Berikut Larangan Suami Atas Istrinya

Berikut Larangan Suami Atas Istrinya

Pertanyaan: Berikut Larangan Suami Atas Istrinya

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Yai, ustadz, ustadzah, akang, teteh, saya mau tanya kasus dalam sebuah keluarga, seperti ini kronologinya : Seorang isteri membantu ibunya yang sedang sakit-sakitan namun tidak diizinkan oleh si suami, oleh karena itu si isteri membantu ibunya secara diam-diam dan setiap perbuatan si isteri diketahui si suami maka si isteri dimarahi habis-habisan kemudian si isteri menjawab “ya udah kalo kaya gini caranya mending saya hidup sendiri, silahkan cari yang lain, anak udah besar ini dan saya sudah capek sama kelakuan kamu yang gak adil dan sering ninggalin sholat!” Namun si suami tidak merespon omongan si isteri dan kejadian tersebut sudah sering terjadi. Oya hampir lupa, kejadian ini menyebabkan tidak harmonisnya keluarga tersebut. Nah yang saya pertanyakan apakah si isteri termasuk isteri nusuz? Bagaimana status pernikahannya? Dan bagaimana jalan keluar dari masalah tersebut ? Mohon jawabannya. [Hardianto Muhamad Modiendoy].

Bacaan Lainnya

Jawaban Atas Pertanyaan Berikut Larangan Suami Atas Istrinya

Waalaikumsalam. Wr. Wb.

Dijelaskan dalam Kitab ‘uquudul lujain :

وَمِنَ الْكَبَائِرِ) أي كبائر الذنوب (خُرُوْجُ الْمَرْأَةِ المْمُزَوّجَةِ مِنْ بَيْتِهَا) أي محل إقامتها (بِغَيْرِ إِذْنِهِ، وَلَوْ لِمَوْتِ أَحَدِ أَبَوَيْهَا) أي لأجل جنازته.

Sebagian dari dosa besar adalah keluarnya seorang isteri dari rumah tanpa izin suaminya, walaupun untuk sebab wafatnya salah satu orang tuanya

(وَفِيْ الإِحْيَاءِ) للغزالي رحمه الله تعالى (خَرَجَ رَجُلٌ فِيْ سَفَرِهِ وَعَهِدَ) بكسر الهاء أي أوصى (إِلَى امْرَأَتِهِ أَنْ لاَ تَنْزِلَ مِنَ الْعلوِ إِلَى السفْلِ، وَكَانَ أَبُوْهَا فِيْ الأَسْفَلِ فَمَرِضَ) أي الأب (فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْتَأْذِنُ فِيْ النُزُوْلِ إِلَى أَبِيْهَا) أي لعيادته (فَقَالَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَطِيْعِيْ زَوْجَكِ”) أي ولا تنزلي (فَمَاتَ) أي الأب (فَاسْتَأْذَنَتْ) أي رسولَ الله صلى الله عليه وسلم في النزول لأجل شهود جنازته (فَقَالَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَطِيْعِيْ زَوْجَكِ”) في عدم النزول (فَدُفِنَ أَبُوْهَا، فَأَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهَا) أي المرأة (يُخْبِرُهَا “أَنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ غَفَرَ لأَبِيْهَا بِطَاعَتِهَا لِزَوْجِهَا”).

Imam Al-Ghozali menuturkan dalam kitab Ihya  tersebutlah sebuah keluarga dizaman rosulullah ) seorang suami akan melakukan perjalanan dan ia berwasiat pada isterinya untuk tidak turun dari lantai atas ke lantai bawah yang mana orang tua si isteri ini mendiami lantai bawah. Dalam keadaan suami masih dalam perjalanannya si ayah wanita ini sakit,ia ingin menjenguk ayahnya namun ia tidak berani melanggar wasiat suaminya, akhirnya ia mengirim utusan kepada rosulullah untuk mohon diizinkan turun guna menengok orang tuanya. Maka bersabda Rosul : “Taatilah suamimu”. Kemudian wafatlah orang tuanya, dan wanita ini ingin menyaksikan jenazah orangtuanya untuk yang terakhir kalinya,kemudian ia mengutus utusan kepada rosulullah untuk memohonkan izin guna melihat jenazah orangtuanya, Nabi bersabda : Taatilah suamimu. Maka dikuburkanlah orangtuanya.Tak lama Rosulullah mengirim utusan yang memberi kabar kepada wanita ini,Bahwa : Allah SWT telah mengampuni dosa orang tuanya dengan sebab ketaannya kepada suaminya.

أوصت امرأة بنتها، فقالت: احفظي لزوجك خصالا عشرا يكنْ لكِ ذُخْرًا، الأول والثانية: القناعة وحسن السمع له والطاعة. والثالثة والرابعة: التفقد لمواقع عينه وأنفه، فلاتقع عينه منكِ على قبيح، ولا يشمّ أنفه منك إلا طيب الريح. والخامسة والسادسة: التفقد لوقت طعامه ومنامه، فإن شدة الجوع ملهبة، وتنغيصَ النوم مغضبة. والسابعة والثامنة: الإحراز لماله والرعاية إلى حشمه وعياله. والتاسعة والعاشرة: لا تعصين له أمرا ولا تُفْشِين له سِرّا، فإنكِ إن خالفتِ أمره أوْغِرْتِ صدرَه، وإن أفشيتِ سرّه لم تأمني غدره، وإياكِ ثم إياكِ والفرحَ بين يديه إذا كان مهتما، والكآبة لديه إن كان فرحا.

Dengan kejadian tersebut wanita inipun berwasiat kepada puterinya : Peliharalah sepuluh perkara yang menjadi hak suamimu, niscaya itu akan jadi bekal kebaikan buatmu :

1.Pertama dan kedua, Qona’ah dan mendengar baik-baik ucapan suami serta taatilah.

2.Ketiga dan keempat, Perhatikan dan periksalah penglihatn dan penciuman suamimu, Jangan biarkan suami memandangmu dengan pandangan tidak suka.Dan jangan biarkan suamimu ketika ia mencium aromamu kecuali harum.

3.Kelima dan keenam, Periksa dan perhatikan waktu makan dan waktu tidur suamimu.

4.Ketujuh dan kedelapan, Menjaga harta suami dan jangan berbuat tidak senonoh terhadap suami dan keluarga suami.

5.Kesembilan dan kesepuluh, Jangan bantah perkataannya dan jangan bicarakan apa yang jadi rahasiannya.

Sungguh jika engkau melawan perintahnya dan ada rasa cemburu di dadanya juga membicarakan rahasianya. Maka engkau jangan merasa aman karena telah berkhianat paadanya. Jagalah Jagalah berikan kebahagian ketika ia sedang bersedih / bingung / terpuruk. Dan berilah masukan (agar tidak berlebihan ) ketika ia sedang gembira.

Menurut asy-syafi’iyyah : isteri tidak diperkenankan mengeluarkan hartanya walau itu miliknya sendiri tanpa izin suaminya. Namun kalangan Imam yang lain : boleh,jika harta milik si isteri dalam tashorruf yang sifatnya ibadah. Idealnya,isteri mematuhi suami kecuali dalam hal ma’syiyat dan suami selayaknya memberikan ruang kepada isteri/izin untuk hal-hal yang sifatnya ibadah, seperti akan ta’lim perkara-perkara wajib atau silaturrohmi kepada orangtua dan saudaranya. Ucapan isteri seperti di atas, jika yang mengatakannya suami maka akan jadi kinayah tholaq, namun jika isteri yang mengatakannya dan suami tidak menanggapi ucapan si isteri, maka tidak berpengaruh apa-apa terhadap keutuhan rumah tangganya. Di antara solusinya, mumgkin bisa bicara baik-baik pada waktu yang tepat dengan menepis ego masing-masing.

Berikut ta’bir tambahan dari:

  1. Kitab Hanafiyyah (al-Bahrurra`iq 11/314)

وَلَوْ كَانَ أَبُوهَا زَمِنًا مَثَلًا وَهُوَ يَحْتَاجُ إلَى خِدْمَتِهَا وَالزَّوْجُ يَمْنَعُهَا مِنْ تَعَاهُدِهِ فَعَلَيْهَا أَنْ تَعْصِيَهُ مُسْلِمًا كَانَ الْأَبُ أَوْ كَافِرًا ، كَذَا فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ .

Jika bapak dari si isteri mengalami kelumpuhan yang mana membutuhkan perhatian khusus untuk melayaninya, namun sang suami melarang atau mencegahnya, maka bagi si isteri diperkenankan untuk tidak melaksanakan larangan suaminya (artinya, boleh tetap melayani bapaknya) baik bapaknya beragama islam atau non muslim.  (Kitab Fathul Qodir)

  1. Kitab Malikiyyah (Attaaj wal Iklil 6/286)

وَفِي الْعُتْبِيَّةِ : لَيْسَ لِلرَّجُلِ أَنْ يَمْنَعَ زَوْجَهُ مِنْ الْخُرُوجِ لِدَارِ أَبِيهَا وَأَخِيهَا وَيُقْضَى عَلَيْهِ بِذَلِكَ خِلَافًا لِابْنِ حَبِيبٍ

Tidak diperkenankan bagi sang suami melarang atau mencegah isterinya untuk mengunjungi kediaman / rumah orang tuanya atau saudaranya.

.3. Kitab Syafi’iyyah (Asnal Mathalib 3/239)

وَلِلزَّوْجِ مَنْعُ زَوْجَتِهِ من عِيَادَةِ أَبَوَيْهَا وَمِنْ شُهُودِ جِنَازَتِهِمَا وَجِنَازَةِ وَلَدِهَا وَالْأَوْلَى خِلَافُهُ

Bagi suami, boleh melarang isterinya untuk sekedar menjenguk orang tuanya yang dalam keadaan sakit, dan menyaksikan jenazah orang tuanya, Namun yang lebih utama ialah mempersilahkan / mengizinkan isteri dalam dua hal tersebut.

  1. Kitab Hanabilah (Al Inshaf 8/267)

فوائد  الأولى: لا يملك الزوج منع أبويها من زيارتها على الصحيح من المذهب.  قال في الفروع والرعايتين ولا يملك منعهما من زيارتها في الأصح وجزم به في الحاوي الصغير. وقيل: له منعهما. قلت الصواب في ذلك إن عرف بقرائن الحال أنه يحدث بزيارتهما أو أحدهما له ضرر فله المنع وإلا فلا. الثانية: لا يلزمها طاعة أبويها في فراق زوجها ولا زيارة ونحوها بل طاعة زوجها أحق.

Wallaahu A’lam. [Ical Rizaldysantrialit, Yai Abdullah Afif].

 

Demikian, semoga bermanfaat.

Sumber tulisan ada disini.

Silahkan baca artikel terkait.

Pos terkait