Add caption |
PASAL PERTAMA
Pada pasal pertama ini, Kyai Mushonif menerangkan hak seorang isteri dari suaminya,yaitu : menggaulinya dengan baik,menafkahinya,menyerahkan maharnya, pembagian yang adil baik lahir maupun bathin bagi suami yang beristeri lebih dari satu,mengajari ilmu agama yang berkaitan dengan kewajiban beribadah dan sunah-sunahnya, dan mengajari ilmu yang erat kaitanya dengan haidl, dan mengajari untuk selalu taat kepada suami dalam perkara di luar ma’siyat.
PASAL KEDUA
Menerangkan hak-hak suami yang wajib atas isterinya,yaitu : wajib taat pada suami kepada perkara selain ma’syiat,menggaulli atau melayani suami dengan baik penuh adab dan etika,menyerahkan dirinya sepenuh jiwa dan raganya, tidak meninggalkan rumah atau tempat tinggal suaminya, menjaga dan memelihara kehormatan suami atas diri dan rumah tangganya,selalu menutupi badan serta auratnya dari pandangan lelaki yang bukan muhrimnya,walaupun wajah dan dua telapak tangannya, karena melihatnya hukumnya haram walaupun tanpa syahwat dan aman dari fitnah, tidak meminta sesuatu yang di atas kemampuan suaminya walaupun suami bisa mengusahakan untuk mendapatnya, memelihara diri serta agamanya dari mengkonsumsi makanan dari hasil usaha suami yang haram, tidak menutupi atau berbohong kepada suami akan hal keadaan dirinya baik sedang dalam keadaan haidh atau telah selesai haidhnya.
PASAL KETIGA
Menerangkan keutamaan sholat seorang isteri dirumahnya,bahkan diterangkan oleh yai mushonif bahwa sholatnya seorang isteri dirumahnya lebih afdhol daripada sholat berjama’ah bersama baginda nabi SAW. Rosulullah bersabda : keadaan yang paling dekat bagi seorang isteri dengan tuhannya yaitu ketika ia berada dalam rumahnya,dan sholatnya dirumah lebih afdhol daripada sholatnya dimesjid, sholat dalam rumahnya lebih baik daripada sholatnya di ruang belakang rumahnya,dan sholat dikamarnya lebih baik daripada sholat dalam ruang rumahnya. (Lafadz “MUKHDA” artinya kamar khusus untuk ibadah atau kamar/ruangan yang diperuntukan buat sholat dan ibadah lainnya).
PASAL KEEMPAT
Yai mushonif menerangkan hukum haramnya melihatnya lelaki yang bukan mahrom kepada wanita ajnabiyyah dan begitu pula sebaliknya. Apa yang haram dilihat oleh laki-laki maka haram pula dilihat oleh wanita,Dan murohiq dihukumi sama dengan laki-laki dewasa. Maka wajib bagi wali dari anak laki-laki yang sudah murohiq atau sudah baligh untuk melarangnya dari melihat perempuan yang bukan muhrimnya. Demikian juga wajib bagi wali atau orang tua dari anak perempuan yang sudah balighoh untuk memerintahkannya berhijab atau menutupi auratnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahromnya, demikian yang disampaikan oleh Syeikh Muhammad Mishry dalam kitab Nihayah,dan menerangkan hukum larangan melihat sesuatu yang telah di nash oleh al-qur’an dan al-hadits.
Haram bagi laki-laki walaupun ia tidak memiliki dzakar,atau dikebiri atau impoten atau banci,melihat wanita ajnabiyyah yang musytahat (memasuki usia yang batal wudhu dengan menyentuhnya) baik melihat pada wajahnya atau dua telapaktangannya,bagian luar dan dalamnya. Adapun memandangnya seorang laki-laki pada isterinya atau amat nya dalam keadaan hayat keduanya maka hukumnya boleh walaupun dalam keadaan dilarang untuk istimta’ seperti dalam keadaan haidh. Tetapi makruh melihat farji sendiri tanpa ada hajat. Adapun melihat wanita merdeka untuk tujuan dinikahi maka diperbolehkan melihat wajah dan dua telapak tangannya saja,namun bila seorang amat maka diperbolehkan melihat selain anggota badan diantara pusar dan dengkul/lututnya. Dan boleh melihat wajah ajnabiyah dalam hal yang dibutuhkan untuk sebuah kesaksian (syahadah) dan dalam mu’amalah.
Boleh melihat ajnabiyyah dalam keperluan pengobatan,pada anggota badan yang sedang di obati walaupu farjinya dengan syarat dihadiri mahromnya dan tidak ada dokter/tabib perempuan. Boleh hukumnya melihat ajnabiyyah dalam keperluan mengajarkan perkara-perkara yang wajib menurut agama,hal ini disampaikan oleh imam subki dan yang lainnya. Dan kebolehan melihat ajnabiyyah yang sedang diajari perkara wajib tsb ketika tidak ada yang mengajarinya baik mahrom ajnabiyah tadi atau tidak ada ustadzah. hal ini diqiyaskan dalam hal pengobatan,dan ketika ditemukan kesulitan-kesulitan dalam belajar ketika dipasang hijab atau sutroh. Tidak diperbolehkan melihat ajnabiyyah jika yang disampaikannya adalah perkara-perkara sunah,berbeda dengan amrod,maka boleh melihat amrod ketika menyampaikan perkara yang sunah. Demikian hukum yang disampaikan oleh syeik Mishri dalam kitab Nihayah mensyarahi Al-ghoyah karangan Abi syuja’. Wallohu a’lam.
LINK ASAL: