729. Bagaimana mereka memperlakukan ulama pengikut pemimpin ijtihad kaum muslim

Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya : “Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para penyembah berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka.
Mereka menyembelih Syaikh Abdullah Al-Zawawi, guru para ulama madzhab Al-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh Al-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja juga mereka sembelih.
Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari Hijaz.
Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah Al-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hafal Sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks Al-Qur’an dan Hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah SWT. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam Al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada Ibn Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah Al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu :
“Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam Al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an :
“Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isra’ : 72).
Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada majaz ?”
Mendengar sanggahan Syaikh Al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun tidak mampu menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak buahnya agar Syaikh Al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi Al-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir.
Sumber : Kitab Al-Ju’nat Al-Aththar (autobiografi perjalanan hidup) karya Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin Al-Shiddiq Al-Ghumari Al-Hasani
 
Tulisan lain tentang perlakuan mereka dapat diketahui pada
Dari tulisan di atas dapat kita ketahui bahwa mereka  sampai membunuh ulama dikarenakan perbedaan pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.
Mereka berlandaskan perkataan ulama-ulama dahulu namun mereka memaknai dengan menterjemahkan secara dzahir (harfiah). Contohnya
Berkata Ibnu Khuzaimah rahimahullah : “Siapa yang tidak mengatakan bahwa Allah itu berada di atas langit-langit-Nya tinggi dan menetap di atas Arsy-Nya berpisah dari makhluk-Nya maka wajib dimintai tobat apabila dia bertobat maka diterima kalau tidak maka dipenggal lehernya kemudian dilemparkan ke tempat sampah agar manusia tidak terganggu dengan baunya”. (Disebutkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatil ‘Ulumul Hadits hal. 152 dan Mukhtashor  ‘Uluw hal. 225).
Padahal Ibnu Khuzaimah rahimahullah mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa”  Tidak lebih lebih dari itu. Namun mereka memaknainya dengan menterjemahkan secara harfiah bahwa Allah ta’ala bertempat/berada di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Kami, kaum muslim tentulah mengimani bahwa “ar Rahmaanu ‘alaa al’arsyi istawaa”  karena memang itu disebutkan dalam Al Qur’an pada surat Thaahaa [20]  ayat : 5 ,  namun kami mengingkari bahwa maknanya adalah Allah ta’ala bertempat di atas ‘Arsy atau  Allah ta’ala berbatas atau dibatasi oleh  ‘Arsy. Maha Suci Allah dari “di mana” dan “bagaimana“.
Imam al Qusyairi menyampaikan,  ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “di mana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Mereka mengingkari makna majazi dalam Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/17/2011/06/23/makna-majaz/
Kami menyampaikan tulisan ini bukanlah untuk mengajak membenci saudara-saudara kita kaum Wahhabi (pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab). Pada hakikatnya apa pun yang sudah terjadi adalah merupakan kehendak Allah Azza wa Jalla dan kita harus menerimanya namun kita dapat mengambil pelajaran (hikmah) dari kejadian tersebut dan bersikap dengan sikap yang dicintai oleh Allah Azza wa Jalla.
Wassalam

Pos terkait