SEKELUMIT TENTANG THORIQOH (TAREKAT)
PENDAHULUAN
Thoriqoh ( Tarekat ) menurut lughot mempuyai arti jalan. Sedangkan menurut istilah Tashawwuf: Thoriqoh bisa diartikan jalan yang ditempuh seorang hamba ( al-‘abdu ) menuju Ridlo Alloh SWT. Ada pula yang mempersempit pengertian Thoriqoh dengan mendefinisikannya sebagai jalan menuju Ma’rifat billah.
Melihat definisi diatas, maka jelas sekali bahwa pengertian Thoriqoh sangat luas. Thoriqoh tidak hanya dengan berdzikir saja, atau dengan berbagai bentuk wiridan saja, namun bisa juga dengan berbagai bentuk ibadah yang dapat mendekatkan diri kita kepada Alloh SWT. sang pencipta alam semesta. Bisa berupa wirid, dzikir, puasa, ta’lim ( mengajar ), ta’allum ( belajar ) dan berbagai bentuk amal kebajikan lainnya ( lihat Salalimul Fudlola’ ).
HADITS TENTANG SANAD TAREKAT
Mubaya‘ah (atau talqin dzikir) dalam dunia tarekat shufi dianggap tidak ada oleh sebagian orang. Dia berkeyakinan bahwa mubaya‘ah hanya bisa dilakukan oleh Rasulullah dan para khalifahnya. Sehingga apa yang dilakukan oleh mursyid tarekat yang mentalqin dzikir muridnya adalah tidak benar serta tidak sesuai dengan apa yang dilakukan pada zaman Rasulullah.
Sanad tentang dzikir tarekat juga menjadi kritikan dan hinaan mereka, orang-orang Wahhabi. Mereka menganggap bahwa tidak ada hadits tentang talqin dzikir atau mengenakan pakaian sederhana simbol shufi (lubsu al-khirqah), sebagai simbol seseorang yang sudah masuk dalam dunia shufi, yang dapat dibuat hujjah. Pernyataan bahwa tidak ada hadits yang dapat dijadikan hujjah tersebut mengutip dari pernyataan mayoritas para ahli hadits.
Perlu diketahui oleh mereka, mubaya’ah (baiat) dalam arti talqin dzikir dari seorang guru mursyid kepada muridnya bukan mubaya’ah (janji setia) seperti yang dilakukan oleh Rasulullah kepada shahabat-shahabatnya dalam Bai‘at ar-Ridhwan, atau baiatnya seorang rakyat kepada imam atau kepala Negara terpilih seperti baiatnya para shahabat yang mengangkat Sayyidina Abu Bakar menjadi khalifah Rasulallah. Sebab, mubaya’ah dalam tarekat shufi adalah bentuk talqin dzikir seperti yang dilakukan Rasulallah yang mentalqin dzikir para shahabatnya. Adapun mubaya’ah para shahabat yang baru saja disinggung di atas adalah mubaya’ah janji setia menjalankan Islam atau janji setia dan tunduk patuh kepada imam terpilih.
Sanad hadits tentang bai’at tarekat adalah hadits riwayat dari Hasan al-Bashri yang berbaiat dzikir dari Sayyidina Ali dari Rasulallah (dalam ilmu tasawuf disebut talqin zikir) dan sanad hadits tentang lubsul khirqah (berperilaku sebagai shufi yang bersimbol dengan pakaian sederhana) juga diriwayatkan dari Hasan al-Bashri dari Ali, hanya saja kedua hadits tersebut tidak pernah disebutkan dalam kitab hadits manapun, sehingga banyak para ahli hadits yang ingkar dan menilainya bathil. Penilaian para ahli hadits tersebut terletak pada masalah apakah Hasan al-Bashri pernah bertemu dengan Sayyidina Ali atau tidak. Dan menurut sebagian ahli hadits, keduanya tidak pernah bertemu. (Sanad talqin dzikir dari Hasan al-Bashri tersebut adalah talqin dzikir oleh Rasulallah kepada Sayyidina Ali secara sendirian. Sedangkan sanad talqin dzikir secara bersama-sama adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, ath-Thabarani dan lain-lain dengan sanad hasan. Lihat Lawaqih al-Anwar al-Qudtsiyyah hlm. 11. Hadits talqin tersebut sebagaimana dikatakan asy-Sya’rani adalah diriwayatkan oleh Syaikh Yusuf al-Ajami, seorang syaikh tarekat, dalam salah satu risalahnya yang disebutkan dengan sanad yang muttasil sampai Sayyidina Ali. )
Namun, sebenarnya hadits tentang dua masalah tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan muridnya, as-Suyuthi adalah hadits yang shahih (muttasil) dan perawinya tsiqah-tsiqah. Artinya juga bahwa Hasan al-Bashri pernah bertemu dengan Sayyidina Ali dan itu adalah pendapat yang shahih. (Lihat hujjah-hujjah as-Suyuthi dalam membela pendapat bahwa Hasan al-Bashri pernah bertemu dengan Sayyidina Ali dalam al-Hawi lil Fatawi 2/96-98.dan Lawaqih al-Anwar al-Qudtsiyyah hal 12 dan 24.)
TAREKAT MU`TABAROH
Menurut keputusan Mu’tamar Thoriqoh Mu’tabaroh, bahwa Thoriqoh- Thoriqoh Mu’tabaroh hanya ada sekitar 43 ( empat puluh tiga ) Thoriqoh yaitu :
1. العمرية 2. النقشبندية 3. القادرية 4. الشاذلية
5. الرفاعية 6. الأحمدية 7. الداسوقية 8. الأكبرية
9. المولوية 10. الكبروية 11. السهروردية 12. الخلوتية
13. الجلوتية 14. البكداسية 15. الغزالية 16. الرومية
17. السعدية 18. الجشتية 19. الشعبانية 20. الكلشانية
21. الحمزاوية 22. البيرامية 23. العشاقية 24. البكرية
25. العيدروسية 26. العثمانية 27. العلوية 28. العباسية
29. الزينية 30. العيسوية 31. البحورية 32. الحدادية
33. الغيبية 34. الخضرية 35. الشطارية 36. البيومية
37. الملامية 38. الأويسية 39. الإدريسية 40. أكابرالأولياء
41. المبتولية 42. السنبلية 43. الخالدية والنقشبندية
44. أهل ملازمة القران والسنة ودلائل الخيرات وتعليم فتح القريب او كفاية العوام
dan lain sebagainya.
Secara garis besar Thoriqoh Mu’tabaroh adalah Thoriqoh yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Mempunyai sanad yang muttasil kepada Rosululloh SAW. ( Tanwirul Qulub )
2. Tidak bertentangan dengan Syara’.
3. Mursyidnya ( Gurunya ) sudah memenuhi kriteria, antara lain:
a. Menguasai Ilmu Fiqh dan Ilmu Aqidah.
b. Mengetahui seluk beluk Ilmu Tashawwuf.
c. Mempunyai Akhlaq yang sempurna lahir dan batin.
d. Mendapatkan izin atau ijazah dari Gurunya.
>>tulisan dibawah ini ane copas dr Artikel Akhi imam Nawawi
TENTANG THORIQOH NAQSYABANDIYAH
dari segi historis, Tarekat Naqsyabandi dapat ditelusuri kembali kepada Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq RA, yang menggantikan Rasulullah SAW dalam hal pengetahuannya dan dalam hal membimbing umat Muslim. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an, “Dialah orang kedua dari dua orang yang berada di dalam gua, dan ia berkata kepada temannya, janganlah bersedih hati, karena Allah SWT beserta kita” [QS. At-Taubah:40]. Tentang beliau, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Seandainya Aku akan memilih seorang teman yang kucintai, maka Aku akan memilih Abu Bakar RA sebagai temanku tercinta, namun beliau adalah saudara dan sahabatku.”
Yang membedakan Tarekat Naqsybandi dengan jalan Sufi yang lain adalah kenyataan bahwa ia memakai dasar-dasar serta prinsip-prinsip dari ajaran-ajaran dan contoh dari enam bintang cemerlang dalam khazanah Rasulullah SAW. Keenam sosok itu adalah: Abu Bakar ash-Shiddiq RA, Salman al-Farisi RA, Ja’far ash-Shadiq AS, Bayazid Tayfur al-Bistami QS, ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani QS, dan Muhammad Baha’uddin Uwaysi al-Bukhari QS, yang dikenal sebagai Syah Naqsyband QS—Imam dari tarekat ini.
Di balik kata “Naqsyaband” terdapat dua gagasan: naqsy yang berarti ‘mengukir’ dan mengandung pengertian mengukir Nama Allah SWT di dalam hati, dan band yang yang mengandung pengertian ‘ikatan’ dan mengindikasikan ikatan antara individu dengan Penciptanya. Ini berarti bahwa para pengikut Naqsybandi harus mempraktikan salat dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW dan harus selalu menjaga kehadiran dan cinta Allah SWT agar senantiasa hidup dalam hatinya melalui pengalaman pribadi dari ikatan antara dirinya dengan Tuhannya.
Di samping Abu Bakar ash-Shiddiq RA, siapakah gerangan bintang-bintang dalam khazanah Rasulullah SAW ini? Salah satunya adalah Salman al-Farisi RA. Beliau berasal dari Isfahan, Persia dan beliaulah yang menyarankan kaum Muslimin untuk menggali parit dalam peperangan Ahzab. Setelah Kaum Muslimin merebut al-Mada’in, ibu kota Persia, beliau diangkat menjadi Pangeran dan gubernur kota tersebut hingga akhir hayatnya.
Bintang lainnya adalah Ja’far ash-Shadiq AS. Seorang keturunan Rasulullah SAW dari pihak ayahnya, dan Abu Bakar RA dari pihak ibunya, beliau menolak semua kedudukan terhormat sebagai penghormatan kembali dan praktik serta pelajaran spiritual. Beliau disebut sebagai “Pewaris dari Maqam an-Nubuwwa dan pewaris Maqam ash-Shiddiqiya.”
Kemunculan tertua istilah Safa yang tercatat adalah mengacu kepada muridnya, Jabir bin Ayyan RA, pada pertengahan abad kedua Hijriah. Beliau adalah seorang mufassir al-Qur’an atau ahli penerjemah, seorang ahli hadis, dan merupakan salah seorang mujtahid yang handal di kota Madinah. Tafsirnya sebagian diabadikan dalam Haqa’iq at-Tafsir Sulami. Layts bin Sa’d RA, salah seorang penutur riwayat Sunnah Rasulullah SAW yang terpercaya, menyaksikan kekuatan mukjizat Ja’far AS di mana beliau mampu meminta apa saja, dan Allah SWT akan mengabulkannya seketika.
Bintang lainnya adalah Bayazid Tayfur al-Bistami QS yang kakeknya seorang Zoroastrian. Bayazid QS membuat suatu studi yang rinci tentang hukum-hukum Islam (syari’at) yang telah dibukukan dan melaksanakan suatu praktik latihan yang ketat tentang penyangkalan diri sendiri. Beliau dikenal rajin sepanjang usianya dalam hal mengerjakan kewajiban-kewajiban keagamaannya. Beliau mengharuskan murid-muridnya untuk bertawakal dan menyuruh mereka untuk menerima dengan ikhlas konsep murni tauhid, ilmu tentang Keesaan Allah SWT. Konsep ini, menurut beliau, meletakkan lima kewajiban pada keikhlasan untuk:
Menjalankan kewajiban sesuai al-Qur’an dan Sunnah.
Selalu berkata benar.
Menjaga hati dari kebencian.
Menghindari makanan haram.
Menjauhi bid’ah (dlolalah).
Menurut Bayazid QS, tujuan akhir dari para pengikut Sufi adalah untuk mengenal Allah SWT di dunia ini, untuk meraih Hadirat-Nya, dan bertemu dengan-Nya di Hari Kemudian. Terhadap pengaruh itu, beliau menambahkan, “Ada hamba-hamba Allah SWT yang khusus, yang bila Allah SWT menghalangi mereka dari Pandangannya di Surga, maka mereka akan memohon kepada-Nya untuk mengeluarkan mereka dari Surga sebagaimana penduduk Neraka akan mengiba memohon dikeluarkan dari Neraka.”
Satu bintang lagi dalam khazanah Rasulullah SAW adalah ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani QS, yang lahir di kampung Ghujdawani, di dekat Bukhara, Uzbekistan sekarang. Beliau dibesarkan dan dimakamkan di sana. Beliau mempelajari al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman baik ilmu lahir maupun batin hingga beliau mencapai suatu maqam kesucian yang amat tinggi. Kemudian beliau pergi ke Damaskus di mana Beliau mendirikan sekolah yang melahirkan banyak lulusan yang lalu menjadi ahli ilmu fiqih dan hadis di samping juga ahli dalam hal spiritualitas di masanya, baik di wilayah Asia Tengah maupun di Timur Tengah.
‘Abdul Khaliq QS melanjutkan pekerjaan para pendahulunya dengan membentuk zikir yang diwariskan dari Rasulullah SAW berdasarkan Sunnah. Dalam tulisan-tulisannya, beliau juga merumuskan adab yang diharapkan dapat diikuti oleh murid-murid Naqsybandiyyah.
>>>Tulisn dibawah ini ane copas dr Artikel Syekh Janggut
Amin Al Kurdi menjelaskan ada 11 (sebelas) dasar ajaran Tarikat Naqsyabandiyah, yaitu :
1). “Huwasy Dardam” , yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju kepada- Nya.
2). “Nazhar Barqadlam” yaitu setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan belum mampu memelihara hatinya.
3). “Safar Darwathan” yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.
4). “Khalwat Daranjaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah ada dua bentuk khalwat :
a. Berkhalwat lahir, yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.
b. Khalwat batin, yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.
5). “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
6). “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mullia
“Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut”. Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap dari pemandangannya.
7).“Nakah Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat ini.
Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain daripada Allah SWT.”
Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh) tahun.”
8).“Bad Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata- kata. Keadaan “Bad Dasyat” ini baru dapat dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna. Adapun tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,
9).“Wuquf Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atau salik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau tiga jam. Jika ternyata dia berada dalam keadaan ingat kepada Allah SWT pada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, ia harus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat- Nya.
10).“Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat, sehingga setiap zikir nafi isbat tidak diakhiri dengan bilangan genap. Bilangan ganjil itu, dapat saja 3 (tiga) atau 5 (lima) sampai dengan 21 (duapuluh satu), dan seterusnya.
11).“Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yang selalu hadir bersama Allah SWT”. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan panca indera untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki, untuk menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam hati yang ditujukan kepada selain Allah SWT, dan terlepas dari pengertian zikir.