403. CINTA ALA ROBII’AH AL-ADAWIYYAH

Ibnu Mehmoud El Aswadi >>
Perempuan Yang Menggetarkan Sejarah Islam
Pada suatu malam, seorang perempuan keluar rumah dengan membawa obor yang menyala-nyala di tangan kanannya dan seember air di tangan kirinya. Ia pergi mengelilingi kampung dengan berteriak sangat keras, “Wahai manusia, seandainya engkau beribadah kepada Allah dan mengharapkan surga. Maka, biarkan surga itu kubakar dengan api ini ! Dan, apabila engkau menjauhi maksiat oleh sebab takut akan neraka. Maka, biarkan neraka itu kusiram dengan seember air yang ada di tangan kiriku…..!

Bacaan Lainnya
Siapakah perempuan yang berani mengusik kesadaran orang-orang di sekitarnya, dan mungkin juga kita? Siapa lagi kalau bukan Rabi’ah al-Adawiyah. Ya, Rabi’ah al-Adawiyah. Perempuan suci yang sepanjang hayatnya mengajarkan cara beribadah kepada Allah dengan motif cinta yang tulus kepadaNya. Ia adalah sufi yang membawa corak baru dalam penghayatan Islam melalui ajaran cinta. Seluruh ajaran Islam dilaksanakan bukan sebab, “Ini semua karena perintahNya dan harus dilaksanakan bukan untuk mengharap surgaNya”, bukan pula karena, “Itu ahrus dijauhi karena takut akan siksaNya.” Namun, ia melaksanakan perintah dan menjauhi semua laranganNya sebab cinta yang sebenar-benarnya cinta (al-hubb haqq al-hubb).

Bukankah seorang pecinta akan berhias rapih dan wangi dalam shalatnya, melebihi saat pertemuan dengan orang yang paling dicintainya sekalipun? Bahkan, kerap kali ia menangis dalam shalatnya. Kucuran air mata pecinta ini adalah bentuk ungkapan lerinduan, kecintaan, dan kebahagiaan kala “berjumpa” denganNya.
Dengarkan, kata-kata Rabi’ah yang terbentuk dalam alunan puisinya :
Ya Tuhanku!
Tenggelamkan aku dalam kecintaanMu
Sehingga tiada suatupun yang dapat memalingkan aku dariMu
Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun
Tiada selain Dia dalam hatiku mempunyai tempat manapun
Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan pribadiku sekalipun
Akan tetapi, Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedikitpun.
Aku mencintaiMu…
Oh, Tuhan tercinta…
Dengan cinta penuh kesenangan
Karena Engkaulah yang penuh kesenangan
Maka aku sibuk mengingatMu daripada yang lain
Kuharap Kau buka tabir untukku
Hingga aku dapat memandangMu
Maka ujian yang ini dan itu bukan untukku
Melainkan hanya untukMu.
Bagi Rabi’ah, bukan cinta apabila penghambaan manusia ada pamrihnya. Dan bukan pula cinta, apabila ibadah manusia memiliki motif-motif duniawi, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits dari Abu Hurairah ra yang menceritakan bahwa ada orang-orang berkelompok bertanya kepadanya, “Wahai Tuan, ceritakan kepadaku sebuah hadits yang engkau dengar langsung dari Rasulullah!”. “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya, orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Ia didatangkan dan ditanyakan akan nikmat-nikmatnya, lalu ia mengakuinya. Allah SWT berfirman kepadanya, ‘Apakah yang kamu amalkan di dunia ini?’ Ia menjawab, ‘Saya berperang hingga mati syahid.’ Allah menjawab, ‘Kamu berdusta, tetapi kamu berperang supaya orang-orang berkata bahwa engkau pemberani dan itu telah dikatakannya.’ Lalu. Allah SWT memerintahkan agar wajahnya ditarik, kemudian dilemparkan ke dalam api neraka.
‘Berikutnya adalah orang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan suka membaca al-Qur’an didatangkan kepadaNya. Nikmat-nikmatnya ditanyakan dan ia mengakuinya. Allah berkata, ‘Apakah yang kamu kerjakan di dunia ini?’ Ia menjawab, ‘Saya mepelajari ilmu dan suka membaca al-Qur’an karenaMu.’ Allah SWT berfirman, ‘Kamu berdusta karena kam mempelajari ilmu supaya orang-orang mengatakan bahwa kamu pandai dan ahli dalam bidang al-Qur’an dan semua tu telah iucpkan oleh mereka.’ Allah pun memerintahkan agar ia dicampakkan ke dalam api neraka.
‘Selanjutnya, orang yang diberikan kelapangan oleh Allah dan diberi berbagai macam harta akan didatangkan dan ditanyakan atas nikmat-nikmatnya, dan ia mengakuinya. Allah SWT berfirman, ‘APakah yang kamu kerjakan di dunia?’ Ia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkan jalan yang Engkau senangi untuk menginfaqkan harta, melainkan saya menginfaqkannya karenaMu.’ Allah menjawab, ‘Kamu berdusta, tetapi kamu mengerjakannya supaya kamu dikatakan sebagai orang dermawan dan itu telah dikatakannya.’ Allah lalu memerintahkan agar wajahnya ditarik dan dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim).
Na’udzubillah min dzalik! Itulah nasib manusia yang beribadah beradsarkan motif duniawi, dan ironisnya itu sering menjangkiti kita! Kini, masihkah kita tidak tahu manakala beribadah karena motif dunia, maka yang rugi – baik waktu, materi, maupun tenaga – adalah diri kita? Andai kata kita berhaji, haji kita hanyalah menghambur-hamburkan uang dan mustahil dapat diterima. Kalau kita bershadaqah, berzakat, berinfaq, maka akan sia-sia, yang ada harta kita berkurang. Tetapi, inilah yang sering kita lakukan.
Sesungguhnya, apabila kita mau menghayati perintah-perintah agama dan aturan-aturannya, maka kita akan mendapati bahwa dia sebenarnya indah. Keindahan agama itu tentu mustahil didapatkan apabila kita masih saja beribadah kepada Allah karena terpaksa atau memiliki motif-motif duniawi yang rendah, bukan karena kita mencintaiNya.
Setiap ajaran agama yang diperintah Allah tidak lain hanya bertujuan untuk menguji seberapa cinta kita kepadaNya. Apakah kita melakukan amal shalih karena cinta kepadaNya ataukah sebab terpaksa? Tuhan bisa diibaratkan majikan, bos, atau pimpinan, maka manakala kita melakukan tugas yang diberikannya itu karena terpaksa, takut akan hukumannya, atau mengharapkan gaji lebih tinggi darinya, itu berarti kalau tidak ada sanksi atau hukuman dan tidak diberikan honor yang tinggi, kerja kita akan meksimal. Dia tentu bukan pekerja yang baik, karena bekerja ada pamrihnya.
Lalu, apakah beribadah untuk mengharapkan pahala dan takut akan siksaNya itu tidak diperbolehkan? Boleh! Tuhan itu tidak seperti bos Anda yang kalau Anda sudah bekerja keras pun, honornya sering kali tidak dinaikkan, bahkan tak jarang malah dipotong, Tuhan tidak juga seperti majikan Anda yang kalau Anda telah disiplin dan tertib dalam bekerja, gaji Anda pun masih sering telat diberikan.
Tidak mengapa beribadah mengharapkan surga dan takut akan neraka sebagai motivasi dalam melakukan amal shalih. Secara fiqh (hukum Islam) tidak ada masalah, ini hanya wilayah tingkatan (maqam) spiritual saja dalam beribadah.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengungkapkan, “Apabila hamba beribadah kepada Allah, dan ia ingin mendapatkan imbalan serta menjauhi maksiat sebab takut akan mendapatkan siksa, itu tidak lain cara ibadahnya kaum pedagang. Sebab, ia masih memperhitungkan untung dan ruginya. Apabila hamba beribadah kepada Allah karena takut akan siksaNya, maka itu tidak lain adalah cara ibadahnya para budak. Dan, ada sekelompok kecil hamba yang beribadah karena cinta suci kepadaNya, itulah ibadahnya mukmin sejati.”
Tipe pertama dan kedua yang digambarkan Sayyidina Ali itulah yang sering kita lakukan. Karena itu, sangat wajarlah apabila Rabi’ah mengusik kesadaran motif beribadah kita hingga kini. Rabi’ah pada dasarnya mengajak kita supaya beribadah tidak karena pamrih demi meraih surga dan menghindar dari neraka, apalagi yang sangat menjijikkan, yakni beribadah dengan tujuan utnuk kelezatan dunia, ingin disebut dermawan, orang shalih, ingin mendapatkan jabatan tertentu, mendapat dukungan politik tertentu, dan lain-lain.
“Madzhab cinta” ini telah banyak memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh sufi kenamaan yang hidup sesudahnya, misalnya Farid ad-Din al-Athar, Ibnu al-Farid, al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, dan sebagainya. Muhammad Iqbal, seorang filsuf dari Pakistan, juga mengikuti jejak tokoh ini, ia menggunakan maqam cinta sebagai komponen untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Wallahu A’lam,
*Rizki Pratama

Pos terkait