GELAR SAYYID BAGI NABI MUHAMMAD SAW
MUKADIMAH
Dalam tinjauan bahasa, kata سَيِّدٌ berasal dari سَيْوِدٌ (wazan فَيْعِلٌ ) dengan fi’il madhi سَادَ . Huruf واوdiganti dengan huruf ياء (1) lalu diidghamkan. Kata Sayyid memiliki beberapa pengertian yang antara lain; (I) orang yang memiliki banyak pengikut, (II) orang yang paling unggul diantara kaumnya, (III) orang yang menjadi rujukan dalam urusan-urusan penting masyarakat dan (IV) orang yang memiliki pribadi luhur dan bijak.(2) Selain itu dalam tradisi arab Sayyid merupakan panggilan seorang budak pada majikannya.
Rasulullah SAW adalah seseorang memiliki kepribadian luhur dan bijaksana. Beliau menjadi tempat curahan hati para umatnya, beliau melebihi raja bagi mereka. Maka tidak berlebihan bila gelar Sayyidina (tuan kami) dilekatkan pada nama Rasulullah SAW. Justru sangat aneh bila ada orang yang berasumsi bahwa menyematkan gelar Sayyidina adalah haram. Apalagi menganggap-nya sebagai bid’ah yang dapat menyebabkan kekufuran seperti asumsi sebagian pihak dewasa ini, dengan dalih bahwa Nabi SAW sendiri melarang para sahabat memanggil-nya dengan sebutan Sayyid.(3)
TINJAUAN HUKUM PENYEMATAN GELAR SAYYID BAGI NABI SAW
1.Penyematan Gelar Sayyid Bagi Nabi Muhammad SAW
Para ulama telah sepakat (ijma’) atas keabsahan penyematan gelar Sayyid bagi Nabi Muhammad SAW. Bahkan menurut asy-Syarqawi kata Sayyid telah menjadi nama bagi Nabi Muhammad SAW.(4) Beliau sendiri telah berulang kali menyebutkan gelar Sayyid di hadapan para sahabatnya. Beliau bersabda:
أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
“Aku adalah Sayyid (Pemimpin) manusia di hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
سَيِّدُ وَلَدِ أَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ اْلقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ أَنَا
“Aku adalah Sayyid (Pemimpin) keturunan Nabi Adam di hari kiamat, orang pertama yang kuburannya terbuka, orang pertama yang memberi syafa’atnya diterima.’ (HR. Muslim)
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ أَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَلَافَخْرَ وَبِيَدِيْ لِوَاءُ اْلحَمْدِ وَلَافَخْرَ وَمَامِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ أَدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا تَحْتَ لِوَاءِيْ
“Aku adalah Sayyid (Pemimpin) keturunan Nabi Adam di hari kiamat dan bukan bangga diri dariku, dan tiada sorang nabi pun di hari itu, Adam dan selainnya, melainkan di bawah benderaku.” (HR. at-Turmudzi)
Maksud sabda Nabi SAW di atas adalah mengisahkan nikmat yang telah diberikan Allah SWT kepadanya dan agar umat Islam mengetahui derajat beliau disisiNya. Tidak ada seorang pun makhluk yang menyamai atau mengungguli keagungan derajat Nabi Muhammad SAW setelah derajat Allah Yang Maha Agung. Selain Allah SWT, semuanya dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW, baik didunia mau-pun diakhirat. Meskipun dalam Hadits-hadits di atas hanya disebutkan kepemimpinan Nabi SAW pada hari kiamat saja, bukan berarti bahwa diselain hari kiamat ada yang mengunggulinya. Namun lebih disebabkan pada hari kiamat kepemimpinan beliau sangat dibutuhkan oleh seluruh manusia. Tidakkah Allah SWT sendiri menyebut Nabi Yahya dengan gelar Sayyid?
فَنَادَتْهُ اْلمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّىْ فِىْ اْلمِحْرَابِ أَنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىْ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ وَسَيِّدًا وَحَصُوْرًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia sedang berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah SWT, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.”
(Ali Imran: 39)
2. Menambah Lafadz Sayyidina dalam Shalat
Seperti pendapat yang telah disampaikan oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Barinya, penambahan dzikir ghair al-ma’tsur (bukan anjuran langsung dari Nabi SAW) dalam shalat di perbolehkan, selama tidak bertentagan dengan dzikir al-ma’tsur. Begitu pula di perbolehkan menambahkan gelar Sayyidina sebelum nama akhir. Yaitu saat membaca shalawat ibrahimiyyah. Bahkan penambahan itu lebih utama, sebagaimana hemat para ulama semisal Syaikh Izzuddin bin Abdissalam, Imam ar-Ramli, Imam al-Qulyubi, Imam asy-Syarqawi dari madzhab Syafi-’iyah, Imam al-Hashkafi dan Imam Ibn ‘Abidin dari kalangan Hanafiyah, serta Imam an-Nafrawi dari Malikiyah, meskipun penambahan Sayyidina tersebut memang tidak ma’tsur dari Nabi SAW.(5) Sebab, dengan demikian berarti seseorang telah melaksanakan perintah membaca shalawat sekaligus mengikrarkan pengakuannya atas keagungan derajat Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim AS. Penambahan tersebut tidak pula bertentangan dengan penghormatan kepada beliau yang merupakan tujuan pembacaan shalawat. Dalam Nihayah al-Muhtaj Imam ar-Ramli menerangkan:
وَاْلأَفْضَلُ اْلإتْيَانِ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ كَمَا قَالَهُ إِبْنُ ظَهِيْرَةِ وَصَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ وَبِهِ أَفْتَىْ الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيْهِ أَلْإِتْيَانُ بِمَا أَمَرَنَا بِهِ وَزِيَادَةُ اْلأَخْبَارِ بِاْلوَاقِعِ الَّذِيْ هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلْ مِنْ تَرْكِهِ
“Dan lebih utama membaca (shalawat ibrahimiyah saat shalat) dengan lafadz Sayyid, seperti hemat Ibn Dhahir dan dijelaskan (pula) oleh segolongan ulama serta difatwakan oleh asy-Syarih (Jalaluddin al-Mahalli). Sebab dengan menambahkannya berarti telah melaksanakan hal yang diperintahkan kepada kita dan menambah pengungkapan (pengakuan keagungan derajat Nabi Muhammad SAW dan Nabi Iibrahim AS) yang merupakan suatu etika. Maka menambah gelar Sayyidina lebih utama dari pada meninggalkannya.”(6)
Andaikan memang Nabi SAW memerintahkan pembacaan shalawat tersebut tampa penambahan, bukan berarti kita tidak boleh menambahkannya. Sebab, selama perintah tersebut bukan perintah wajib, maka etika mesti diprioritaskan. Para ulama menyebutkan:
إِعَارَةُ اْلأَدَبِ خَيْرٌ مِنْ امْتِثَالِ اْلأَمْرِ
“Menjaga etika lebih baik dari pada mengikuti perintah.”
Terbukti, jauh-jauh hari para sahabat lbih mementingkan etika kepada Nabi Muhammad SAW dari pada mengikuti perintahnaya. Seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang tidak mau menghapus tulisan Rasulullah SAW dalam naskah Perdamaian Hudaibiyah, meskipun diperintahkan. Saat itu Nabi SAW memerintahkan Ali:
امْحُ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ لَا وَاللهِ لَا أَمْحُوْكَ أَبَدًا
“Hapuslah (nama) Rasulullah. “Ali menjawab: “Demi Allah SWT saya tidak akan menghapusmu selamanya.” (HR. Bukhari)
Dalam kesempatan lain Sayyidina Abu Bakar memilih mundur dan mempersilahkan Nabi SAW mengimami shalat, meskipun telah diperintah meneruskan oleh beliau. Rasulullah SAW bersabda:
يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ فَقَالَ أَبُوْبَكْرٍ مَا كَانَ لِابْنِ أَبِيْ قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Wahai Abu Bakar! Apakah yang mencegahmu untuk tetap (menjadi imam shalat) saat aku perintahkan?,” Lalu Abu Bakar menjawab: “Tidaklah bagi Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakar) berhak mengimami shalat di hadapan Rasulullah SAW.” (HR. Bukhari)
Begitu pula penambahan gelar Sayyidina di dalam shalat. Kendati Nabi SAW tidak mengajarkannya secara langsung, namun lebih utama dilakukan.
Meskipun begitu, sering muncul pertanyaan apakah penambahan tersebut tidak membatalkan shalat? Bagai mana dengan Hadits Nabi SAW yang menyatakan larangan beliau agar tidak menyebutnya Sayyid di dalam shalat? Maka jawabannya adalah penambahan Sayyidina tidak membatalkan shalat dan Hadits tersbut adalah Hadits yang tidak berdasar alias palsu. Imam ar-Ramli menegaskan:
وَأَمَّا حَدِيْثُ لَاتُسَيِّدُوْنِيْ فِى الصَّلَاةِ فَبَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَا لَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِيِّ اْلحُفَّاظِ وَقَوْلُ الطُّوْسِيِّ إِنَّهَا مُبْطِلَةٌ غَلَطٌ
“Dan sementara Hadits : “Jangan kalian sebut Sayyid diriku di dalam shalat!” adalah Hadits batil yang tidak mempunyai dasar, seperti yang di utarakan oleh sebagian ahli Hadits mutaakhirin. Dan asumsi ath-Thusi: “Niscaya tambahan Sayyidina itu membatalkan shalat.” adalah salah(7)
3. Pemahaman Hadits السَّيِّدُ اللهُ
Argumen pokok yang sering dijadikan dalil larangan penyebutan Sayyid bagi Nabi Muhammad SAW adalah Hadits riwayat Abu Dawud berikut ini:
عَنْ مُطَرَّفٍ قَالَ أَبِيْ انْطَلَقْتُ فِى وَفْدِ بَنِيْ عَامِرٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا فَقَالَ السَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا طُوْلًا فَقَالَ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَوْبَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَايَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ
“Dari Mutharrif ia berkata: “Ayahku pernah berkata: “Aku pergi bersama utusan Bani Amir menuju ke (kediaman) Rasulullah SAW, kami berkata: “Engkau adalah Sayyid kami. Lalu beliau bersabda: “Yang Sayyid hanayalah Allah SWT yang memiliki keberkahan lagi luhur.” Kami barkata: “Dan kami hanya mengutamakan derajatmu dan mengagungkan anugrahmu.” Beliau berkata: “Berkatalah kalian dengan apa yang kalian katakan atau sebagiannya dan jangan sampai syaitan menjerumuskan kalian.” (HR. Abu Dawud)
Dalam memahami Hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa Nabi SAW tidak melarang beliau dipanggil dengan sebutan Sayyidina dengan larangan tahrim (pengharaman). Hal ini ditinjau dari dua kajian.
Pertama, kata السَّيِّدُ اللهُ pada Hadits tersebut hanyalah penjelasan Nabi SAW tentang siapa yang berhak menyandang sebutan Sayyid secara hakiki dan mutlak tanpa batas. Yang mengatur segala urusan mahluknya.(8) Hadits tersebut tidak menafikan makna Sayyid yang lainnya seperti yang telah disebutkan di awal bab yang bisa pula disandang oleh Nabi SAW. Artinya, gelar ini layak disandang oleh Allah SWT atau pun mahlukNya, seperti kata الرَّبُّ (yang memiliki kekuasaan). Allah SWT berfirman:
وَقَالَ لِلَّذِيْ ظَنَّ أَنَّهُ نَاجٍ مِنْهُمَا اذْكُرْنِيْ عِنْدَ رَبِّكَ فَأَنْسَىهُ الشَيْطَانُ ذِكْرَ رَبِّهِ فَلَبِثَ فِى السِّجْنِ بِضْعَ سِنِيْنَ
“Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinay akan selamat diantara mereka berdua: “Terangkanlah keadaanku kepada tuan-mu!” Maka syaitan manjadikan dia lupa menarangkan (kadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah Yusuf dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS. Yusuf: 42)
وَقَالَ اْلَملِكُ ائْتٌوْنِيْ بِهِ فَلَمَّاجَاءَهُ الرَّسُوْلُ ق ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَسْئَلْهُ مَابَالُ النِّسْوَةِ الَّتِىْ قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ إِنَّ رَبِّي بِكَيْدِهِنَّ عَلِيْمٌ
“Dan Raja berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu datang kepeda Yusuf, berkatalah Yusuf: “Kembalilah kepada Tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku maha mengetahui tipu daya mereka.”(QS. Yusuf:50)
Yang dikehendaki oleh Nabi Yusuf AS dengan mengatakan rabb jelaslah bukan rabb yang berarti “Tuhan”, akan tetapi rabb yang berarti tuan, sebagaimana dikatakan رَبُّ الدَّارِyang berarti tuan rumah. Demikian pula sebutan Sayyid. Dalam surat Ali Imran Allah SWT menghormati Nabi Yahya AS dengan sebutan Sayyid, ia berfirman:
فَنَادَتْهُ اْلمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّىْ فِىْ اْلمِحْرَابِ أَنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىْ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ وَسَيِّدًا وَحَصُوْرًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia sedang berdir melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah SWT, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.”
(Ali Imran: 39)
Meskipun muatan maknanya hampir sama, sebutan Sayyid disandang oleh Rasulullah SAW jelas tidak sepadan dengan sebutan Sayyid yang disandang Allah SWT. Gelar Sayyid bagi Nabi SAW disematkan atas kepemimpinannya bagi umat dengan derajat kenabian dan kerasulannya, sementara bagi Allah SWT atas penguasaannya dijagat raya.(9)
Kedua, kalau pun ada kesan larangan Rasulullah SAW dalam Hadits diatas, yang tersurat dalam teks قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَوْبَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَايَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ (berkatalah dengan ucapan kalian atau sebagai ucapan kalian dan jangan biarkan setan menjerumuskan kalian), itu pun disebabkan beliau tidak ingin dipuji secara berlebihan alias muncul dari ketawadlu’an yang beliau miliki dan disebabkan pula oleh kekhawatiaran beliau atas kesalah pahaman Bani Amir dalam memahami arti Sayyid. Sebab, mereka masih mu’allaf yang belum lama masuk Islam. Beliau khawatir mereka memahami makna Sayyid yang beliau sandang atas kemuliaan derajat Nabi dan Rasul sederajat dengan Sayyid yang ada dalam kultur mereka sebelumnya. Yakni kesayyidan yang diperoleh karena sebab-sebab duniawi yang selalu mereka agung-agungkan. Lebih jelasnay, dengan ucapan tersebut seakan-akan beliau bersabda: “Bertutur katalah dengan bahasa yang dipakai orang-orang yang seagama dengan kalian (agama Islam) dan panggilah aku Nabi dan Rasul sebagaimana Allah SWT menyebutku dalam kitabNya. Jangan kalian menyebutku sebagai Sayyid sebagaiman kalian menyebut para pembesar kalian (sebelum masuk Islam). Jangan kalian samakan aku dengan mereka karena aku tidak sama dengan seorangpun di antara mereka. Sebab, mereka tidak lebih rendah dari kalian dalam hal-hal duniawi, dan sesungguhnya aku menjadi Sayyid kalian atas kenabian dan kerasulan. Maka sebutkan aku sebagai Nabi dan Rasul, atau hindari ebagian perkataan kalian (itu) dan bersikaplah sederhana didalamnya tanpa berlebihan atau hindarilah panggilan Sayyid dan katakanlah Nabi dan Rasul…”demikian penafsiran as-Suyuthi.(10)
Kendati begitu, mengingat larangan tersebut disebabkan ketawadlu’an beliau dan kekhawatiran atas kesalah pahaman para sahabatnay, maka pada hakikatnya beliau tidak melarang penyebutan gelar Sayyid pada dirinya. Terbukti beliau sendiri memberi suri tauladan dalam penghormatan pada orang-orang terpandang dengan penyebutan gelar Sayyid, sebagaimana sanjungan beliau beliau pada cucunya, Hasan bin ‘Ali:
إِنَّ ابْنِيْ هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ
“Sungguh anakku ini adalah Sayyid, semoga Allah mendamaikan di antara dua golongan besar dari orang-orang Islam dengannya.” (HR. Bukhari)
Begitu pula pengakuan beliau pada Sa’d bin Mu’adz: قُوْمُوْا إِلَى سَيِّدِكُمْ
“Berdirilah pada Sayyid kalian.” (HR. Bukhari)
Tidak ketinggalan para sahabat pun mencontohnya, semisal do’a shalawat Ibn Mas’ud, pelayan setia Rasulullah SAW:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِاْلمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ اْلمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat, rahmat dan berkahmu pada pemimpin para utusan, pemimpin orang-orang yang bertaqwa dan pamungkas para Nabi.” (HR. Ibnu Majjah)
Bahkan Sahl bin Hunaif memanggil Nabi SAW dengan berseru يَا سَيِّدِيْ
“Wahai tuanku!”(HR. Abu Dawud)
Begitu pula pujian Sayyidina ‘Umar kepada Sayyidina Abu Bakar dan Bilal: أَبُوْ بَكْرٍ سَيِّدُنَا وَأَعْتَقَ سَيِّدَنَا يَعْنِىْ بِلَالًا
“Abu Bakar adalah tuanku dan memerdekakan tuanku (Bilal).” `
Perlu kita renungkan, apakah layak kita memanggil ayah dan ibu kita langsung dengan namanya? Apakah pantas kita menyebut guru-guru kita dengan namanya secara langsung, tanpa mencerminkan penghormatan kepada mereka? Tidakkah Alla SWT berfirman: لَاتَجْعَلُوْا دُعَاءَ الرَّسُوْلِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain.” (QS. An-Nur: 63)
Tidakkah dalam al-Qur’an Allah SWT selalu menghormati beliau dengan gelar kenabian dan kerasulannya tanpa menyebut langsung namanya?
Oleh sebab itu, Hadits diatas tidak bisa dipahami sebagai larangan penyebutan Sayyid kepada beliau. Pengakuan langsung Nabi SAW atas kesayyidannya, persetujuan kepada para sahabat atas panggilan Sayyid kepadanya dan ijma’ para ulama merupakan dasar yang kokoh atas keabsahan penyematan gelar Sayyid baginya. Wallahu a’lam.
(1)Dalam gramatika arab, sangat dihindari peletakan wawu dengan ya’ dalam satu kata, sehingga wawu harus diganti dengan ya’.
(2) Sulaiman al-Bujairami, op. Cit., Juz I, hlm. 36.
(3) Shalih bin Fauzan, “I’anah al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid”, Juz IV, hlm. 51. CD al-Maktabah as-Syamilah.
(4) Saulaiman al-Bujairami, loc. Cit. Dan Wuzarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah bi al-Kuwait, “al-Mausu’ah al-Fiqhiyah”, Juz XI, hlm. 347. CD al-Fiqh al-Islami.
(5) Wuzarah al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyah bi al-Kuwait, loc. Cit.
(6)Ar-Ramli, Nihayatul al-Muhtaj, Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003, Juz I, hlm. 530.
(7)Ar-Ramli, Nihayatul al-Muhtaj, Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003, Juz I, hlm. 530
(8)Muhammad al-Qari, op. Cit., Juz IX hlm. 115 – 116.
(9)Muhammad al-Qari, op. Cit., Juz IX hlm. 115 – 116, al-Munawi, Faid al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, tt, Juz IV, hlm. 152.
(10)Al-‘Adzim Abbadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, Juz XIII, hlm. 162.