504. BOLEHKAH ISTRI MENIKAH LAGI SETELAH DITINGGAL SUAMI SELAMA 10 TAHUN ?

PERTANYAAN :
Assalamu’alaikum,  nitip pertanyaan dari teman,  sebut saja namanya tini, tini nikah sama toyyib. Baru 3 bulan tini hamil setelah 6 bulan toyyib menghilang tanpa kabar, tini sudah berusaha mencari toyyib tetapi juga tdak ketemu, tahun berganti tahun tak terasa sudah 10 tahun, karena ayah tini tak tega lihat tini hidup sendirin ngidupin buah hati, akhirnya ayahnya menjodohkan tini.  Pertanyaannya apa boleh & sah jika tini nikah lagi dengan laki-laki lain ? suwun. [Irul Kusnia Wati].
JAWABAN :
Langkah pertama, harus melalui / melibatkan hakim, ketika seorang suami hilang entah kemana, maka hukumnya ada dua pendapat.
1.Qoul qodim, istri termasuk kategori yang berhak mengajukan fasakh, tetapi harus menunggu sampai empat tahun, asumsi ini sebagai ukuran kepastian matinya si suami, setelah empat tahun habis, si istri harus menjalani ‘iddah wafat (4 bulan 10 hari), setelah ‘iddah habis baru dia bisa menikah. kepastian dan penentuan kematian si suami harus melalui hakim. ketentuan hukum ini berdasarkan ijtihad Sayyidina Umar RA.
2.Qoul jadid, istri TIDAK boleh fasakh dan harus bersabar menunggu nasib, pendapat ini berdasarkan qoul/ijtihad sayyidina Ali KW.
– Kitab almajmu’ 18/155 :
فصل : إذا فقدت المرأة زوجها و انقطع عنها خبره ففيه قولان : أحدهما و هو قوله في القديم أن لها أن تفسخ النكاح ثم تتزوج لما روى عمر بن دينار عن يحيى بن جعدة أن رجلا استهوته الجن فغاب عن امرأته فأتت عمر بن الخطاب رضي الله عنه فأمرها أن تمكث أربع سنين ثم أمرها أن تعتد ثم تتزوج و لأنه إذا جاز الفسخ لتعذر الوطء بالتعنين و تعذر النفقة بالإعسار فلأن يجوز ههنا و قد تعذر الجميع أولى
[ Fashlun ] Apabila seorang istri kehilangan suaminya dan tidak ada berita (tentang kondisi dan posisinya), maka ada dua qoul :
1. Qoul qodim, si istri berhak melakukan fasakh lalu menikah. pendapat ini berdasarkan riwayat dari Umar bin Dinar dari yahya bin Ju’dah, bahwa ada seorang laki-laki yang disukai oleh Jin, lantas dia hilang meninggalkan istrinya. Lalu Si istri mendatangi Umar bin Khottob. Dan Umar bin Khottob menyuruh si istri untuk menunggunya selama 4 (empat) tahun ditambah ‘iddah wafat (4 bulan 10 hari), setelah itu diperbolehkan menikah. Umar berijtihad seperti ini dengan alasan (menggunakan qiyas awlawi) bahwa ketika seorang istri dibolehkan minta fasakh karena kondisi mandulnya suami atw karena tidak mampunya suami memberi nafkah, maka kondisi ini (hilangnya suami) jelas lebih memungkinkan untuk fasakh.
و الثاني و هو قوله في الجديد و هو الصحيح أنه ليس لها الفسخ لأنه إذا لم يجز الحكم بموته في قسمة ماله لم يجز الحكم بموته في نكاح زوجته
2. Qoul jadid dan ini qoul yang shohih, si istri tidak boleh memfasakh, alasannya, dalam hal harta suami ketika si suami belum dipastikan kematiannya maka hartanya tidak bisa dibagikan sebagai warisan (dijadikan tirkah), yang karenanya tidak boleh pula menghukumi si suami telah meninggal sebagai alasan untuk bisa menikah.
و قول عمر رضي الله عنه يعارضه قول علي عليه السلام تصبر حتى يعلم موته و يخالف فرقة التعنين و الإعسار بالنفقة لأن هناك ثبت سبب الفرقة بالتعنين و ههنا لم يثبت سبب الفرقة و هو الموت
Adapun ucapan Umar….si istri harus menunggu 4 tahun…. Ini berlawanan dengan ucapan Sayyidina Ali yang menyatakan….. harus bersabar sampai diyakini kematiannya (suami)…..
Qoul Umar ini Juga berlawanan dengan status fasakh karena mandulnya suami. Mandulnya suami bisa menjadi sebab bolehnya fasakh, dan fasakh karena mandul ini adalah fasakh karena sesuatu yng sudah tetap/nyata. Sementara fasakh karena sangkaan kematian suami adalah fasakh karena sesuatu yang belum pasti (baru asumsi).
Jadi, qoul Umar berlawanan dengan dua hal yaitu qoul Ali dan kriteria fasakh.
فإن قلنا بقوله القديم قعدت أربع سنين ثم تعتد عدة الوفاة ثم تتزوج لما رويناه عن عمر رضي الله عنه و لأن يمضي أربع سنين يتحقق براءة رحمها ثم تعتد لأن الظاهر أنه مات فوجب عليها عدة الوفاة
Bila kita menggunakan qoul pertama (qodim) maka si istri harus menjalani masa menunggu 4 tahun plus iddah 4 bulan 10 hari.
قال أبو إسحاق يعتبر ابتداء المدة من حين أمرها الحاكم بالتربص
Abu ushaq berkata: (penghitungan waktu 4 tahun itu) dimulai semenjak ada perintah (dan ketepan) hakim.
و من أصحابنا من قال يعتبر من حين انقطع خبره و الأول أظهر لأن هذه المدة تثبت بالإجتهاد فافتقرت إلى حكم الحاكم كمدة التعنين

Tetapi ada juga dari kalangan sahabat kami (syafi’iyyun) yang menjadikan batasan menunggu si istri itu dimulai sejak berita hilangnya suami (bukan menunggu keputusan hakim). Tetapi pendapat pertama (berdasarkan ketetapan hakim) adalah pendapat yang azh-har, sebab masalah penetapan waktu adalah masalah ijtihad, dan ijtihad membutuhkan ketetapan seorang hakim sebagaimana ketetapan waktu tentang fasakh karena mandul. [Yupiter Jet].

Pos terkait