Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/07/tragedi-darul-hadits/ dapat kita ambil pelajaran dari tragedi pada Universitas Darul Hadits Dammaj Yaman pertengkaran antara dua kelompok manusia yang telah bersyahadat yakni sekte para pengaku pengikut Salafush Sholeh dengan sekte para pengaku pengikut Imam Sayyidina Ali ra.
Kepala Universitas Darul Hadits Dammaj, Yaman, Syeikh al-Hajuri Yahya, mengatakan bahwa mereka berjihad terhadap Syiah Rafida al Houti
Benarkah Syiah yang menyerang Darul Hadits Dammaj adalah Syiah Rafidhoh ?
Dari situs http://sunniy.wordpress.com/2011/12/02/inilah-dia-suku-houthi-syiah-zaidi-yang-menyerang-mahad-darul-hadits-dammaj/ didapat keterangan bahwa Syiah yang menyerang adalah Syiah Zaidiyah
Ulama Ibnu Taimiyah berpendapat tentang Imam Zaid (pendiri sekte Syiah Zaidiyah) bahwa beliau menganut ajaran Ahlu Sunnah, sebagaimana ucapannya: “Tidak semua keturunan Fatimah itu diharamkan dari api Neraka, sebab diantara mereka ada yang baik dan ada pula yang buruk, dan nampaknya mayoritas yang buruk dari keturunan Fatimah adalah dari kalangan Syi’ah Rafidah. Adapun Syi’ah Zaidiyah yang diprakarsai oleh imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dan keturunan Fatimah yang baik-baik, mereka ini adalah Ahlu Sunnah dan mereka mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, sebab mereka tidak bermasalah (tidak mengkafirkan) khalifah Abu Bakar dan Umar”.
Senada dengan pandangan ibnu Taimiyah, syekh Mahmud Syukri al-Alusi juga menegaskan: “Sesungguhnya imam-imam Ahlu Bait termasuk imam Zaid hakikatnya adalah beraqidah Ahlu Sunnah. Sebab mereka mengikut jejak Ahlu Sunnah dan respek kepada dakwah mereka. Dan para imam Syi’ah pun sejalan dengan Ahlu Sunnah, bagaimana tidak, imam Abu Hanifah dan imam Malik dan imam lainnya, merekapun belajar dari para imam mereka”
Dalam hal ini kami tidaklah memihak salah satu sekte manapun namun kita bisa bayangkan bagaimana pendapat kaum non muslim terhadap manusia-manusia yang telah bersyahadat.
Andaikan semua itu karena kepentingan atau kekuasaan, hal itu seharusnya tidak terjadi jika kedua sekte tersebut memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan baik dan benar.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti atas kalian, tetapi aku takut pada kalian dibukakannya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Al-Bukhari meriwayatkan dalam bab “Pengutusan Ali dan Khalid bin Walid ke Negeri Yaman”: Seorang laki-laki berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah, takutlah kepada Allah! (Bertindaklah secara adil!).” Jawab Nabi Shallallahu alaihi wasallam: “Celakalah engkau, bukankah aku orang yang paling berhak dari penduduk bumi ini untuk takut kepada Allah?!” Mendengar itu Khalid berkata: “Ya Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya!” Jawab Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam: “Tidak, barangkali ia mengerjakan shalat.”
Imam Al-’Asqallani dalam kitab Al-Ishabah di bagian biografi Sarhuq si Munafik, yaitu ketika ia dihadapkan untuk dibunuh, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bertanya: “Apakah ia mengerjakah shalat?” Jawab mereka: “Hanya bila dilihat orang.” Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam: “Sungguh aku dilarang membunuh orang yang menegakkan shalat!”
“Peperangan” tidak akan timbul jika tidak ada penyebabnya, pastilah semua itu diwali dengan saling menyakiti di antara kedua sekte tersebut.
Berdasarkan informasi yang kami peroleh, Yaman Utara, tepatnya propinsi So’dah sejak lama didiami oleh sekte Syiah kaum Sayyid Al Houti dan kaum Sunni bermazhab Imam Syafi’i yakni kaum Sayyid Al Ahdal dan kaum-kaum lainnya.
Kaum Sayyid (sadah) Al Hutsi berikut Qobail Syimaliyyin (Syimal panggilan Qobilah Yaman Utara) memusuhi Darul Hadits itu dikarenakan ulama Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rohimahulloh pendatang baru (1978) di So’dah dan menyulut api permusuhan dengan menyebarkan pemahamannya dan ini berlangsung lama, sedangkan Zaidiyyah tidak terima apa yang disebarkan oleh Salafiyyin karena banyak fatwa-fatwa Salafiyyin takfir, tabdi’ pada mereka, namun bagaimanapun kejadian ini sudah berlangsung lama. Pada tragedi kali ini, kami tidak mengetahui apa penyebab sebenarnya hingga terjadi “peperangan” tersebut.
Namun bagaimanapun “buah” dari Universitas Darul Hadits tampaknya adalah menghasilkan muslim yang “keras” , muslim yang tidak dapat mengelola kebencian terhadap kaum muslim yang tidak sepemahaman dengan mereka. Boleh jadi disebabkan indoktrinisasi ulama panutan mereka seperti ulama Ibnu Taimiyyah bahwa pemahaman yang disampaikannya adalah pemahaman Salafush Sholeh mengakibatkan mereka merasa bahwa pemahaman mereka yang pasti benar. Padahal apa yang disampaikan oleh ulama-ulama mereka adalah pemahaman mereka sendiri.
Memang ulama mereka membaca Al Qur’an , Tafsir bil Matsur, Hadits Shohih, Sunan, Musnad, lalu ulama mereka pun berjtihad dengan pendapat mereka. Apa yang ulama mereka katakan tentang kitab-kitab tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu ulama mereka sendiri. Sumbernya memang Al Quran dan As Sunnah, tapi apa yang ulama-ulama mereka sampaikan semata-mata lahir dari kepala mereka sendiri. Setiap upaya pemahaman bisa benar dan bisa pula salah. Kemungkinan salahnya semakin besar jika yang melakukan upaya pemahaman (ijtihad) tidak dikenal oleh jumhur ulama berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Kesalahpahaman besar telah terjadi ketika ulama-ulama mereka mengatakan bahwa apa yang mereka pahami dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh. Jika apa yang ulama mereka pahami dan sampaikan sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh tentu tidaklah masalah namun ketika apa yang ulama mereka pahami dan sampaikan tidak sesuai dengan pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh maka pada hakikatnya ini termasuk fitnah terhadap para Salafush Sholeh. Fitnah akhir zaman.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan nasehat kepada kaum muslim bila telah terjadi fitnah antara lain
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.
Para Habib dan para Sayyid , keturunan cucu Rasulullah, pada saat ini merubah kiblat ilmu ke para ulama Hadramaut, Yaman
“Kekerasan” dari apa yang dihasilkan Universitas Darrul Hadits Dammaj dapat kita pelajari dari perilaku-perilaku diantara mereka para pengaku pengikut pemahaman Salafush Sholeh sebagaimana yang terlukiskan dalam tulisan pada
Contohnya kami kutipkan dari http://isnad.net/?dl_name=kumal-kumal-dzul-akmal.pdf
*****awal kutipan****
Telah di ketahui bersama apa yang di lontarkan oleh Dzul Akmal (alias : Marhain) terhadap Syaikh Yahya hafidhohulloh dan beberapa ikhwah lain, terkhusus untuk ana secara pribadi, berupa lontaran-lontaran yang keluar dari orang yang sakit jiwanya, ndongkol hatinya, panas temperaturnya, dan tak terkontrol mulutnya, maka ketika ikhwah banyak yang meminta ana untuk memberi sedikit komentar akan kelacutannya, yang pada mulanya ana tidak begitu respon dengan hal itu –dikarenakan– sudah mutawatir akan siapa dan ada apa serta bagaimana si Dzul Kumal ini, baik dari sisi mulut besarnya, otak dan atau akhlaqnya yang tidak terpuji dimata orang-orang sholih- akhirnya dengan sedikit rasa malas anapun tulis risalah ini dengan judul “ KUMAL-KUMAL DZUL AKMAL’’ .
******akhir kutipan******
Padahal Ust Dzul Akmal juga ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh, sebagaimana contohnya terlukiskan pada http://sunniy.wordpress.com/2011/09/13/hadirilah-majelis-al-ustadz-dzul-akmal-di-kota-jambi-17-18-september-2011/
Mereka tuliskan 10 keistimewaan Darul Hadits Dammaj, http://isnad.net/keistimewaan-darul-hadits-dammaj
Mereka tuliskan kurikulum yang diajarkan http://isnad.net/apa-yang-diajarkan-di-darul-hadits-dammaj
Apakah yang tidak di ajarkan pada Darul Hadits Dammaj ?
Hampir kebanyakan pondok pesantren modern tidak mengajarkan bagaimana cara (tharikat) memperjalankan diri kepada Allah ta’ala
Ilmu yang banyak tidak menjamin dekat kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/04/semakin-jauh-darinya/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“.
Urutannya adalah Ilmu –> Amal —> Akhlak
Manusia yang dekat Allah hanyalah 4 golongan manusia yakni para Nabi (yang utama Rasulullah), para Shiddiqin, para Syuhada, dan orang-orang sholeh atau manusia yang berakhlakul karimah.
Tidak sebagaimana ilmu-ilmu lainnya yang dipelajari dalam bangku sekolah yang hanya membutuhkan pemahaman secara ilmiah menggunakan akal pikiran / rasio / logika, dalam hal ilmu agama atau memahami Al Qur’an dan As Sunnah sangat dibutuhkan pemahaman secara hikmah menggunakan akal qalbu atau hati. Pemahaman secara hikmah tergantung akan hidayah atau karunia dari Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
Mereka yang dikarunia pemahaman secara hikmah dapat mempergunakan akal qalbu.
Hati tidak pernah berdusta. Firman Allah ta’ala yang artinya, ‘Fu’aad (hati) tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS An Najm [53]:11).
Wabishah bin Ma’bad r.a. berkata: Saya datang kepada Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.”Beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menenteramkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberi fatwa yang membenarkanmu.” Ini adalah hadits yang kami riwayatkan dari dua imam, yaitu Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ad-Darami dengan sanad hasan
Nawas bin Sam’an r.a. meriwayatkan dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah segala hal yang mengusik jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain melihatnya. “(Diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Mereka yang dapat mempergunakan akal qalbu adalah mereka yang membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (takhalli) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (tahalli) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (tajjalli) atau mencapai muslim yang berma’rifat atau melihat Rabb dengan hatinya.
Manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat melihat Rabb dengan hatinya adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati (ketiadaan cahaya), sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Mereka yang telah berma’rifat, bertemu dan berkomunikasi dengan Allah Azza wa Jalla dibelakang tabir/hijab cahaya dan dipahami oleh qalbu sehingga dapat memahami cahayaNya/petunjukNya atau memahami segala firmanNya atau dapat memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Diriwayatkan dari Abu Musa al-‘Asy’ari:
قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفَضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ. يَرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلَ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلَ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّوْرُ. (رواه مسلم)
Berdiri Rasulullah صلى الله عليه وسلم di depan kami dengan menyampaikan lima kalimat. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur, menurunkan timbangan dan mengangkatnya, diangkat kepadanya amalan malam sebelum amalan siang, dan amalan siang Sebelum amalan malam, dan hijab-Nya adalah cahaya. (HR. Muslim)
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ.
(“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana). (HR. Bukhari-Muslim).
Jadi pemahaman secara hikmah diperoleh dengan memperjalankan diri hingga sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla.
Pondok Pesantren Traditional (Salafiyyah), Kyai mengajarkan ilmu agama langsung kepada santri dengan cara sorogan (individual) dan bandongan (kelompok), tidak ada penjenjangan belajar, pengajaran berdasarkan kompetensi santri (sistem berbasis kompetensi). Kyai memiliki otoritas besar dan mutlak ditaati, serta kebanyakan tidak memberikan ijazah sebagai tanda keberhasilan belajar. Bahkan santri “bekerja” atau membantu Kyai dalam kehidupan sehari-hari seperti mencangkul sawah, mengurus kebun, kolam ikan dan lain sebagainya.
Para Kyai pada hakikatnya membantu, membimbing, menghantarkan santri menuju kepada Allah sedangkan semuanya terpulang pada kemauan dan upaya santri memperjalankan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla. Para Kyai mempunyai kompetensi untuk mengetahui perjalanan ruhani para santrinya.
Rasulullah mengkiaskanya “aku mendengar derap sandalmu di dalam surga” (HR Muslim 4497)
Selengkapnya telah kami uraikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/29/derap-sandalmu/
Kesimpulan kami sebagian besar pondok pesantren modern memang berhasil mencetak ulama (ahlli ilmu) namun belum tentu alim ulama atau ulama yang sholeh, ulama yang berakhlakul karimah, ulama yang telah mencapai Ihsan, ulama yang telah berma’rifat.
Cara / Jalan / Thariqat untuk mencapai ulama yang Ihsan atau berma’rifat adalah dengan menjalankan tasawuf dalam Islam.
Tasawuf hanyalah sebuah istilah. Memang istilah ini ditemukan dalam keyakinan kaum non muslim dan semua sepakat bahwa tasawuf adalah istilah untuk cara/jalan mengenal atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Tasawuf dalam Islam adalah thariqat (jalan) untuk mencapai muslim yang Ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah. Sejak dahulu kala di perguruan tinggi Islam, tasawuf adalah pendidikan akhlak.
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menceritakan kisah sedih pendidikan akhlak dalam sistem pendidikan. Ia merupakan dilema, antara jauhnya standar akhlak menurut kualitas hidup sufi, dengan angkuhnya sistem pendidikan. Dilema sistemik ini dipersedih oleh fakta bahwa para gurupun ternyata jauh dari standar akhlak, dalam sebuah ruang kelas, dimana para murid hanya mencari coretan nilai, atau sebatas titik absensi. Selengkapnya dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Universitas Darul Hadits dan kebanyakan pondok pesantren modern hanya mempelajari perkara syariat. Padahal para pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat telah memperingatkan kita bahwa janganlah hanya mendalami perkara syariat semata.
Imam Malik ra menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fikih (perkara syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia ., hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar” .
Imam Syafi’i ra menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?”
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Ciri-ciri mereka yang menjalani tasawuf dan berhasil mencapai muslim yang Ihsan atau muslim berma’rifat, diistilahkan oleh Imam Syafi’i ra adalah mereka yang merasakan “kelezatan takwa”. Mereka yang mendapatkan kenikmatan bertemu dengan Tuhan, kenikmatan yang dirasakan oleh muslim kebanyakan di akhirat kelak.
Diriwayatkan oleh Anas Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Mereka yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Sholat adalah saat-saat utama bertemu dengan Allah Azza wa Jalla,
Pada hakikatnya dengan dzikrullah kita dapat memperjalankan diri kita kepada Allah.
Dalam suatu riwayat. ”Qoola a’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa Rosuulolloh ayyun thoriiqotin aqrobu ilallohi? Faqoola Rasullulohi: dzikrullahi”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah, jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah? “Rasullulah menjawab; “dzikrulah.”
Dzikrullah yang memperjalankan diri kita agar sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla atau jalan (tharikat) menedekatkan diri kita kepada Allah Azza wa Jalla
Banyak dzikrullah dapat dilakukan setiap saat, setiap waktu, setiap detik , setiap detak jantung kita sebagaimana Ulil Albab “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran [3] : 191)
Dengan menjalankan tasawuf, mereka mencapai muslim yang ihsan, muslim yang berma’rifat, minimal mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau yang terbaik mereka yang dapat melihat Allah dengan hati maka mereka mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah sesuai dengan tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Muslim yang berma’rifat tidak ada kekhawatiran dan tidak (pula) mereka bersedih hati menghadapi segala permasalahan hidup karena mereka tahu bahwa apapun permasalahan hidup yang dialami pada hakikatnya telah “disodorkan” oleh Allah Azza wa Jalla sehingga apapun yang telah disodorkanNya mereka hadapi dengan sikap dan perbuatan yang dicintaiNya pula.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830