PERTANYAAN
Hamidah Zain
Assalamu’alykum…apa hukumnya golput ? ..mohon pencerahan. Jazakumullah khair
JAWABAN
> Ghufron Bkl
Wa’alaikum salam. Memilih/mengangkat pemimpin adalah fardlu kifayah. :
.بقي أن نقول أن وجوب نصب الخليفة الذي ذهب اليه جمهور العلماء ليس وجوبا عينيا بل هو وجوب كفائي شأنه شأن سائر الواجبات الكفائية من جهاد وطلب علم ونحو ذلك فإذا بهذه الوظيفة من يصلح لها سقط وجوبها على كافة المسلمين . مغني المحتاج ٥/٤١٨
> Toni Imam Tontowi
Wa’alaikum salam. Pemilihan Umum, merupakan “pesta demokrasi” untuk menentukan wakil rakyat yang di beri amanat, guna menjaga dan melestarikan kemaslahatan umat secara umum. Baik memilih legislatif atau memilih Presiden. Hal ini, disebut dengan intichabab alriqab wa ahli syura (memilih Pengawas Pemerintah dan Badan Musyawarah. Atau intichab raisul jumhur yang identik dengan nasbu al Imam (memilih Presiden yang identik dengan membentuk dengan atau mengangkat imam, dimana hukum wujudnya Dewan Suro dan Presiden adalah fardu kifayah. Artinya, kewajiban yang penting “hasilnya maksud”, dengan tanpa melihat pelakunya. Sebagaimana definisi fardu kifayah. Dalam Lubuul Ushul hal. 26:
فَرْضُ الْكِفَايَةِ مُهِمٌّ يُقْصَدُ جَزْمًا حُصُوْلُهُ مِنْ غَيْرِ نَظْرٍ بِالذَّاتِ لِفَاعِلِهِ.
Artinya: Fardu kifayah adalah sesuatu yang terpenting adalah tujuannya hasil dengan pasti dengan tanpa melihat pelakunya.
Yakni, jika tujuannya sudah berhasil, maka kita tidak dituntut untuk melakukan. Sebaliknya, jika tujuan tersebut belum berhasil, maka kita semua yang mampu dan tahu, di tuntut untuk mengusahakan terwujudnya sesuatu tersebut.
A. Kronologi pemilihan umum dihukumi fardu kifayah sebagai berikut:
Sesungguhnya, Pemilihan Umum dalam rangka “pesta demokrasi” seperti di Indonesia, tidak pernah ada dalam sistem pemerintahan Islam. Dan sebenarnya, sitem Pilpres langsung, Pilgub langsung, perlu ditinjau ulang melihat dampak negatifnya lebih banyak. Tapi, yang wajib adalah terbentuknya kesejahteraan masyarakat, keamanan, dan berjalannya syariat Islam dengan utuh. Karena hal itu tidak dapat terwujud tanpa adanya pemerintahan yang adil dan bijaksana, maka wujudnya pemerintahan merupakan wajib.
مَالاَيَتِمُّ اْلوَاجِبُ اِلاَ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Segala sesuatu yang sudah menjadi wajib, maka hukumnya wajib sebagaimana kewajiban tersebut”.
Sebenarnya, mewujudkan pemerintahan tersebut tidak harus dengan pemilihan umum, jika dapat direalisasikan dengan selain pemilihan umum. Akan tetapi, jika hanya dengan pemilihan umum sebagaimana yang terjadi di Indonesia tercinta ini, maka pemilihan umum menjadi fardu kifayah, karena berusaha mewujdukan cita-cita tersebut. Karenanya, memilih dalam pemilihan umum hukumnya fardu kifayah pula.
Lalu, apakah golput haram? Jika kita yakin atau punya dugaan bahwa dengan adanya kita golput, cita-cita di atas tidak terwujud maka golput haram. Jika kita yakin atau dhan (berprasangka) cita-cita tetap terlaksana walau kita golput, maka golput tidak masalah atau tidak haram. Demikian pula, jika kita yakin atau dhan golput atau memilih hasilnya sama, sama suksesnya atau sama tidak suksesnya. Jika kita ragu akan “dampak” golput kita, maka terjadi dua pendapat dikalangan ulama.
1. Golput dihukumi haram, dengan mengacu bahwa “khitob” (tuntutan) fardu kifayah, asalnya di tetapkan pada individu dan akan gugur setelah ada keyakinan atau dhan bahwa kewajiban tersebut sudah berhasil tanpa kita , maka dalam keadaan ragu masih wajib.
2. Golput tidak haram, melihat asal fardu kifayah bukan khitob untuk semua indifidu, tapi kepada sebagian kelompok yang tidak tertentu. Dan dapat menjadi kewajiban setiap indifidu, jika yakin atau dhan belum terlaksana, berarti kalau ragu belum menjadi wajib. Pendapat yang lebih benar yang pertama. Hal ini disebabkan kemungkinan arah khitob tersebut dengan melihat dua pandangan sebagai berikut:
Melihat jika tidak ada yang melakukan sama sekali, yang berdosa adalah semua individu. Maka, arah khitob fardu kifayah pada indifidu.
B. Melihat jika sudah ada orang lain yang mencukupi, kita tidak mendapat dosa. Berarti, pada dasarnya kita tidak wajib. Keterangan ini sama dengan fatwa al Syekh Zakaria al Anshari dalam kitab Ghoyatul Wusul hal 27;
وَاْلأَصَحُّ اَنَّهُ اى فَرْضُ اْلكِفَايَةِ عَلَى اْلكُلِّ لإِثْمِهِمْ بِتَرْكِهِ كَمَا فِى فَرْضِ اْلعَيْنِ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى قاَتِلُوا الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ باللهِ وَهَذَا مَا عَلَيْهِ الجُمْهُوْرُ وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِى فِى اْلأُمِّ وَيَسْقُطُ اَلْفَرْضُ بِفِعْلِ اْلبَعْضِ لأَنَّ اْلمَقْصُوْدَ كَمَا مَرَّ حُصُوْلُ اْلفِعْلِ لاَ ابْتِلاَءُ كُلِّ مُكَلَّفٍ بِهِ – اِلىَ اَنْ قاَلَ – وَقِيْلَ فَرْضُ اْلكِفَايَةِ عَلَى اْلبَعْضِ لاَ اْلكُلِّ وَرَجَّحَهُ الأَصْلُ . وِفَاقًا بِزَعْمِ اْلإِمَام الرَّازِى للإِكْتِفَاءِ بِحُصُوْلِهِ مِنَ اْلبَعْضِ وَِلأَيَةٍ وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ اُمَّةٌ يَدْعُوْنَ اِلَى اْلخَيْرِ – اِلىَ اَنْ قَالَ – ثُمَّ مَدَارُهُ عَلَى الظَّنِّ فَعَلَى قَوْلِ اْلكُلِّ مَنْ ظَنَّ اَنَّ غَيْرَهُ فَعَلَهُ أَوْ يَفْعَلُهُ سَقَطَ عَنْهُ وَمَنْ لاَ فَلاَ. وَعَلَى اْلقَوْلِ اْلبَعْضِ مَنْ ظَنَّ اَنَّ غَيْرَهُ لَمْ يَفْعَلْهُ وَلاَ يَفْعَلُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ وَمَنْ لاَ فَلاَ.
Artinya: Menurut pendapat yang lebih benar bahwa “fardu kifayah”, di arahkan kepada semua individu, kerena dosanya dibebankan kepadanya jika sama-sama tidak ada yang melakukan sebagaimana fardu ain. Dengan dasar firman Allah.
وَقَاتِلُوا الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
Ini pendapat mayoritas ulama. Dan sebagaimana nashnya imam Syafi’i dalam kitab Um hanya saja fardu akan gugur dengan sebagian yang melakukan. Karena maksudnya yang penting hasil. Bukan bebannya terhadap mukallaf. Sebagian ulama berpendapat, kewajiban tersebut diarahkan kepada sebagian, bukan setiap indifidu. Sebagaimana pendapat Imam Fatchurrozi, dikarenakan dicukupkan pada sebagian dengan berdasarkan ayat;
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ اُمَّةٌ يَدْعُوْنَ اِلَى اْلخَيْرِ
Kemudian kisaran kewajiban tersebut pada dugaan masing-masing dengan mengikat kewajiban diarahkan kepada semua individu. Maka, barang siapa menduga bahwa orang lain telah melakukan atau dia sendiri melakukan, maka kewajiban telah gugur. Barang siapa tidak menduga dan tidak melakukan, maka tidak gugur atau tetap wajib. Jika mengikuti atas kewajiban sebagian, maka barang siapa menduga tidak ada orang lain yang melakukan dan ia tidak melakukan maka dia menjadi wajib jika tidak maka tidak wajib. Ghoyatul wushul hal 27.
LINK ASAL