GELAR SAYYID BAGI NABI MUHAMMAD SAW
MUKADIMAH
Dalam tinjauan bahasa, kata سَيِّدٌ  berasal dari سَيْوِدٌ (wazan فَيْعِلٌ )  dengan fi’il madhi   سَادَ . Huruf واوdiganti dengan huruf ياء (1) lalu diidghamkan.  Kata Sayyid memiliki beberapa pengertian yang antara lain; (I) orang yang memiliki banyak  pengikut, (II) orang yang paling unggul diantara kaumnya, (III) orang yang  menjadi rujukan dalam urusan-urusan penting masyarakat dan (IV) orang yang memiliki pribadi luhur dan  bijak.(2)   Selain itu dalam  tradisi arab Sayyid merupakan panggilan seorang budak pada  majikannya.
Rasulullah SAW adalah  seseorang memiliki kepribadian  luhur dan bijaksana. Beliau  menjadi tempat curahan hati para umatnya, beliau melebihi raja bagi mereka. Maka  tidak berlebihan bila gelar  Sayyidina (tuan kami) dilekatkan  pada nama Rasulullah SAW. Justru  sangat aneh bila ada orang yang berasumsi bahwa menyematkan gelar Sayyidina adalah haram. Apalagi  menganggap-nya sebagai bid’ah  yang dapat menyebabkan kekufuran  seperti asumsi sebagian pihak dewasa ini, dengan dalih bahwa Nabi SAW sendiri  melarang para sahabat memanggil-nya  dengan sebutan Sayyid.(3)
TINJAUAN HUKUM PENYEMATAN GELAR SAYYID BAGI NABI SAW
1.Penyematan Gelar Sayyid  Bagi Nabi Muhammad SAW
Para ulama telah sepakat (ijma’) atas keabsahan  penyematan gelar Sayyid bagi  Nabi Muhammad SAW. Bahkan menurut asy-Syarqawi kata Sayyid telah menjadi nama bagi Nabi  Muhammad SAW.(4) Beliau sendiri telah berulang kali menyebutkan gelar Sayyid di hadapan para  sahabatnya. Beliau bersabda:
 أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
“Aku adalah Sayyid (Pemimpin)  manusia di hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
سَيِّدُ وَلَدِ أَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ اْلقَبْرُ وَأَوَّلُ  شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ  أَنَا
“Aku adalah Sayyid (Pemimpin) keturunan Nabi Adam di hari kiamat, orang pertama  yang kuburannya terbuka, orang  pertama yang memberi syafa’atnya  diterima.’ (HR.  Muslim)
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ أَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَلَافَخْرَ وَبِيَدِيْ لِوَاءُ اْلحَمْدِ وَلَافَخْرَ وَمَامِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ أَدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا تَحْتَ لِوَاءِيْ
“Aku adalah Sayyid (Pemimpin) keturunan Nabi Adam di hari kiamat dan bukan  bangga diri dariku, dan tiada sorang nabi pun di hari itu, Adam dan  selainnya, melainkan di bawah  benderaku.” (HR.  at-Turmudzi)
Maksud sabda Nabi SAW di atas adalah mengisahkan nikmat yang telah diberikan Allah SWT kepadanya  dan agar umat Islam mengetahui  derajat beliau disisiNya. Tidak  ada seorang pun makhluk yang menyamai atau mengungguli keagungan derajat Nabi Muhammad SAW setelah  derajat Allah Yang Maha Agung. Selain Allah SWT, semuanya dibawah  kepemimpinan  Rasulullah SAW, baik didunia  mau-pun diakhirat.        Meskipun dalam Hadits-hadits di  atas hanya disebutkan  kepemimpinan Nabi SAW pada hari  kiamat saja, bukan berarti bahwa diselain hari kiamat ada yang  mengunggulinya. Namun lebih  disebabkan pada hari kiamat  kepemimpinan beliau sangat  dibutuhkan oleh seluruh manusia.  Tidakkah Allah SWT sendiri menyebut Nabi Yahya dengan gelar Sayyid?
فَنَادَتْهُ  اْلمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ  يُصَلِّىْ فِىْ اْلمِحْرَابِ  أَنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ  بِيَحْيَىْ  مُصَدِّقًا  بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ  وَسَيِّدًا  وَحَصُوْرًا  وَنَبِيًّا مِنَ  الصَّالِحِيْنَ
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia sedang  berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu)  Yahya, yang membenarkan kalimat  (yang datang) dari Allah SWT, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan  seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.”
(Ali Imran: 39)
2. Menambah Lafadz Sayyidina dalam Shalat
Seperti pendapat yang telah disampaikan oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Barinya, penambahan dzikir ghair al-ma’tsur (bukan anjuran langsung dari Nabi SAW) dalam  shalat di perbolehkan, selama  tidak bertentagan dengan dzikir  al-ma’tsur. Begitu pula di  perbolehkan  menambahkan gelar Sayyidina  sebelum nama akhir. Yaitu saat membaca shalawat ibrahimiyyah. Bahkan penambahan itu lebih utama, sebagaimana hemat para ulama semisal Syaikh Izzuddin bin  Abdissalam, Imam ar-Ramli, Imam  al-Qulyubi, Imam  asy-Syarqawi dari madzhab  Syafi-’iyah, Imam  al-Hashkafi dan Imam Ibn ‘Abidin  dari kalangan Hanafiyah, serta  Imam an-Nafrawi dari  Malikiyah, meskipun  penambahan Sayyidina tersebut  memang tidak ma’tsur dari Nabi SAW.(5) Sebab, dengan demikian berarti seseorang  telah melaksanakan perintah  membaca shalawat sekaligus mengikrarkan pengakuannya atas keagungan derajat Nabi Muhammad SAW dan  Nabi Ibrahim AS. Penambahan  tersebut tidak pula bertentangan  dengan penghormatan kepada  beliau yang merupakan tujuan pembacaan shalawat. Dalam Nihayah al-Muhtaj Imam  ar-Ramli menerangkan:
وَاْلأَفْضَلُ  اْلإتْيَانِ بِلَفْظِ  السِّيَادَةِ كَمَا قَالَهُ  إِبْنُ ظَهِيْرَةِ وَصَرَّحَ بِهِ  جَمْعٌ وَبِهِ أَفْتَىْ الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيْهِ أَلْإِتْيَانُ بِمَا أَمَرَنَا بِهِ  وَزِيَادَةُ  اْلأَخْبَارِ  بِاْلوَاقِعِ الَّذِيْ هُوَ أَدَبٌ  فَهُوَ أَفْضَلْ مِنْ تَرْكِهِ
“Dan lebih utama membaca (shalawat ibrahimiyah saat shalat) dengan lafadz Sayyid, seperti hemat  Ibn Dhahir dan dijelaskan (pula)  oleh segolongan ulama serta  difatwakan oleh  asy-Syarih  (Jalaluddin  al-Mahalli). Sebab dengan  menambahkannya berarti telah  melaksanakan hal yang  diperintahkan kepada kita dan  menambah pengungkapan  (pengakuan keagungan derajat  Nabi Muhammad SAW dan Nabi Iibrahim AS) yang merupakan suatu etika. Maka  menambah gelar Sayyidina lebih utama dari pada meninggalkannya.”(6)
Andaikan memang Nabi SAW memerintahkan pembacaan shalawat tersebut tampa  penambahan, bukan berarti kita  tidak boleh menambahkannya.  Sebab, selama perintah tersebut bukan perintah wajib, maka etika mesti  diprioritaskan. Para ulama  menyebutkan:
إِعَارَةُ اْلأَدَبِ خَيْرٌ مِنْ امْتِثَالِ اْلأَمْرِ
“Menjaga etika lebih baik dari pada mengikuti perintah.”
Terbukti, jauh-jauh hari para sahabat lbih mementingkan etika kepada Nabi Muhammad SAW dari pada  mengikuti perintahnaya. Seperti  Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang tidak mau menghapus tulisan  Rasulullah SAW dalam naskah  Perdamaian  Hudaibiyah, meskipun  diperintahkan. Saat itu Nabi SAW  memerintahkan Ali:
امْحُ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ لَا وَاللهِ لَا أَمْحُوْكَ أَبَدًا
“Hapuslah (nama) Rasulullah. “Ali menjawab: “Demi Allah SWT saya tidak akan  menghapusmu  selamanya.” (HR.  Bukhari)
Dalam kesempatan lain  Sayyidina Abu Bakar memilih mundur dan mempersilahkan Nabi SAW mengimami shalat, meskipun telah  diperintah  meneruskan oleh beliau.  Rasulullah SAW bersabda:
   يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ  أَمَرْتُكَ فَقَالَ  أَبُوْبَكْرٍ مَا كَانَ لِابْنِ أَبِيْ  قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ     
“Wahai Abu Bakar! Apakah yang mencegahmu untuk tetap (menjadi imam shalat) saat aku  perintahkan?,” Lalu Abu Bakar  menjawab: “Tidaklah bagi Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakar) berhak mengimami shalat di  hadapan Rasulullah SAW.”  (HR. Bukhari)
Begitu pula penambahan  gelar Sayyidina di dalam shalat. Kendati Nabi SAW tidak  mengajarkannya secara langsung, namun  lebih utama dilakukan.
Meskipun begitu, sering muncul pertanyaan apakah penambahan tersebut tidak membatalkan shalat? Bagai mana dengan Hadits Nabi SAW yang  menyatakan larangan beliau agar  tidak menyebutnya Sayyid di  dalam shalat? Maka jawabannya  adalah penambahan Sayyidina  tidak membatalkan shalat dan  Hadits tersbut adalah Hadits yang tidak berdasar alias palsu. Imam ar-Ramli  menegaskan:
وَأَمَّا حَدِيْثُ لَاتُسَيِّدُوْنِيْ فِى الصَّلَاةِ فَبَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَا لَهُ بَعْضُ  مُتَأَخِّرِيِّ  اْلحُفَّاظِ وَقَوْلُ  الطُّوْسِيِّ إِنَّهَا  مُبْطِلَةٌ غَلَطٌ
“Dan sementara Hadits : “Jangan kalian sebut Sayyid diriku di dalam  shalat!” adalah Hadits batil yang tidak mempunyai dasar, seperti yang di  utarakan oleh sebagian ahli Hadits mutaakhirin. Dan asumsi ath-Thusi: “Niscaya tambahan Sayyidina itu  membatalkan shalat.” adalah  salah(7) 
3. Pemahaman Hadits السَّيِّدُ اللهُ
Argumen pokok yang sering dijadikan dalil larangan  penyebutan Sayyid bagi Nabi Muhammad  SAW adalah Hadits riwayat Abu Dawud berikut ini:
عَنْ مُطَرَّفٍ قَالَ أَبِيْ انْطَلَقْتُ فِى وَفْدِ بَنِيْ عَامِرٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا  فَقَالَ السَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا طُوْلًا فَقَالَ قُوْلُوْا  بِقَوْلِكُمْ  أَوْبَعْضِ  قَوْلِكُمْ  وَلَايَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ
“Dari Mutharrif ia berkata: “Ayahku pernah berkata:  “Aku pergi  bersama utusan Bani Amir menuju ke (kediaman) Rasulullah SAW, kami berkata: “Engkau adalah Sayyid kami.  Lalu beliau bersabda: “Yang Sayyid hanayalah Allah SWT yang memiliki  keberkahan lagi luhur.” Kami  barkata: “Dan kami hanya mengutamakan derajatmu dan mengagungkan anugrahmu.”  Beliau berkata: “Berkatalah kalian dengan apa yang kalian katakan atau  sebagiannya dan jangan sampai  syaitan menjerumuskan  kalian.” (HR. Abu Dawud)
Dalam memahami Hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa Nabi SAW tidak melarang beliau dipanggil  dengan sebutan Sayyidina dengan larangan tahrim (pengharaman). Hal ini ditinjau dari dua kajian.
Pertama, kata السَّيِّدُ اللهُ  pada Hadits tersebut hanyalah  penjelasan Nabi SAW tentang  siapa yang berhak menyandang  sebutan Sayyid secara hakiki dan mutlak tanpa batas. Yang mengatur segala urusan  mahluknya.(8) Hadits tersebut  tidak menafikan makna Sayyid yang lainnya seperti yang telah  disebutkan di awal bab yang bisa  pula disandang oleh Nabi SAW. Artinya, gelar ini layak disandang oleh Allah SWT  atau pun mahlukNya, seperti kata  الرَّبُّ (yang memiliki kekuasaan).  Allah SWT berfirman:
وَقَالَ لِلَّذِيْ ظَنَّ أَنَّهُ نَاجٍ مِنْهُمَا  اذْكُرْنِيْ عِنْدَ رَبِّكَ  فَأَنْسَىهُ  الشَيْطَانُ ذِكْرَ رَبِّهِ فَلَبِثَ  فِى السِّجْنِ بِضْعَ سِنِيْنَ
“Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinay akan selamat diantara mereka berdua:  “Terangkanlah keadaanku kepada  tuan-mu!” Maka syaitan manjadikan dia lupa menarangkan (kadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah  Yusuf dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS. Yusuf:  42)
وَقَالَ اْلَملِكُ ائْتٌوْنِيْ بِهِ فَلَمَّاجَاءَهُ الرَّسُوْلُ ق ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ  فَسْئَلْهُ مَابَالُ  النِّسْوَةِ الَّتِىْ قَطَّعْنَ  أَيْدِيَهُنَّ إِنَّ رَبِّي  بِكَيْدِهِنَّ عَلِيْمٌ
“Dan Raja berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu datang kepeda Yusuf,  berkatalah Yusuf:  “Kembalilah kepada Tuanmu dan  tanyakanlah kepadanya bagaimana  halnya wanita-wanita yang telah  melukai tangannya.  Sesungguhnya Tuhanku maha  mengetahui tipu daya  mereka.”(QS. Yusuf:50)
Yang dikehendaki oleh  Nabi Yusuf AS dengan mengatakan  rabb jelaslah bukan rabb yang berarti “Tuhan”, akan tetapi  rabb yang berarti tuan, sebagaimana dikatakan   رَبُّ الدَّارِyang berarti tuan rumah. Demikian pula sebutan  Sayyid. Dalam surat Ali Imran Allah SWT menghormati Nabi Yahya AS dengan sebutan Sayyid, ia berfirman:
فَنَادَتْهُ  اْلمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ  يُصَلِّىْ فِىْ اْلمِحْرَابِ  أَنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ  بِيَحْيَىْ  مُصَدِّقًا  بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ  وَسَيِّدًا  وَحَصُوْرًا  وَنَبِيًّا مِنَ  الصَّالِحِيْنَ
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia sedang berdir  melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu)  Yahya, yang membenarkan kalimat  (yang datang) dari Allah SWT, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan  seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.”
(Ali Imran: 39)
Meskipun muatan maknanya hampir sama, sebutan Sayyid disandang oleh  Rasulullah SAW jelas tidak sepadan  dengan sebutan Sayyid yang disandang Allah SWT. Gelar Sayyid  bagi Nabi SAW disematkan atas kepemimpinannya bagi umat dengan derajat kenabian dan  kerasulannya, sementara bagi  Allah SWT atas penguasaannya dijagat  raya.(9)
Kedua, kalau pun ada kesan larangan Rasulullah SAW dalam Hadits diatas, yang tersurat dalam  teks  قُوْلُوْا        بِقَوْلِكُمْ  أَوْبَعْضِ  قَوْلِكُمْ  وَلَايَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ (berkatalah dengan ucapan kalian atau sebagai ucapan kalian  dan jangan biarkan setan menjerumuskan kalian), itu pun disebabkan beliau tidak ingin dipuji secara  berlebihan alias muncul dari  ketawadlu’an yang beliau miliki dan disebabkan pula oleh kekhawatiaran beliau atas kesalah pahaman Bani Amir dalam memahami  arti Sayyid. Sebab, mereka masih mu’allaf yang belum lama masuk  Islam. Beliau khawatir mereka memahami makna Sayyid yang beliau sandang atas  kemuliaan derajat Nabi dan Rasul sederajat dengan Sayyid yang ada dalam kultur  mereka sebelumnya. Yakni  kesayyidan yang diperoleh karena  sebab-sebab duniawi yang selalu  mereka agung-agungkan. Lebih  jelasnay, dengan ucapan tersebut seakan-akan beliau bersabda: “Bertutur katalah dengan bahasa  yang dipakai orang-orang yang  seagama dengan kalian (agama Islam) dan panggilah aku Nabi dan Rasul  sebagaimana Allah SWT  menyebutku dalam kitabNya.  Jangan kalian menyebutku sebagai  Sayyid sebagaiman kalian  menyebut para pembesar kalian (sebelum masuk Islam). Jangan kalian samakan aku  dengan mereka karena aku tidak sama dengan seorangpun di antara mereka. Sebab, mereka tidak lebih  rendah dari kalian dalam hal-hal duniawi, dan sesungguhnya aku menjadi Sayyid kalian atas kenabian dan  kerasulan. Maka sebutkan aku  sebagai Nabi dan Rasul, atau hindari ebagian perkataan kalian (itu) dan  bersikaplah sederhana  didalamnya tanpa  berlebihan atau  hindarilah panggilan Sayyid dan  katakanlah Nabi dan  Rasul…”demikian  penafsiran  as-Suyuthi.(10)
Kendati begitu, mengingat larangan tersebut disebabkan ketawadlu’an beliau dan  kekhawatiran atas kesalah  pahaman para sahabatnay, maka  pada hakikatnya beliau tidak  melarang penyebutan gelar Sayyid  pada dirinya. Terbukti beliau sendiri memberi suri tauladan dalam  penghormatan pada  orang-orang  terpandang dengan  penyebutan gelar Sayyid,  sebagaimana sanjungan beliau beliau  pada cucunya, Hasan bin ‘Ali:
إِنَّ ابْنِيْ هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ  فِئَتَيْنِ  عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ  اْلمُسْلِمِيْنَ  
“Sungguh anakku ini adalah Sayyid, semoga Allah  mendamaikan di antara dua  golongan besar dari orang-orang  Islam dengannya.” (HR.  Bukhari)
Begitu pula pengakuan beliau pada Sa’d bin Mu’adz: قُوْمُوْا إِلَى  سَيِّدِكُمْ
“Berdirilah pada Sayyid  kalian.” (HR. Bukhari)
Tidak ketinggalan para  sahabat pun mencontohnya,  semisal do’a shalawat Ibn Mas’ud, pelayan setia Rasulullah SAW:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ  صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ  وَبَرَكَاتِكَ عَلَى  سَيِّدِاْلمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ اْلمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat, rahmat dan berkahmu pada pemimpin  para utusan, pemimpin orang-orang yang  bertaqwa dan pamungkas para Nabi.” (HR. Ibnu Majjah)
Bahkan Sahl bin Hunaif memanggil Nabi SAW dengan berseru يَا سَيِّدِيْ
“Wahai tuanku!”(HR. Abu Dawud)
Begitu pula pujian Sayyidina ‘Umar kepada Sayyidina Abu Bakar dan  Bilal: أَبُوْ بَكْرٍ سَيِّدُنَا  وَأَعْتَقَ  سَيِّدَنَا يَعْنِىْ بِلَالًا
“Abu Bakar adalah tuanku dan memerdekakan tuanku (Bilal).” `
Perlu kita renungkan,  apakah layak kita memanggil ayah dan ibu kita langsung dengan namanya? Apakah  pantas kita menyebut guru-guru kita dengan namanya secara langsung, tanpa  mencerminkan  penghormatan kepada mereka?  Tidakkah Alla SWT berfirman:  لَاتَجْعَلُوْا دُعَاءَ  الرَّسُوْلِ  بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ  بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah kamu jadikan  panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian  yang lain.” (QS. An-Nur: 63)
Tidakkah dalam al-Qur’an Allah SWT selalu menghormati beliau dengan gelar kenabian dan  kerasulannya tanpa menyebut langsung  namanya?
Oleh sebab itu, Hadits diatas tidak bisa dipahami sebagai larangan  penyebutan Sayyid kepada beliau.  Pengakuan langsung Nabi SAW atas kesayyidannya, persetujuan kepada para sahabat atas panggilan Sayyid kepadanya  dan ijma’ para ulama merupakan dasar yang kokoh atas keabsahan  penyematan gelar Sayyid baginya.  Wallahu a’lam.
(1)Dalam gramatika arab, sangat dihindari peletakan wawu dengan ya’  dalam satu kata, sehingga wawu harus         diganti dengan ya’.
(2) Sulaiman al-Bujairami,  op. Cit., Juz I, hlm. 36.
(3) Shalih bin Fauzan, “I’anah al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid”, Juz IV, hlm. 51. CD al-Maktabah as-Syamilah.
(4) Saulaiman al-Bujairami, loc. Cit. Dan Wuzarah al-Auqaf wa  asy-Syu’un  al-Islamiyah bi  al-Kuwait,  “al-Mausu’ah  al-Fiqhiyah”, Juz XI, hlm. 347. CD  al-Fiqh al-Islami.
(5) Wuzarah al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyah bi al-Kuwait, loc. Cit.
(6)Ar-Ramli, Nihayatul  al-Muhtaj, Bairut: Dar al-Kutub  al-Islamiyah, 2003, Juz I, hlm.  530.
(7)Ar-Ramli, Nihayatul  al-Muhtaj, Bairut: Dar al-Kutub  al-Islamiyah, 2003, Juz I, hlm.  530
(8)Muhammad al-Qari, op.  Cit., Juz IX hlm. 115 – 116.
(9)Muhammad al-Qari,  op. Cit., Juz IX hlm. 115 – 116, al-Munawi, Faid al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, tt, Juz IV, hlm.  152.
(10)Al-‘Adzim Abbadi, ‘Aun  al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, Juz XIII, hlm.  162.
			
									





