politik kacau masih terus berlanjut sampai kini. Meski kekuasaan otoritarianisme Ben Ali (Tunisia) dan Husni Mubarak (Mesir) telah ditumbangkan kekuatan rakyat, pergulatan politik masih berlangsung. Bahkan, pertumpahan darah terus terjadi di Syria dan Yaman, yang bukan tidak mungkin menular ke negara-negara Muslim otoriter lain di Dunia Arab.
Instabilitas politik dan kekerasan berdarah juga terus terjadi di Afghanistan, Irak, dan Pakistan. Bahkan, Malaysia yang bagi sebagian orang menjadi ‘model’ stabilitas politik dan kemajuan ekonomi, juga menerapkan politik totaliter represif seperti terlihat dalam demonstrasi menuntut Pilihan Raya yang bersih dan jujur.
Kekacauan politik di negara-negara Muslim ini, terutama disebabkan—meminjam istilah Buya Syafii Maarif—‘syahwat po litik’ yang nyaris tidak terkendali, baik pa da level kepemimpinan puncak maupun elite politik lain. Ketika beberapa negara Muslim menjadi demokrasi, seperti Indo nesia, syahwat politik itu menghinggapi hampir seluruh elite politik di tingkat na sional maupun lokal. Lebih celaka lagi, syah wat politik itu bercampur dengan ‘syah wat ekonomi’ yang juga tidak terkendali sehingga menimbulkan wabah korupsi.
Dalam situasi politik dan ekonomi koruptif seperti itu, bagaimana mungkin kaum Muslimin bisa berdaya? Sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan banyak barang tambang lain tidak diabdikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi sebaliknya guna kepentingan poli tik rezim berkuasa. Lebih parah lagi, situasi kacau—ketiadaan stabilitas politik dan ekonomi koruptif—membuka ruang besar bagi infiltrasi dan penetrasi kekuatan asing yang membuat keadaan kian kacau.
Karena itu, dalam konteks pemberdayaan Muslimin, agenda paling pokok adalah membenahi rumah tangga sendiri, membangun sistem politik demokratis yang viabel dan ekonomi yang bersih dari korupsi, serta pembangunan yang berpihak kepada pemberdayaan warga.
Azyumardi Azra