2832. KEWAJIBAN SUAMI MEMBERIKAN NAFKAH KEPADA ISTRI DAN ANAK-ANAKNYA

Pertanyaan: 

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Ikhwan akhwat fillah, mohon bantuan and masukannya. Ini soal titipan dari teman. Al kisah. Mereka sudah berumah tangga, tapi HJJ cause sang istri harus mengurus ibunya yang stroke dan suami kerja di rantau dengan penghasilan 2,5 juta / bulan. Tapi penghasilannya habis karena biaya hidupnya sendiri, dan kalau pulang tidak bawa uang, sehingga tidak bisa menafkahi sang istri, untung sang istri jadi kuli cuci yang penghasilannya 200 ribu / bulan. Pertanyaanya :

Bacaan Lainnya

1. Dosakah sang suami tersebut
2. Jika ingn menegur, gimana cara menegur yang baik
3. Apa saran antum terhadap keluarga mereka. [Sri Nuraeni].

Jawaban atas pertanyaan 

Wa’alaikum salam Wr. Wb

1.Suami berdosa, karena tidak melakukan kewajibannya sebagai seorang suami, untuk menafkahi istrinya, & untuk apa merantau dengan penghasilan sebesar itu, istri tidak diberi? mendingan di rumah, dia yang jagain mertuanya, & istrinya cari tambahan buruh nyuci,

2.Sampaikan dengan suaminya suruh bilang “akang, kalau sama saja uangnya cukup hanya untuk kebutuhab akang sendiri, mending akang cari kerja di sini saja, di saat akang capek, saya bisa ngerokin, mijitin, lha kalau jauh di sana, saat akang sakit, saya khawatir, cari kerja di sini aja ya kang,

3.Sudah mencakup pada no. 2

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ

Artinya : Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.(QS. Al-Baqarah : 233).

{ وعلى المولود له } اي الأب { رزقهن } إطعام الوالدات { وكسوتهن } على الإرضاع إذا كن مطلقات { بالمعروف } بقدر طاقته { لا تكلف نفس إلا وسعها } طاقتها { لا تضار والدة بولدها } اي بسببه بأن تكره على إرضاعه إذا امتنعت { ولا } يضار { مولود له بولده } اي بسببه بأن يكلف فوق طاقته وإضافة الولد إلى كل منهما في الموضعين للاستعطاف { وعلى الوارث } اي وارث الأب وهو الصبي اي على وليه في ماله { مثل ذلك } الذي على الأب للوالدة من الرزق والكسوة16

Artinya : (Dan kewajiban yang diberi anak), maksudnya bapak (memberi mereka (para ibu) sandang pangan) sebagai imbalan menyusukan itu, yakni jika mereka diceraikan (secara makruf), artinya menurut kesanggupannya. (Setiap diri itu tidak dibebani kecuali menurut kadar kemampuannya, maksudnya kesanggupannya. (Lihat Kitab Tafsir Jalalain Halaman 47).

وقوله: { وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ } أي: وعلى والد الطفل نفقة الوالدات وكسوتهن بالمعروف، أي: بما جرت به عادة أمثالهن في بلدهنّ من غير إسراف ولا إقتار، بحسب قدرته في يساره وتوسطه وإقتاره، كما قال تعالى: { لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا }. قال الضحاك: إذا طلَّقَ [الرجل] زوجته وله منها ولد، فأرضعت له ولده، وجب على الوالد نفقتها وكسوتها بالمعروف.16

Artinya : Allah berfirman :”kewajiban ayah memberi makan dan pakain kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”. Yakni di wajibkan atas orang tua si anak memberi nafkah dan sandang ibu anaknya dengan cara yang ma’ruf. Ya’ni menurut tradisi yang berlaku bagi semisal mereka di negeri yang bersangkutan tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu minim. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan pihak suami dalam hal kemampuan ekonominya, karena ada yang kaya, ada yang pertengahan, ada pula yang miskin. Seperti yang dijelaskan dalam firmannya :”hendaklah orang-orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang-orang yang di sempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. Ad-Dahak mengatakan, Apabila seseorang menceraikan istrinya, sedangkan ia telah punya anak dari istrinya itu yang masih dalam penyusuan, maka ia wajib memberi nafkah dan sandang kepada istrinya yang telah di ceraikan itu dengan cara yang ma’ruf (selama bekas istrinya itu masih menyusukan anaknya). (Lihat Kitab Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 Halaman 634).

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ ) رَوَاهُ النَّسَائِيُّ. وَهُوَ عِنْدَ مُسْلِمٍ بِلَفْظِ: أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ16

Artinya : Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Cukup berdosa orang yang membiarkan orang yang wajib diberi makan.” (HR. Nasa’i. Dalam lafadz riwayat Muslim: “Ia menahan memberi makan terhadap orang yang ia miliki.” Lihat Kitab Bulughul Maram No. Hadits 937).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah berkata, Wahai Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya.” Maka beliau bersabda: Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu. (HR. Bukhori No. 4945).

مايؤخذمنالحديث

:  1. وجوب نفقة الزوجة والأولاد, وأنه يختص بهاالأب, فلا تشاركه الأم فيها, ولاغيرها من الأقارب

.  2. ألنفقة تقدر بحال الزوج, وحال المنفق, من حيث الغنى, والفقر, ووسط الحال

.  3. ألنفقة تكن بالمعروف, ومعنى المعروف, العرف والعادة, وهذا يختلف باختلاف الزمان, والمكان, وأحول الناس

.  4. أن من وجبت عليه النفقة, فلم ينفق سحا, فان يؤخذ من ماله, ولو بغيرعمله, لأنها نفقة واجبة عليه

.  5. ومنه أن المتولي على أمر من الأمور يرجع في تقديره اليه, لأنه مؤتمن, فله الولاية على ذالك

.  6. اختلف العلماء, هل أمر النبي صلى الله عليه وسلم هندا هين سألته أن تأخذ من مال زوجها هو حكم, فيكون من باب الحكم على الغائب, أم أنها فتوى؟ قال العلماء : ان هذا القصة مترددة بين كونها فتيا, وبين كونها حكما, وكونها فتيا أقرب, لأنه لم يطالبها بينة, ولاستحلفها, وأبو سفيان فى البلد لم يغيب  عنه, والحكم لا يكون الا بحضور الخصمين كليهما

.  7. ومنه جواز مخاطبة الأمرأة الأجنبية للحاجة, وعند الأمن من الفتنة

.  8. وعموم الحديث يوجب نفقة الأولاد, وان كانوا كبارا, قال الله تعالى : وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف

.  9. وفيه دليل على أن من تعذر عليه الستيفاء ما يجب له, فله أن يأخذه, ولو على سبيل الخفية, ويسميها العلماء, “مسألة الظفر”, وهي مسألة خلافية, أجزاها الشافعي وأحمد, ومنعها أبوحنيفه ومالك, والراجح  التفصيل وذالك أنه ان كان سبب الحق واضحا بينا, فله الأخذ, لانتفاء الشبهة  فيه, وان كان السبب خفيا, فللا يجوز, لئلا يتهم بلآخذ بالاعتداء على حق الغير.16

INTISARI HADITS :
Dari hadits di atas, para ulama menyerap banyak sekali hukum, di antaranya : Wajibnya memberi nafkah (uang belanja) kepada isteri dan anak-anak. Nafkah ini diemban secara khusus atas seorang ayah (suami) dan tidak dapat dibebankan kepada sang ibu (isteri) atau kerabat dekat.Ukuran nafkah itu disesuaikan dengan kondisi keuangan sang suami dan orang yang menafkahi, dilihat dari aspek kekayaan, kefakiran dan kemudahan rizkinya.Nafkah itu hendaknya berlaku secara ma’ruf. Artinya sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku dan ini tentunya berbeda-beda dari sisi waktu, tempat dan kondisi manusia.Siapa yang sudah diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah, namun tidak memberi nafkah kecuali dengan sangat bakhil, maka boleh diambil dari hartanya walalu pun tanpa sepengetahuannya sebab ia merupakan nafkah yang wajib atasnya.Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas hajat orang banyak (sebagai penguasa), maka penentuan ukuran besarnya nafkah itu ditentukan menurut pendapatnya sebab ia lah orang yang diberi amanah dan memiliki kekuasaan (berwenang) atas hal itu.

Para ulama berbeda pendapat mengenai: apakah perintah Nabi SAW kepada Hindun untuk mengambil harta suaminya itu dinilai sebagai suatu putusan hukum sehingga kondisi ini adalah dalam rangka putusan hukum berdasarkan kejadian yang dominan, ataukah ia dinilai sebagai fatwa? Para ulama mengatakan, kisah Hindun ini mengandung dua kondisi antara keduanya; ia sebagai fatwa sekali gus juga putusan hukum. Tetapi kondisinya sebagai fatwa lebih dekat (tepat) sebab beliau SAW tidak menuntutnya (Hindun) untuk menghadirkan alat bukti atau memintanya agar bersumpah padahal Abu Sufyan sendiri masih ada di tempat alias tidak sedang ke luar kota. Sedangkan bila memang ia sebagai putusan hukum, maka semestinya dihadiri oleh kedua orang yang bersengketa tetapi dalam hadits itu, tidak terjadi (alias yang hadir hanya Hindun, isteri Abu Sufyan).Pengaduan seperti itu dan semisalnya bukanlah merupakan benuk ghibah (gunjingan) yang diharamkan sebab Hindun mengadukan perkaranya kepada pihak yang berwenang (Rasulullah SAW), yang mampu berlaku adil terhadapnya serta dapat menghilangkan kezhaliman yang dialaminya.

Hadits tersebut mengandung makna umum, yaitu wajibnya memberi nafkah kepada anak-anak sekali pun mereka sudah besar (dewasa). Allah berfirman, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS.al-Baqarah:233).Hadits tersebut merupakan bukti bahwa orang yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pemenuhan sesuatu yang sudah menjadi haknya, maka ia boleh mengambilnya sekali pun dengan cara diam-diam. Hal ini diistilahkan para ulama dengan masalah Zhafar, yang merupakan masalah khilafiyyah (yang masih diperselisihkan). Dalam hal ini, Imam asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkannya sementara Imam Abu Hanifah dan Malik melarangnya. Pendapat yang kuat (rajih) adalah harus dirinci dulu; Artinya, bila sebab adanya hak itu memang jelas dan terang, maka si punya hak boleh mengambilnya karena sudah tidak ada syubhat lagi, sedangkan bila sebabnya masih samar, maka tidak boleh agar ia tidak dituduh melanggar hak orang lain. (Lihat Kitab Taudihul Ahkam Min Bulughul Maram Juz 6 Halaman 35-36). [Langlang Buana, Hariz Jaya].

Wallohu a’lam. Semoga bermanfaat.

 

Sumber Baca Disini
Silahkan baca juga artikel terkait.

Pos terkait