Pertanyaan: Bagaimana Hukum Ikut Asuransi Kesehatan BPJS Pemerintah?
Hasil Pembahasan Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyyah Muktamar ke 33 Nahdlatul Ulama di Jombang Jawa Timur ( 1 s/d 5 Agustus 2015) tentang hukum BPJS kesehatan:
1. Apakah konsep Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS sesuai dengan syariat Islam?
2. Apakah program BPJS itu mengandung riba?
3. Bolehkah pemerintah mewajibkan keikutsertaan rakyat pada program BPJS?
4. Apakah boleh pemerintah menetapkan denda kepada peserta atas keterlambatan pembayaran iuran yang disepakati?
5. Bagaimana hukum investasi dana yang dilakukan oleh BPJS di berbagai sektor?
Jawaban Atas Pertanyaan Bagaimana Hukum Ikut Asuransi Kesehatan BPJS Pemerintah?
- BPJS yang merupakan program pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat (UU BPJS Nomor 40/11) adalah sejalan dengan semangat dan tujuan At-Ta’min At-Ta’awuny (Jaminan Gotong-Royong), yaitu kesepakatan beberapa orang atas kesanggupan masing-masing pada persekutuan tertentu guna mengganti kerugian yang mungkin menimpa salah seorang dari mereka pada saat benar-benar terjadi bahaya (Musibah). Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang harus disempurnakan suapaya BPJS sesuai dengan konsep At-Ta’min At-Ta’awuny yang sesuai syariat Islam, yaitu:
- Semangat dan tujuan BPJS yaitu pemeliharaan jaminan sosial di bidang kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tanpa keuntungan (Non profit) harus dapat difahami dan disadari oleh seluruh peserta, sehingga tujuan kepesertaan BPJS membantu sesama tanpa berharap keuntungan benar-benar direalisasikan.
- Dana BPJS harus dikelola menurut pengelolaan keuangan yang sesuai syariat Islam.
- Kemungkinan dana yang terkumpul melebihi biaya yang dibutuhkan dijadikan sebagai infaq dan sedekah (tidak dikembalikan).
- Kepesertaan hanya berlaku bagi warga negara yang sudah mampu memenuhi standard minimal kebutuhannya, sehingga warga miskin dan anak-anak tidak boleh diwajibkan menjadi peserta BPJS.
- Harus dilakukan update data kepesertaan secara berkala mengenai status kemampuan peserta.
- Pelayanan kepada peserta harus adil dan tidak diskriminatif.
- Dalam program BPJS tidak mengandung unsur riba dan juga tidak identik dengan asuransi profit apabila semua ketentuan-ketentuan di atas dapat dipenuhi dengan konsisten.
- Pemerintah boleh mewajibkan keikutsertaan pada program BPJS hanya terhadap warga negara yang sudah mampu memenuhi standard kebutuhan minimalnya (dengan harta atau penghasilan) dalam kurun waktu satu tahun dengan syarat anggaran negara di sektor kesehatan tidak mencukupi serta kadar iuran yang ditetapkan sesuai dengan kemampuan peserta.
- Pemerintah menerapkan denda keterlambatan diperbolehkan dan hanya berlaku bagi peserta yang masuk katagori mampu.
- Investasi dana BPJS diberbagai sektor diperbolehkan apabila:
- Terdapat peluang memperoleh keuntungan dan maslahah
- Dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan bertanggung jawab.
- Hasil keuntungan tetap dipergunakan sebagaimana peruntukan harta asal (jaminan sosial kesehatan).
- Pengelolaannya seseuai ketentuan syariat Islam.
- Harus diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila terjadi kerugian/kebangkrutan, maka yang bertanggung jawab adalah pihak pengelola (BPJS) jika hal itu terjadi akibat kecerobohan dalam menjalankan prosedur dan ketentuan diatas.
Referensi :
– Al Fiqhul Islami wa Adillatuhuu, ju V halaman 101:
حُكْمُ التَّأْمِيْنِ مَعَ شَرِكَاتِ التَّأْمِيْنِ فِي الْإِسْلَامِ
اَلتَّأْمِيْنُ حَدِيْثُ النَّشْأَةِ ، فَقَدْ ظَهَرَ بِمَعْنَاهُ الْحَقِيْقِيُّ فِي الْقَرْنِ الرَّابِعَ عَشَرَ الْمِيْلَادِيِّ فِيْ إِيْطَالِيَا فِيْ صُوْرَةِ التَّأْمِيْنِ الْبَحْرِيِّ. وَالتَّأْمِيْنُ نَوْعَانِ: تَأْمِيْنٌ تَعَاوُنِيٌّ وَتَأْمِيْنٌ بِقِسْطٍ ثَابِتٍ
أَمَّا التَّأْمِيْنُ التَّعَاوُنِيُّ: فَهُوَ أَنْ يَتَّفِقَ عِدَّةُ أَشْخَاصٍ عَلَى أَنْ يَدْفَعَ كُلٌّ مِنْهُمْ اِشْتِرَاكًا مُعَيَّنًا، لِتَعْوِيْضِ الْأَضْرَارِ الَّتِيْ قَدْ تُصِيْبُ أَحَدَهُمْ إِذَا تَحَقَّقَ خَطَرٌ مُعَيَّنٌ . وَهُوَ قَلِيْلُ التَّطْبِيْقِ فِي الْحَيَاةِ الْعَمَلِيَّةِ.
إلى أن قال:
حُكْمُ التَّأْمِيْنِ التَّعَاوُنِيِّ:
لَاشَكَّ فِيْ جَوَازِ التَّأْمِيْنِ التَّعَاوُنِيِّ فِي الْإِسْلَامِ، لِأَنَّهُ يَدْخُلُ فِيْ عُقُوْدِ التَّبَرُّعَاتِ، وَمِنْ قَبِيْلِ التَّعَاوُنِ عَلَى الْبِرِّ؛ لِأَنَّ كُلَّ مُشْتِرِكٍ يَدْفَعُ اشْتِرَاكَهُ بِطِيْبِ نَفْسٍ لِتَخْفِيْفِ آثَارِ الْمَخَاطِرِ وَتَرْمِيْمِ الْأَضْرَارِ الَّتِيْ تُصِيْبُ أَحَدَ الْمُشْتَرِكِيْنَ، أَيًّا كَانَ نَوْعُ الضَّرَرِ، سَوَاءٌ فِي التَّأْمِيْنِ عَلَى الْحَيَاةِ، أَوِ الْحَوِادِثِ الْجُسْمَانِيَّةِ……إلخ
– Shahih Muslim, juz XII halaman 300 :
حَدَّثَنَا أَبُوْ عَامِرٍ الْأَشْعَرِيُّ وَأَبُوْ كُرَيْبٍ جَمِيْعًا عَنْ أَبِيْ أُسَامَةَ قَالَ أَبُوْ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُوْ أُسَامَةَ حَدَّثَنِيْ بُرَيْدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ أَبِيْ بُرْدَةَ عَنْ أَبِيْ مُوْسَى قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِنَّ الْأَشْعَرِيِّيْنَ إِذَا أَرْمَلُوْا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِيْنَةِ جَمَعُوْا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِيْ ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوْهُ بَيْنَهُمْ فِيْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّيْ وَأَنَا مِنْهُمْ
– Shahih Muslim, juz XVII halaman 19 :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيْمِيُّ وَأَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَ قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِيْ صَالِحٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ
– Hasyiya Ibn Qasim ‘Ala Tuhfatil Muhtaj fi Syarhil Minhaj, juz X halaman 264:
فَالْأَوْجَهُ أَنَّ الْمُتَوَجَّهَ عَلَيْهِ وُجُوْبُ الصَّدَقَةِ بِالْأَمْرِ الْمَذْكُوْرِ مَنْ يُخَاطَبُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ فَمَنْ فَضَلَ عَنْهُ شَيْءٌ مِمَّا يُعْتَبَرُ ثَمَّ لَزِمَهُ التَّصَدُّقُ عَنْهُ بِأَقَلِّ مُتَمَوَّلٍ هَذَا إنْ لَمْ يُعَيِّنْ لَهُ الْإِمَامُ قَدْرًا ، فَإِنْ عَيَّنَ ذَلِكَ عَلَى كُلِّ إنْسَانٍ فَالْأَنْسَبُ بِعُمُوْمِ كَلَامِهِمْ لُزُوْمُ ذَلِكَ الْقَدْرِ الْمُعَيَّنِ لَكِنْ يَظْهَرُ تَقْيِيْدُهُ بِمَا إذَا فَضَلَ ذَلِكَ الْمُعَيَّنُ عَنْ كِفَايَةِ الْعُمُرِ الْغَالِبِ
Referensi lain:
- Bugyatul Mustarsyidin, halaman 253
- Fathul Mu’in (Hamisy I’anatut Thalibin, juz VI halaman 182)
- Bughyatul Mustarsyidin, halaman 142
- Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro, juz III halaman 328
- Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro, juz III halaman 331
- Hasyiyah Al Bujairimy ‘Alal Khathib, juz III halaman 197
Wallaahu A’lamu Bishshowaab. [Abdullah Afif]
Demikian, semoga bermanfaat…
Sumber tulisan ada di sini
Silahkan baca artikel terkait