Pertanyaan: Bolehkah Mengatakan Ayah Nabi Ibrahim Kafir?
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Apakah dibenarkan mengatakan ayah nabi Ibrahim adalah kafir? [Mbah Cemeng].
Jawaban Atas Pertanyaan Bolehkah Mengatakan Ayah Nabi Ibrahim Kafir?
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Tidak benar. Tertulis dalam TAQRIROT BAD’UL AMALI hal 16 karya Syaikhuna wa Murobbi Ruhina Al-alim Al-Allamah Romo Syeh Maimoen Zubair Al-Haj karangmangu sarang-rembang jawa tengah indonesia :
وكما انه يجب التصديق بهم يجب الايمان بأنهم اكمل معاصرهم عقلا وفطنة وقوة ورؤيا وخلقا بفتح الخاء وسكون اللام وخلقا بضم الخاء واللام بأنهم معصومون ولو من الصغائر سالمين عن دناءة النسب وعن مرض منفر كالجذام وعن قلة مروءة وعن مذلة الصنعة كحجامة
Sebagaimana wajib iman tasdiq / membenarkan pada para Nabi dan Rosul maka wajib pula beriman bahwa mereka adalah orang-orang yang akalnya, kekuatannya, pendapatnya, ciptaannya dan akhlaqnya lebih sempurna terhadap orang-orang sekurunnya (se zamannya) dan mereka adalah maksum (terhindar dari dosa ) walaupun dosa-dosa kecil dan juga selamat dari jeleknya nasab dan sakit yang ditakuti (bisa di asingkan) seperti kusta dan minimnya kewibawaan dan juga selamat dari mempunyai pekerjaan yang hina seperti tukang cantuk.
Betul ada khilaf ulama ! Tapi tidakkah anda bisa merasakan perasaan nabi ibrahim, jika “Ab” nya dikatakan kafir ? Walaupun seumpama pada haqiqatnya betul “kafir”. Termasuk adabul lisan “menurut syeh Abdul Qodir Jalaeni rohimahulloh ” tidak boleh menceritakan kejelekan yang ada kaitanya dengan para Nabi ‘alaihi sholatu wasalam.
KESIMPULAN :
Status ayah Nabi Ibrahim pada hakekatnya merupakan masalah yang diperselisihkan. Khilafiyah ini masyhur diceritakan dalam kitab-kitab tafsir. Imam As-Suyuthi menulis bab khusus tentang ini yang diberi nama ‘Tanzihul Anbiya ‘an Tasfihil Aghbiya’ (Membersihkan Para Nabi dari Caci Maki Orang-Orang Bodoh).
Sementara di sisi lain, dalam keputusan muktamar NU ke 3 di Surabaya tahun 1928 menyebutkan:- Apa pendapat Muktamar tentang ayah Nabi Ibrahim -alayhis salam. Apakah termasuk ahli surga (mukmin) ataukah ahli neraka (kafir)?- Muktamar memutuskan bahwa ayah Nabi Ibrahim a.s. itu termasuk ahli neraka (kafir).
Dari komentar saudara penanya, bisa dilihat bahwa penanya pun sudah memahami terjadinya khilafiyah. Sementara sudah dimaklumi bahwa persoalan khilafiyah tidak perlu diingkari, wa la yunkarul mukhtalaf fih. Maka barangkali yang dimaksud penanya, wallahu a’lam, adalah sejauh mana sensitifnya masalah ini sehingga masih dibenarkankah untuk mengatakannya secara terbuka tentang kekafiran ayah Ibrahim?
Bila demikian maka tetap tidak dibenarkan bagi kita, tanpa ada hajat yang jelas, untuk berbicara atau menyebutkan pendapat kekufuran ayah Ibrahim. Walaupun pendapat itu hakekatnya benar, namun tidak semua yang benar layak diungkapkan. Sebagai bentuk tatakrama kita terhadap para nabi, juga untuk menjaga sesuatu yang kurang layak pada para nabi menjadi masyhur diketahui atau bahkan dijadikan bahan olok-olokan.
مسألة : ي) : لا يحل لعالم أن يذكر مسألة لمن يعلم أنه يقع بمعرفتها في تساهل في الدين ووقوع في مفسدة)
[Permasalahan : Yahya] Tidak diperbolehkan bagi seorang alim untuk menuturkan masalah pada seseorang yang diketahui akan berdampak menggampangkan agama ataupun terjerumus pada keburukan. (Bughyah).
وَسُئِلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِمَا لَفْظُهُ كَثِيرًا ما يَتَخَاصَمُ اثْنَانِ فَيُعَيِّرُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ بِالْفَقْرِ أو رَعْيِ الْغَنَمِ مَثَلًا فيقول الْآخَرُ الْأَنْبِيَاءُ كَانُوا فُقَرَاءَ وَيَرْعَوْنَ الْغَنَمَ أو نحو ذلك مِمَّا هو مَعْرُوفٌ عِنْدَ الْعَامَّةِ مَأْلُوفٌ فما حُكْمُ ذلك فَأَجَابَ عَفَا اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عنه بِقَوْلِهِ هذا مِمَّا يَنْبَغِي أَنْ يُفْطَمَ عنه الناس غَايَةَ الْفَطْمِ لِأَنَّهُ يُؤَدِّي إلَى مَحْذُورَاتٍ لَا يُتَدَارَكُ خَرْقُهَا وَلَا يَرْتَقِعُ فَتْقُهَا وَكَيْفَ وَكَثِيرًا ما يُوهِمُ ذلك الْعَامَّةَ إلْحَاقَ نَقْصٍ له صلى اللَّهُ عليه وسلم
بِبَعْضِ صِفَاتِهِ التي هِيَ من كَمَالِهِ الْأَعْظَمِ وَإِنْ كان بَعْضُهَا بِالنِّسْبَةِ إلَى غَيْرِهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم نَقِيصَةً في ذَاتِهِ كَالْأُمِّيَّةِ أو بِاعْتِبَارِ عُرْفِ الْعَوَامّ الطَّارِئِ كَالْفَقْرِ وَرَعْيِ الْغَنَمِ فَتَعَيَّنَ الْإِمْسَاكُ عن ذلك وَتَأَكَّدَ على الْوُلَاةِ وَالْعُلَمَاءِ مَنْعُ الناس من الْإِلْمَامِ بِشَيْءٍ من تِلْكَ الْمَسَالِكِ فَإِنَّهَا في الْحَقِيقَةِ من أَعْظَمِ الْمَهَالِكِ
Ditanyakan -semoga Allah merahmati dan memberkatinya- tentang peristiwa yang lazim terjadi, yakni tentang dua orang yang bermusuhan, lalu salah satunya mengejek yang lain dengan sebutan miskin atau tukang gembala kambing misalnya, maka yang lain menimpali bahwa para nabi pun juga miskin dan menggembala kambing, ataupun kalimat semacam itu yang biasa terjadi di masyarakat, apakah hukum hal tersebut?
Dijawab olehnya -semoga Allah mengampuni dan memberkatinya-, ini merupakan hal yang sungguh selayaknya perlu untuk dicegah, karena hal itu akan berdampak pada keburukan yang tidak bisa ditemukan bagian mana yang sobek atau lubang mana yang harus ditambal.
Bagaimana tidak, banyak hal yang oleh masyarakat dipahami salah kaprah sebagai kekurangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atas sebagian sifatnya yang sebenarnya merupakan kesempurnaan Nabi. Hanya saja ketika dinisbatkan pada orang-orang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka akan tampak seperti sifat kekurangan, seperti sifat buta huruf, miskin, dan tukang gembala kambing. Maka jelaslah tuntutan untuk mencegah hal semacam itu terjadi.
Dan tuntutan ini semakin menguat pada para amir dan para ulama untuk mencegah hal ini diketahui oleh banyak orang. Sebab hal semacam itu pada hakekatnya bisa menjadi faktor timbulnya keburukan yang besar. (Fatawi Kubro).
الْوَجْهُ الْخَامِسُ أَنْ لَا يَقْصِدَ نَقْصًا وَلَا يَذْكُرُ عَيْبًا وَلَا سَبًّا وَلَكِنَّهُ يَنْزِعُ بِذِكْرِ بَعْضِ أَوْصَافَهُ أو يَسْتَشْهِدُ بِبَعْضِ أَحْوَالِهِ عليه الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْجَائِزَةِ عليه في الدِّينِ على طَرِيقِ ضَرْبِ الْمَثَلِ وَالْحُجَّةِ لِنَفْسِهِ أو لِغَيْرِهِ أو على التَّشَبُّهِ بِهِ أو عِنْدَ هَضْمَةٍ نَالَتْهُ أو غَضَاضَةٍ لَحِقَتْهُ ليس على طَرِيقِ التَّأَسِّي وَطَرِيقِ التَّحْقِيرِ بَلْ على قَصْدِ التَّرْفِيعِ لِنَفْسِهِ أو لِغَيْرِهِ أو سَبِيلِ التَّمْثِيلِ وَعَدَمِ التَّوْقِيرِ لِنَبِيِّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم
Ragam yang kelima, yakni tidak bertujuan merendahkan, juga tidak menyebutkan aib ataupun umpatan. Akan tetapi menghindarinya dengan menuturkan sifat-sifat, atau dengan bercerita keadaan-keadaan yang masih dibenarkan terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bentuk perumpamaan dan dalil baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain, atau dalam bentuk kiasan, atau ketika sedang menderita dan tertekan, tidak disampaikan dalam bentuk merendahkan dan menghina, melainkan untuk memuji dirinya sendiri maupun orang lain, ataupun disampaikan dalam bentuk perumpamaan tanpa disertai unsur merendahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Fatawi Kubro).
حدثنا علي بن أبي جميلة قال : قال عمر بن عبد العزيز لسليمان بن سعد : بلغني أن أبا عاملنا بمكان كذا وكذا زنديق قال : هو ما يضره ذلك يا أمير المؤمنين قد كان أبو النبي صلى الله عليه وسلّم كافراً فما ضر ، فغضب عمر غضباً شديداً وقال : ما وجدت له مثلاً غير النبي صلى الله عليه وسلّم ؟ قال : فعزله عن الدواوين
Menceritakan kepada kami Ali ibn Abi Jamilah dan berkata, Umar ibn Abdil Aziz berkata pada Sulaiman ibn Sa’d: Telah sampai kabar padaku bahwa ayah dari pegawai kita di daerah sana dan sana merupakan orang zindiq. Sulaiman berkata: Tidak masalah wahai Amirul Mukminin, ayah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kan juga orang kafir, jadi tidak masalah. Umar marah luar biasa dan berkata: Apa kau sudah tidak punya perumpamaan lagi selain tentang Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. Lalu Umar memecat pegawai itu (Hawi Fatawi). Hadza syaiun muhim. Ihdinash shirathal mustaqim. Wallahu subhanahu wata’ala a’lam.
[Kumbang Gurun, Ical Rizaldysantrialit, Mbah Godek].
Wallahu A’lam.
Demikian, artikel Bolehkah Mengatakan Ayah Nabi Ibrahim Kafir? semoga bermanfaat.
Sumber tulisan ada disini.
Silahkan baca artikel terkait.
Editor: Syaefudin