740. Naik dan turun ketika peristiwa mi’raj

Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/28/tidak-patut-diikuti/ telah diuraikan bagaimana mereka mengutip perkataan para Imam Mazhab namun memaknainya sesuai keinginan mereka bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat atau berada di atas’ Arsy atau di atas langit.
Kita harus bisa bedakan kapan para Salafush Sholeh, para Imam Mazhab, para pengikut Imam Mazhab, para Habib, para Sayyid sedang menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah atau kapan mereka tidak mengucapkannya kecuali ‘ala sabilil hikayah atau menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih dari itu. Namun mereka para pengikut Ibnu Taimiyyah sebagaimana ulama Ibnu Taimiyyah memaknainya dengan menterjemahkan secara harfiah bahwa Allah ta’ala bertempat di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Mereka masih saja bersikeras bahwa Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat di atas ‘Arsy atau di atas langit. Mereka berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla berbatas atau dibatasi dengan ‘Arsy atau dengan langit.
Mereka katakan dengan peristiwa Mi’raj membuktikan bahwa Rasulullah mi’raj ketempat Allah Azza wa Jalla berada dan mereka mempertanyakan kami,  apakah kami mengingkari mi’raj Rasulullah dengan tubuhnya
Tentulah tubuh Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sampai kepada tempat Beliau bermunajat kepada Allah ta’ala ketika peristiwa Mi’raj namun bukan berarti Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat pada tempat Beliau bermunajat.
Begitupula memaknai hadits Rasulullah berikut
Rasulullah bersabda yang artinya, “Saat yang paling dekat antara seorang hamba dan Rabb-nya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa ketika itu.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Janganlah dimaknai bahwa Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat di tempat sujud kita
Jadi dalam kisah mi’raj yang kita  dengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya.
Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila kita telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan Beliau di hadapan penduduk langit dan Beliau adalah makhluk Allah yang paling utama.
Pengertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya Beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat Beliau tanpa menggunakan buraq.
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat Beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya.
Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.  Kita pun mengenal tempat yang mulia untuk bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla seperti Makkah Al Mukarohmah, Masjid Nabawi, multazam, raudhoh, maqam Ibrahim, hijr Ismal, rukun Yamani, hajar aswad , dll
Walaupun Beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala, karena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu”
Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oelh hadits ini?”  Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
Kami (penulis) mengingatkan kembali bahwa Allah Azza wa Jalla adalah dekat, Dia ada sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Dia tidak berubah dan tidak berpindah. Dia sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. Dia dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak. Tidak ada atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang bagiNya karena tidak ada satupun yang sanggup membatasiNya. Dia ada tanpa batas.  Yang berubah maupun berpindah adalah ciptaanNya. Setiap yang berpindah mempunyai bentuk dan batas.
Di dalam kitab “Kifayatul “Awam” karya Syeikh Ibrahim Al-Baijuri halaman 60 diterangkan sebagai berikut:
و الرابعة المماثلة ضد المخالفة فيستحيل عليه تعالي أن يماثل الحوادث في شيء مما اتصفوا به فلا يمر عليه تعالي زمان و ليس له مكان و ليس له حركة و لا سكون و لا يتصف بألوان و لا بجهة فلا يقال فوق الجرم و لا عن يمين الجرم و ليس له تعالي جهة فلا يقال اني تحت الله فقول العامة اني تحت ربي و ان ربي فوقي كلام منكر يخاف علي من يعتقده الكفر
Artinya:
=====
“Dan sifat mustahil yang keempat bagi Allah swt adalah sifat “Al-Mumatsalah (المماثلة)“. Artnya: Menyerupai makhluk, lawan dari sifat yang wajib bagi Allah swt yaitu sifat “Al-Mukhalafah (المخالفة)“. Artinya: Allah swt berbeda dengan makhluk.
Maka mustahil bagi Allah swt menyerupai makhluk pada sesuatu yang disifatinya. Olehkarena itu, Allah tidak dilewati (diliputi) oleh zaman (waktu), tempat, gerakan, dan diam, dan tidak pula disifati oleh warna-warna dan arah. Maka tidak boleh dikatakan bahwa Allah itu berada di atas jirim (bentuk makhluk seperti manusia) dan berada di sebelah kanan jirim. Begitupula, Allah tidak mempunyai arah. Maka tidak boleh dikatakan bahwa sesungguhnya aku berada di bawah Allah.
ِAdapun ucapan ‘awam (orang-orang yang tidak tahu tentang ilmu tauhid) mengatakan bawa sesungguhnya aku berada di bawah Tuhanku dan sesungguhnya Tuhanku berada di atasku merupakan kalam munkar, yang dikuatirkan dapat menimbulkan kekufuran bagi orang yang mengi’tiqadkan atau meyakininya”.
Tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)
“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Oleh karenanya kita sebaiknya mengingat peringatan yang disampaikan oleh Rasulullah yang artinya,  ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah
Dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah maka sebaiknyalah kita berpegang pada batas-batas yang disampaikan oleh para ulama terdahulu seperti
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Begitupula kita seharusnya memperhatikan peringatan yang disampaikan oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Wassalam
  
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Tambahan bahan note/tulisan kali ini dari:
Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki,  Wa huwa bi al’ufuq al-a’la dan diterjemahkan oleh Sahara , publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam

Pos terkait