Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup kaum muslimin telah sedang dan akan selalu ditafsirkan. Karena itu, dalam pandangan kaum muslimin, tafsir al-Qur’an adalah istilah yang sangat mapan. Akhir-akhir ini di negeri kita, hermeneutika sebagai metode penafsiran teks, sedang digandrungi oleh para intlektual dan para orientalis negeri seberang, dan digemakan oleh para pemikir islam moderenis seperti, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Muhamad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid dan lain-lain. padahal istilah hermeneutika adalah kosa kata filsafat barat yang juga sangat terkait dengan interpretasi Bibel. Oleh karena itu hermeneutika tidak layak disinonimkan dengan tafsir al-Qur’an yang memiliki konsep yang jelas, berurat dan berakar dalam Islam. Hermeneutika dibangun atas faham relatifisme. Hermeneutika menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran al-Qur’an itu relatif, padahal fakta empiris menunjukkan para mufassir yang terkemuka sepanjang masa tetap memiliki kesepekatan-kesepakatan. Jika hermeneutika tetap digunakan sebagai sinonim terhadap tafsir, akan mengimplikasikan berbagai problematika yang ada didalam hermeneutika, juga terjadi didalam al-Qur’an. Tulisan di bawa ini akan mengungkap bahwa hermeneutika tidaklah layak untuk di anggap sebagai tafsir.
Hermeneutika, Tafsir dan Ta’wil
Secara etimologis, kata tafsir berasal dari bahasa Arab, Fassara, yang bermakna menerangkan atau menjelaskan. Kata tafsir disbutkan secara eksplisit di dalam al-Qur’an surat Al-Furqon (25: 33) yang artinya: Tidaklah engkau orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. Secara terminologis, tafsir dimaksud adalah ilmu yang dengannya, pemahaman terhadap kitab Allah swt yang diturunkan kepada Rasulullah saw, penjelasan mengenai makna-makna kitab Allah swt dan penarikan hukum-hukum beserta hikmahnya itu dapat diketahui
Kata hemeneutika merupakan derivasi dari bahasa Yunani dari akar kata hermÇneui, yang berarti menafsirkan. Hermeneutika di asosiasikan kepada Hermes, seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewata yang masih samar-samar kedalam bahasa yang dipahami manusia.
Sumber-sumber perkamusan menyatakan, Istilah hermeneutika dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka untuk mencari “nilai kebenaran Bible”. Mengapa dengan hermeneutika itu para teologi bertujuan mencari nilai kebenaran dadalam Bible? Jawabannya adalah, karena mereka memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka. Mereka mempertanyakan apakah secara harfiyah Bible itu bisa dianggap Kalam Tuhan atau perkataan manusia. Hal itu disebabkan adanya perbedaan gaya dan kosa kata yang ditemukan pada berbagai pengarang Bible. Adanya perbedaan itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan Kalam Tuhan. Oleh sebab itu para teolog Kristen, memerlukan hermeneutika untuk memahami Kalam Tuhan yang sebenarnya. Mereka hampir bersepakat, bahwa Bible secara harfiyahnya bukanlah Kalam Tuhan. Keadaan ini berbeda dengan kaum Muslimin, yang yang telah bersepakat bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah swt yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Kaum Muslimin juga bersepakat, bahwa secara harfiyah al-Qur’an itu dari Allah swt. Juga, kaum Muslimin sepakat, membaca al-Qur’an secara harfiyah adalah termasuk ibadah dan mendapat pahala, menolak bacaan harfiyah adalah kesalahan, membacanya secara harfiyah didalam sholat adalah syarat. Oleh sebab itu kaum Muslimin, berbeda dengan Yahudi dan Kristen, tidak pernah bermasalah dengan lafadz-lafadz harfiyah al-Qur’an.
Perbedaan selanjutnya adalah, bahwa Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dengan bahasa asalnya. Bahasa asal Bible adalah Hebrew untuk Perjanjian Lama, Greek untuk Perjanjian Baru, dan Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramic. Teks-teks Hebrew Bible pula mempunyai masalah dengan isu Orginality. Mengenai bahasa Hebrew sendiri, saat ini tak ada seorangpun yang masih aktif menggunakan bahasa Hebrew kuno. Oleh sebab ketiadaan bahasa Hebrew pada saat ini, maka wajarlah para teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan lain untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika kemungkinannya dapat membantu suatu karya terjemahan, lebih-lebih lagi, jika bahasa asalnya sudah tidak ditemukan lagi. Friedrich Schleiermacher (1768-1834), filosof Protestan dari Jerman, yang dipercaya sebagai pendiri hermeneutika secara umum, menyatakan bahwa, diantara tugas hermeneutika itu adalah untuk memahami teks “sebaik atau lebih baik dari pada pengarangnya sendiri”. Maka wajarlah Bible yang dikarang oleh banyak orang itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya dengan cara yang lebih baik dari pengarangnya Bible itu sendiri. Adapun al-Qur’an, bagaimana mungkin terfikir oleh kaum Muslimin bahwa mereka dapat memahami al-Qur’an lebih baik dari Allah swt atau Rasulullah saw ?. Oleh sebab itu, dalam upaya pemahaman lebih dalam mengenai al-Qur’an, kaum Muslimin hanya memerlukan tafsir, bukan hermeneutika, karena mereka telah menerima kebenaran harfiyah al-Qur’an sebagai Kalam Allah swt.
Kalau perlu lebih mendalam lagi, seperti dalam ayat-ayat Mutasyabihat, maka yang diperlukan adalah ta’wil. Perlu ditegaskan, dalam tradisi Islam, ta’wil tidaklah sama dengan hermeneutika, karena ta’wil, mestilah berdasakan dan tidak bertentangan dengan tafsir, dan tafsir berdiri diatas lafadz-lafadz harfiyah al-Qur’an. Jadi, sebagai suatu istilah, ta’wil dapat berarti, pendalaman makna. Imam Al-Jurjani (w. 816/1413) dalam kitab Ta’rifatnya menyatakan tentang hubungan tafsir dan ta’wl sebagi berikut : Ta’wil secara asalnya bermakna kembali. Namun secara syara’ ia brmakna memalingkan lafadz dari maknanya yang dhohir kepada makna yang mungkin terkandung didalamnya, apabila makna yang mungkin itu sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Contohnya seperti firman Allah swt “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati ” (al-Anbiya‘: 95), apabila yang dmaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi apabila yang dimaksud disitu adalah mengeluarkan orang yang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta’wil .
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa ta’wil lebih dalam dari tafsir, dan tafsir itu berdasarkan kepada makna dhohir lafadz harfiyah ayat-ayat al-Qur’an. Jadi, sebenarnya terdapat banyak perbedaan antara tafsir dan hermeneutika. Bahkan terdapat ketidakmungkinan jika mengaplikasikan hermeneutika kedalam tafsir al-Qur’an.
Dari sisi epistemologis, hermeneutika bersumber dari akal semata-mata, oleh karenanya hermeneutika memuat dhon (dugaan), syak (keraguan), mira’ (asumsi), sedangkan didalam tafsir, sumber epistemologi adalah wahyu al-Qur’an. Karena itu, tafsir terikat dengan apa yang telah disampaikan, diterangkan dan dijelaskan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman dalam surat al-Nahl (44). yang artinya : Telah kami turunkan kepadamu (Muhammad) Kitab tersebut, agar kamu jelaskan kepada umat manusia tentang apa yang telah diturunkan (Allah) kepada mereka, dan agar mereka memikirkannya. Rasulullah saw menyampaikan, menerangkan dan menjelaskan isi al-Qur’an, jika ada diantara para sahabat yang bersilisih atau tidak mengerti mengenai kandungan ayat al-Qur’an, mereka merujuk langsung kepada Rasulullah saw, akal tidak dibiarkan lepas landas melanglang buana, sebagaimana yang terjadi didalam hermeneutika. Akal yang liberal tanpa ikatan, akan dengan mudah menyalah tafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat menafsirkan ayat al-Qur’an dengan sangat hati-hati. Abu Bakar ra misalnya, mengatakan : “Bumi mana yang akan membawaku, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku mengatakan didalam Kitab Allah apa yang aku tidak ketahui” . Para sahabat menafsirkan al-Qur’an dengan berpegang kepada penafsiran yang telah diberikan oleh Rasulullah saw. Ketika menafsirkan al-Qur’an, para sahabat pertama-tama menelitinya dalam ayat-ayat al-Qur’an yang lain, karena ayat-ayat al-Qur’an satu sama yang lain saling menafsirkan. Setelah itu mereka merujuk pada penafsiran Rasulullah saw, sesuai dengan fungsi beliau sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sekiranya penjelasan tertentu tidak ditemukan didalam al-Qur’an dan Hadits, maka para sahabat berijtihad. Setelah generasi para sahabat, para tabi’in menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, Hadits dan pendapat para sahabat, setelah itu baru dilakukan ijtihad. Pada masa para tabi’in, tafsir, belum merupakan disiplin ilmu tersendiri. Tafsir merupakan bagian dari Hadits.
Ini menunjukkan dengan jelas bahwa tafsir tidaklah semena-mena, namun selalu terkait dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Pada abad keempat hijryah, Imam Ibnu Jarir al-Thobari, menulis kitab Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an yang mengumpulkan segala berita dari para otoritas sebelumnya yang berkaitan dengan al-Qur’an. Al-Thobari menggunakan sistem isnad untuk menafsirkan al-Qur’an. Tujuannya adalah untuk menjaga agar penafsiran tidak dilakukan secara sembarangan dan tetap bersandar kepada penafsiran yang otoratif. Pendekatan al-Thobari ini kemudian diikuti oleh para mufassir yang lain, seperti Ibnu Katsir dengan Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-Suyuthi dengan tafsirnya al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur dan lain-lain. Berbeda dengan tafsir yang sudah mapan didalam Islam, hermeneutika muncul didalam konteks peradaban Barat, yang didominasi oleh konsep ilmu yang skeptik. Karena itu konsep yang ditawarkan oleh para hermeneut tentang makna, kandungan, teori hermeneutika itu sendiri, terus menerus mengalami berbagai perubahan, perbedaan dan bahkan pertentangan. Teori hermeneutika dibangun atas spekulasi akal. Karena itu, konsep dan teorinya tidak jelas sebagaimana penggunaan tafsir yang selalu terkait dengan al-Qur’an dan Hadits.
‘Ulumul Qur’an dan Kredibilitas Mufassir
Selain tafsir al-Qur’an, ilmu-ilmu yang membantu dalam menafsirkan al-Qur’an sudah wujud dengan sangat mapan. Kajian secara lebih mendalam dan khusus serta sistimatis mencakup berbagi aspek didalam al-Qur’an, seperti al-Qira’ah, asbab al-nuzul, nasikh wa al-mansukh, tarikh al-Qur’an, al-muhkan wa al-mutasyabihat, dan lain-lain. Ilmu-ilmu yang telah disebutkan diatas, harus dimiliki oleh para mufassir, agar isi al-Qur’an tidak ditafsirkan semena-mena. Para mufassir harus memiliki kredibilitas supaya tidak terjadi penyimpangan penafsiran. Jika penafsiran al-Qur’an dilakukan dengan sesuka hati oleh siapa saja, maka akan terjadi banyak kebingungan dan kerancuan penafsiran, sebagaimana yang terjadi dalam kelompok Ahmadiyah, yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kepentingan golongannya. Menghindari hal-hal seperti itu, para penafsir harus memenuhi berbagai pra syarat. Imam al-Suyuthi menyebutknan bahwa, seorang mufassir harus menguasi nahwu, shorrof, istihqoq, ma’ani, bayan, badi’, qiro’ah, ushuluddin, ushul al-fiqh, asbab al-nuzul, qishosh, nasikh wa al-mansukh, fiqh, dan hadits-hadits yang menerangkan al-Qur’an, disamping itu ia juga harus mengamalkan ilmunya . Pra syarat ini juga, yang membedakan dengan hermeneutika, yang membuka penafsiran seluas mungkin bagi siapa saja untuk menginterpretasikan teks.
Saat ini para orientalispun sangat getol menafsirkan al-Qur’an. Karena itu, sangat banyak sekali ditemukan penafsiran yang memuat kepentingan mereka. Padahal para ulama’ kita sejak dulu sudah menetapkan bahwa diantara syarat-syarat para mufassir adalah berkaitan dengan keberagamaan dan akhlaq, yaitu memiliki akidah yang sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan akhlaq Islami. Al-Thabari, misalnya, mengemukakan bahwa syarat utama seorang mufassir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikuti sunnah. Orang yang akidahnya cacat, tidak dapat dipercaya bisa mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan.
Kesimpulan
Walhasil, hermaneutika jelas berbeda dengan tafsir ataupun ta’wil, hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur’an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan brakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang sudah dhohir dari al-Qur’an dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis ini adalah adanya kesan keragu-raguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh kaum Muslimin. Keinginan para pemikir moderen, Muhammad Arkon misalnya, untukmen-“Deconstruct” (merubah ulang) Mushaf Utsmani , adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini. Pendapat Nasr Hamid Abu Zaid yang menyatakan bahwa, posisi Nabi Muhammad saw, sebagai semacam pengarang al-Qur’an, Nabi Muhammad saw sebagai seorang Ummiy, bukanlah penerima wahyu pasif, tetapi mengolah redaksi al-Qur’an, sesuai dengan kondisinya sebagai manusia biasa, setelah al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah saw kepada umatnya, maka telah berubah menjadi teks Insani bukan teks Ilahi yang suci dan sakral , adalah kesan yang muncul dari hermeneutika filosofis.
Dalam posisi yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman Shophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa, setiap pemahaman teks adalah bentuk dari interpretasi, dan karena interpretasi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman tersebut menjadi subyektif. Dengan kata lain, tidak ada orang yang dapat memahami apapun secara obyektif. Aqidah al-Nasafi, pada pragraf pertamanya menyatakan : Semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan akan dia adalah yang sebenarnya, berbeda dengan pendapat kaum Sufasta’iyyah . Salah satu golongan Sufasta’iyyah itu adalah golongan ‘indiyyah (Subyektifisme) yang menganut faham bahwa tidak ada kebenaran obyektif dalam ilmu, semua ilmu adalah subyektif, dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang. Apabila semua ini dikaitkan dengan kajian al-Qur’an, maka akibatnya tidak ada kaum Muslimin yang mempunyai pemahaman yang sama mengenai al-Qur’an, karena semua pemahaman itu tergantung pada interpretasi masing-masing.
Gagasan Schleiermacher bahwa penafsir dapat lebih mengerti lebih baik dari pengarang, sangat tidak tepat untuk di aplikasikan pada al-Qur’an. Tidak seorangpun dari kalangan mufassir mengatakan bahwa dia akan lebih mengerti dari pada “pengarang” al-Qur’an, Allah swt. Juga gagasan Wilhem Dilthey yang menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Pendapat semacam ini jelas tidak dapat diaplikasikan didalam tafsir al-Qur’an. Bagi Mufassir, Allah swt, justru mengubah sejarah, bukan malah dipengaruhi oleh sejarah. Begitu juga gagasan Gadamer yang menyatakan bahwa penafsiran senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing, Penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsir merupakan “reinterpretation”, memahami lagi teks secara baru dan makna yang baru pula. Pendapat Gadamer sebagaimana diatas, akan menggambarkan bahwa para penafsir tidak akan terlepas daripada latar belakang situasi, budaya dan sosial. Bagi kaum Muslimin, para mufassir, baik dahulu, sekarang dan yang akan datang, tidak akan terjebak dengan latar belakang sosial dan budaya. Tafsir dilakukan melampaui batas budaya dan lokal. Oleh karena itu, masih banyak kesepakatan diantara para mufassir, meskipun latar belakang sosial dan budaya mereka berbeda.
Terakhir, sebagai penutup, berikut saya kutip sedikit tulisan yang terdapat dalam buku “Hermeneutika Transdental : Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies” yang telah banyak beredar, sebagai contoh dari dampak gagasan mengusung Hermeneutik ke al-Qur’an. Berikut tulisannya : “….kiranya tidak ada salahnya jika digulirkan gerakan re-orientasi penafsiran al-Qur’an dari yang berwacana superioritas menuju Qur’an yang komunikatif. Artinya : pandangan tentang al-Qur’an yang mau mengakomodir pandangan-pandangan yang bernuansa kemanusiaan. Sehingga manusia “ada” ketika berhadapan dengan al-Quran. Jika selama ini penafsiran tentang al-Qur’an sudah menempatkan al-Qur’an sebagai “benda suci” yang tak bisa salah, maka saat ini diperlukan sebuah paradigma yang tak bisa melepaskan al-Qur’an sebagai produk budaya manusia dalam menagkap keber”ada”an Tuhan.
Inilah yang disebut dengan Qur’an komunikatif, dimana manusia diberi ruang kebebasan dalam menafsirkannya, terlepas dari adiprasangka al-Qur’an yang sudah terlanjur sudah dianggap Maha Suci bahkan anti kritik. Sekali lagi, kebenaran al-Qur’an adalah kebenaran menurut ukuran manusia. Al-Qur’an tidak bisa menunjukkan kebenarannya tanpa mengikut sertakan pandangan kebenaran dari manusia. Jadi, kebenaran al-Qur’an adalah kebenaran yang bersifat manusiawi. Sudah sewajarnya jika manusia diberi ruang dalam menginterpretasikan al-Qur’an. Namun, jika al-Qur’an kita pandang secara absolut, maka tidak ada nilai guna yang kreatif bagi perkembangan manusia…..(hal: 204-205). Pernyataan diatas jelas sekali membeo hermeneutika Kritisnya Habermas tanpa mengetahui konsekuensi epistemologisnya. Atau barangkali penulisnya tidak tahu bagaimana posisi epistemologis al-Qur’an. Menganggap al-Qur’an bukan suci lagi dan bisa salah, telah mereduksi kalau tidak menafikan status al-Qur’an sebagi wahyu Allah swt.
Tulisan ini saya akhiri dengan peringatan Rasulullah saw: ” Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekalipun, kamu akan mengikutinya jua “. Kemudian Rasullah saw ditanya : “Apakah mereka (yang diikuti) itu kaum Yaudi dan Nasrani ?, Rasulullah saw menjawab : “Siapa lagi (kalau bukan mereka). (HR.Bukhori Muslim.) Wallohu A’lam bi al-Showab.