Biografi singkat pendiri madzab Syafi,I
Madzhab Syafi’I didirikan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Mutholib bin Abdi Manaf atau yang lebih terkenal dengan sebutan Imam Syafi’I (dinisbatkan pada kakek beliau yang bernama Syafi’ bin Saib). Beliau di lahirkan di daerah Ghaza Palestina pada tahun 150 H. dan meninggal di Mesir pada tahun 204 H. dalam usia 54 tahun
Pengembaraan ilmu
Petualangan imam Syafi’I dalam menuntut ilmu bermula ketika sang ibu mengajak beliau berhijrah dari tanah kelahirannya di Ghaza menuju tanah suci Mekah. Pada waktu itu umur beliau masih balita. Mula-mula beliau belajar Al Qur’an kepada ulama kota Mekah, dan belum menginjak umur 7 tahun beliau sudah mampu menghafalnya di luar kepala. Kemudian diteruskan dengan belajar kepada ulama-ulama besar Mekah dengan keberagaman ilmu yang mereka kuasai. Diantaranya adalah Ismail bin Qostantin, Sufyan bin Uyainah (seorang ahli hadits), Muslim bin Kholid Azzanjy (pakar fiqh), Sa’id bin Salim Al Qoddah, Dawud bin Abdurrahman Al ‘Atthar, dan Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Ubay.
Setelah merasa cukup belajar pada ulama-ulama Mekah, beliau meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Madinah. Pada waktu itu, ulama yang paling menonjol di Madinah adalah Imam Malik bin Anas, muallif kitab Muwatho’. Beliau ingin sekali belajar langsung kepada Imam Malik, akan tetapi melihat Syai’I yang masih berumur 13 tahun, imam Malik menganggap Syafi’i kecil belum layak untuk menerima pengajian langsung dari beliau, dan diperintahkannya untuk mengaji kepada murid-murid seniornya terlebih dahulu. Setelah Syafi’I kecil mengaji kepada murid-murid seniornya, baru Syafi’I disuruh menghadap dan membacakan apa yang baru saja ia pelajari. Imam Malik terkagum-kagum akan bacaan Syafi’I yang bagus dan teliti, dan langsung memberikan perhatian husus kepada Syafi’I kecil. Beliau belajar kepada imam Malik selama 15 tahun, yaitu dari tahun 164 H. sampai tahun 179 H.
Selain belajar intensif kepada imam Malik, beliau juga belajar kepada Ibrahim bin Sa’ad Al Anshory, Abdul Aziz bin Muhammad Ad Darowardy, Ibrahim bin Abi Yahya Al Aslamy, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fadik dan Abdullah bin Nafi’ As Shoigh
Kemudian menuju Baghdad pada tahun 184 H. Disana belaiu secara intens belajar kepada imam Muhammad bin Hasan, seorang murid imam Abi Hanifah. Dari beliau , imam Syafi’I belajar tentang madzhad Hanafi secara mendalam dan juga mempelajari seluruh karya-karyanya. Disamping itu, imam Syafi’I juga belajar kepada imam Waki’ bin Jarroh, Abdul Wahab bin Abdul majid Atsaqofy Abu Usamah Hammad bin Usamah Al Kufy, Ismail bin ‘Ulayyah yang kesemuanya adalah para penghafal hadits nabi. Setelah merasa cukup, imam Syafi’I kembali ke Mekah untuk menggelar pengajian perdananya.
Beliau berumur 45 tahun ketika meninggalkan Mekah menuju ke Baghdad dalam rangka menyebar luaskan buah pemikirannya. Di Baghdad inilah, buah pemikiran Syafi’I dapat diterima secara luas dan mampu memberikan corak baru dalam kehidupan dan dunia intelektual penduduk Baghdad. Dari sinilah cikal bakal madzhab Syafi’I tersemai dan akan tumbuh menjadi madzhab yang dipeluk oleh mayoritas umat islam di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia tenggara pada umumnya dan hususnya di Indonesia.
Setelah beberapa lama tinggal di Baghdad, beliau kembali ke Mekah, dan setelah itu kembali lagi ke Baghdad untuk ketiga kalinya pada tahun 198 H.. Akan tetapi beliau hanya tinggal beberapa bulan di Baghdad. Kemudian meneruskan perjalanannya menuju Mesir sampai Alloh memanggilnya pada tahun 204 H.
Dasar-dasar pengambilan hukum dalam madzhab Syafi’i
Dalam pengambilan hukum, madzhab Syafi’I senantiasa berpegang kepada Al Qur’an dan Hadits serta mengedepankan dalil (nash). Hal inilah yang menjadi ciri has madzhab Syafi’i. Beliau selalu menyandarkan segala hal kepada nash, disaat imam lain secara terang-terangan mengikuti kebiasaan penduduk di salah satu daerah atau taqlid kepada ulama-ulama generasi sebelumnya, seperti yang di lakukan oleh imam Malik dan imam Abu Hanifah, beliau tetap bersikukuh akan dalil nash. Dan apabila dalam Al Qur’an dan hadits tidak ditemukan sebuah dalil yang dapat digunakan sebagai sandaran hukum, beliau mengacu kepada pendapat para sahabat, setelah itu baru mengacu kepada qiyas, istishab dan terahir adalah istiqro’. Sedangkan untuk sumber-sumber yang lain, seperti maslahat mursalah, istihsan, adat kebiasaan penduduk Madinah dan ajaran/syariat nabi terdahulu, imam Syafi’I tidak mempergunakannya.
Mata rantai periwayatan madzhab Syafi’i
Dalam periwayatan madzhab Syafi’I, yaitu mata rantai penyampaian ajaran Syafi’i hingga sampai ke tangan kaum muslimin sekarang ini, kita mengenal adanya dua corak/jalur periwayatan, yaitu jalur Khurosan dan jalur Irak. Hal ini berkaitan dengan perjalanan beliau dalam memperkenalkan pemikiran-pemikirannya dalam rentang waktu antara tahun 179 H. sampai tahun 204 H.untuk lebih jelasnya, mari kita lihat peta pertumbuhan dan perkembangan madzhab Syafi’I berikut ini:
– Fase persiapan membangun madzhab, yaitu semenjak meninggalnya imam Malik sampai perjalanan beliau ke Baghdad untuk kali kedua pada tahun 195 H.
– Fase madzhab qodim, yaitu dimulai semenjak kedatangan beliau ke Baghdad yang kedua (195 H.) sampai beliau pindah ke Mesir pada tahun 199 H.
– Fase penyempurnaan dan pemantapan madzhab yang baru, yaitu semenjak tinggal di Mesir sampai wafat pada tahun 204 H.
– Fase penyeleksian pendapat dan buah pemikiran imam Syafi’i, hal ini dimulai semenjak imam Syafi’I wafat sampai pada pertengahan abad ke 5 hijriyah.
– Fase stabil, yaitu setelah selesai fase penyeleksian,. Ditandai dengan bermunculannya kitab-kitab mukhtasor dalam madzhab yang berisikan pendapat-pendapat yang rojih dalam madzhab Syafi’I dan penjelasannya dengan metode sistematik.
Dari beberapa fase tadi, ada dua fase yang menjadikan pembagian jalur periwayatan madzhab Syafi’I menjadi dua, yaitu fase kedua dan ke tiga. Hal ini terjadi dikarenakan murid-murid imam Syafi’I setelah belajar dari beliau, menyebar luaskan ajarannya di beberapa daerah, dan yang paling menonjol dalam hal pencetakan kader-kader penerus madzhab Syafi’I adalah di Khurosan dan di Irak.
Sebenarnya, kedua jalur periwayatan tadi sama-sama mengikuti dasar-dasar alur pemikiran Syafi’I, hanya saja dalam beberapa hal, misalnya dalam beristimbat, dasar-dasar yang dijadikan dalil dalam menentukan sebuah hukum dan dalam pemikiran masalah-masalah fiqh keduanya mempunyai sedikit perbedaan. Dan inilah yang menjadikan jalur periwayatan madzhab Syafi’I ada dua corak, corak Khurosan Dan corak Irak.
Untuk mengenal siapa-siapa yang menjadi penopang kedua aliran dalam madzhab Syafi’I, kita akan mengutip perkataan imam Nawawi. Beliau berkata: “Saya mempelajari Fiqh madzhab Syafi’I dari beberapa ulama kenamaan, yaitu:
Imam Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Utsman Al Maghriby, kemudian kepada Syaikh Abu Abdirrohman bin Nuh bin Muhamad bin Ibrahim Al Maqdisy,
Abu Hafsh Umar bin As’ad bin Abu Tholib Ar Ruba’I, kesemuanya berguru kepada imam Abu Amr Ibnu Sholah dan beliau berguru kepada ayahandanya, dan dari ayahnya itulah dua corak madzhab Syafi’I dipelajarinya.
Adapun untuk jalur periwayatan ulama-ulama Irak, beliau (bapak dari Ibnu Sholah) mempelajarinya dari Ibnu Sa’id Abdullah bin Muhammad bin Hibbatulloh bin Ali bin Abu ‘Asrun Al Musawy, beliau belajar kepada Abu Ali AL Fariqy, Abu Ali belajar kepada Abu Ishaq Al Syaerozy, Abu Ishaq belajar kepada Qodhy Abu Thoyyib Al Thobary (Thohir bin Abdullah), Al Thobary belajar kepada Abu Hasan Al Masarjisy (Muhammad bin Ali bin Sahal bin Muslih), Abu Hasan belajar kepada Abu Ishak Al Marwazy (Ibrahim bin Ahmad), Al Marwazy belajar kepada Ibnu Suraij (Abu Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij), beliau belajar kepada Abu Qosim Utsman bin Basyir Al Anmathy, Abu Qosim belajar kepada imam Muzani (Abu Ibrahim Ismail bin Yahya) dan imam Muzani belajar langsung kepada imam Syafi’i.
Imam Syafi’I belajar ilmu Fiqh kepada imam Malik bin Anas, imam Sufyan bin Uyainah dan imam Abu Kholid Muslim Al Zanjy.
Dan dari ketiga ulama inilah mata rantai keilmuan imam Syafi’I sampai kepada Rosululloh SAW. Lebih jelasnya, imam Malik berguru kepada imam Rabi’ah yang mendapatkan pengetahuannya dari sahabat Anas dan imam Nafi’, murid dari Ibnu Umar. Imam Sufyan bin Uyainah belajar kepada Amr bin Dinar yang menjadi murid dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Sedangkan imam Abu Khold Al Zanjy belajar kepada Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, beliau belajar kepada ‘Atho bin Abi Robah dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas belajar kepada para sahabat- sahabat besar, yaitu: Umar bin Khotob, Ali bin Abu Tholib, dan Zaid bin Tsabit.
Untuk jalur Khurosan, beliau imam Nawawy mendapatkannya dari ulama-ulama yang telah disebutkan di atas, dari mereka bersambung kepada imam Ibnu Sholah, dari Bapaknya, dari Abu Qosim bin Bazary Al Jazary, dari Elkaya Al Harosy (Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Ali), dari imam Haramain (Abul Ma’aly Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwainy), dari bapaknya (Abu Muhammad Al Juwainy), dari imam Qofal (Al Marwazy Al Shoghir), dari Abu Zaid Al Marwazy (Muhammad bin Ahmad bin Abdullah), dari Abu Ishaq Al Marwazy, dari Ibnu Suraij dan seterusnya sampai kepada Rosululloh SAW.
Dari jalur periwayatan tadi, kita temukan dua ulama yang yang mempertemukan kedua arus periwayatan madzhab imam Syafi’I, yaitu imam Abu Ishaq Al Marwazy dan imam Ibnu Sholah, hanya saja imam Marwazy menelorkan murid yang meneruskan kedua aliran tadi sedangkan imam Ibnu sholah menggabungkan keduanya hingga tidak ada lagi corak Khurosan dan corak Irak. Yang ada hanya madzhab Syafi’I tanpa embel-embel Khurosan Atau Irak.
Thobaqot ulama Khurosan
Sebelum membahas siapa saja yang berdri dalam barisan ulama Khurosan, alangkah lebih baik kita mengenal daerah Khurosan lebih dahulu. Khurosan adalah satu daerah di tanah Persia, lebih tepatnya sebelah tenggara kota Teheran, ibu kota Iran. Khurosan zaman dahulu dibagi menjadi 4 kota, yaitu: Naisabur, Haroh, Balkh, dan Marwa. Dari keempat kota tadi yang terbesar adalah Marwa, makanya kadang kala ulama yang berasal dari daerah Khurosan di nisbatkan kepada kota Marwa menjadi Al Murowazah (Ulama-ulama yang berasal dari daerah Marwa). Marwa sendiri di bagi menjadi dua, ada Marwa Syahijan ada Marwa Roudz. Ketika laadz Marwa disebutkan tanpa ada qoyidnya, maka yang dimaksud adalah Marwa Syahijan, dan orang-orangnya memakai gelar Al Marwazy di belakangnya. Sedangkan untuk Marwa Roudz harus disebutkan secara keseluruhan, dan orang-orangnya biasanya menyandang gelar Al Marwarodzy yang disingkat menjadi Al Marwadzy.
Ulama-ulama Syafi’iyah generasi pertama yang berada di daerah Khurosan adalah murid-murid langsung dari imam Syafi’I, diantaranya adalah Ishaq bin Rohuyah Al Handzoly, Hamid bin Yahya bin Hani’ Al Balkhy, beliau belajar kepada Imam Syafi’I dan imam Sufyan bin Uyainah wafat tahun 202 H, Abu Sa’id Al Isfahany (Al Hasan bin Muhammad bin Yazid), belaiu adalh orang pertama yang membawa ajaran imam Syafi’I ke Isfahan dan yang terahir adalah Abu Hasan An Naisabury (Ali bin Salamah bin Syaqiq) Wft. Tahun 252 H.
Generasi kedua adalah para murid dari ulama generasi pertama. Yang paling menonjol dari generasi ini adalah Abu Bakar bin Ishaq bin Khuzaimah, dan Abu Abdillah Muhammad bin Nashr Al Marwazy, beliau lahir di Baghdad pada tahun 202 H, menghabiskan masa kecilnya di Naisabur, kemudian belajar di Mesir kepada murid-murid Imam Syafi’I dan menghabiskan masa tuaanya di Samarkand sampai wafat pada tahun 294 H. kemudian Abu Muhammad Al Marwazy (‘Abdan bin Muhammad bin Isa) beliau adalah murid dari imam Muzani. Selanjutnya adalah Abu Ashim Fudhail bin Muhamad Al Fudhaily, seorang pakar fikih di daerah Haroh sekaligus menjadi mufti disana. Dan untuk seterusnya adalah Abu Hasan As Shobuny, Abu Sa’id Ad Darimy, Abu Umar Al Khofaf (Penguasa Naisabur), dan terahir adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim Al Ubady Al Busyinjy.
Generasi ketiga di komandani oleh Abu Ali Al Tsaqofy, Abu Bakar Ahmad bin Ishaq bin Ayyub Al Shubaghy, Abu Bakar Al Mahmudy Al Marwazy dan Abu fadl Ya’kub bin Ishaq bin Mahmud Al Harowy.
Generasi keempat dipimpin oleh Abu Ishaq Al Marwazy, murid dari Ibnu Suraij, dan telah disinggung sebelumnya bahwa beliaulah orang yang mempertemukan dua arus interpretasi madzhab Syafi’I. berdiri dibelakangnya Abu Walid Hassan bin Muhamad Al Qurosyi An Naisabury, Abu Hasan An Nasawy, Abu Bakar Al Baihaqy, dan Abu Mansur Abdullah bin Mahron.
Ulama-ulama yang menempati generasi kelima terbilang sedikit, diantaranya adalah Abu Zaid Al Marwazy, Abu Sahal As Sho’luky, Abu Abbas Al Harowy dan Abu Hafsh Al Harowy.
Ulama-ulama yang menempati generasi ke enam adalah: Abu Bakar Al Qofal Al Marwazy, Abu Thoyib As Sho’luky, Abu Ya’kub Al Abyurdy dan Abu Ishaq Al Isfiroyiny.
Generasi ke tujuh adalah: Qodhy Husain, Abu Ali As Sinjy dan Abu bakar As Shoidalany.
Generasi ke delapan dari ulama khurosan di wakili oleh Imam Haromain, seorang ulama besar pengarang kitab Nihayatul Mathlab Fi Diroyatil Madzhab, kitab inilah yang dikemudian hari menjadi sumber awal dari silsilah kitab-kitab ulama Syafi’iyah.
Dan terahir adalah generasi ke Sembilan, karena setelah generasi ini kedua jalur melebur menjad satu dengan prakarsa Imam Ibnu Sholah. Termasuk dalam ulama generasi ke Sembilan ini adalah El Kaya Al Harosy, Abu Sa’ad Al Mutawally, Al Baghowy, Al Ruyany, dan Al Ghozaly.
Kitab-kitab buah karya ulama Khurosan
Kitab utama ulama Syafi’iyah yang terkenal dengan aliran Khurosan adalah kitab-kitab buah karya Ali As Sinjy yang menjabarkan pendapat-pendapat imam Muzani, yang dinamakan dengan Al Madzhab Al Kabir oleh imam Haromain, kemudian di belakangnya yaitu Syarh Talkhish karya Ibnu Qosh, dan Syarh Furu’ karya Ibnu Haddad yang banyak di jabarkan (Syarah) oleh ulama-ulama generasi sesudahnya.
Selain dari tiga kitab yang sudah disebutkan tadi ada beberapa kitab yang lain diantaranya adalah: kitab komentar karya Qodhi Husein, kitab Silsilah, dan Al Jam’u wal Farqu karya Imam Juweny, An Nihayah karya Imam Haromain, At Tahdzib karya Al Baghowy, Al Ibanah dan Al ‘Umdah karya Al Faurony, Titimmatul Ibanah karya Al Mutawally, Al Basith, Al Wasith, Al Wajiz dan Al Khulashoh karya Al Ghozaly, Syarh Al Wasith karya Ibnu Rif’ah, Isykalatul Wasith wal Wajiz karya Al ‘Ujaily, Hasyiyah Wasith karya Ibnu Sukary, Isykalatul Wasith karya ibnu Sholah, Syarh Kabir, Syarah Shoghir dan At Tahdzib karya Ar Rofi’I, Ar Roudhoh karya An Nawawy, Mukhtasorul Mukhtashor karya Imam Juweny, Al Mu’tabar, Al Muharror, Al Minhaj, dan Tadzkirotul ‘Alim karya Abu Ali bin Suraij dan Al Lubab karya As Syisyi.
Thobaqot ulama Irak
Generasi pertama aliran Irak adalah murid-murid dari Imam Syafi’I yang mengembangkan madzhab Syafi’I di Irak, mereka adalah Abu Tsaur Ibrahim bin Kholid Al Kalaby Al Baghday, imam Ibnu Hambal, Abu Ja’far Al Kholal Ahmad bin Kholid Al Baghdady, Abu Ja’far An Nahlasyi, Abu Abdillah As Shoirofy, Abu Abdirrahaman Ahmad bin Yahya bin Abdul Aziz Al Baghdady, Al Harits bin Suraij, Al Hasan bin Abdul Aziz Al Mashry dan terahir Al Karobisi Al Husein bin Ali Al Baghdady.
Ulama generasi ke dua diantaranya adalah Abu Qosim Al Anmathy, Abu Bakar An Naisabury, Abu Ja’far Muhammad bin Ahmadbin Nasr At Tirmidzy, Qodhi Abu Ubaid Ali bin Husein bin Harbaweh Al Baghdady, abu Ishaq Al Harby dan Abu Hasan Al Mundziry.
Generasi ketiga diwakili olaeh imam Ibnu Suraij, nama lengkapnya adalah Abu Abas Ahmad bin Umar bin Suraij, seorang Qodhi kota Baghdad dan guru sebagian besar dari ulama-ulama Syafi’iyah setelahnya. Dalam generasi ini juga tercatat nama Abu Said Al Istokhry, Abu Ali bin Khoiron, dan Abu hafsh yang terkenal dengan sebutan Ibnu Wakil.
Generasi ke empat dipimpin oleh Abu Ishaq Al Marwazy, di belakangnya ada imam Abu Ali bin Abu Huraiarah, Abu Thoyib Muhammad bin Fadhol bin Maslamah Al Baghdady, Abu Bakar As Shoirofy, Abu Abbas bin Al Qodhi, Abu Ja’far Al Istirabadzy, Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Sahal Al Farisi dan terahir adalah Abu Husein Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Al Qothon.
Dalam generasi ke lima hanya tercatat tiga ulama besar, yaitu: imam Ad Dariky, Abu Ali At Thobary dan Abu Hasan bin Marzaban.
Untuk generasi ke enam juga di wakili oleh tiga ulama besar, yaitu: Abu Hamid Al Isfiroyini (Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Al Baghdady, wft. Tahun 406 H.), Abu Hasan Al Masarjisi dan Abu Fadhol An Nasawy.
Ulama generasi ke tujuh di komandani oleh Abu Hasan Al Mawardy (muallif kitab Al Hawy), Qodhi Abu Thoyib, Salim bin Ayyub Ar Rozy, Abu Hasan Al Mahamily, imam Syasyi, Al Bandanijy dan Qodhi Abu Sa’id.
Dan ulama generasi terahir di tempati oleh Qodhi abu Saib, Abu Hasan Al Mahamily Al Kabir, Abu Sahal Ahmad bin Ziyad, Faqih Al Baghdady, Abu Bakar Muhammad bin Umar Az Zabady Al Baghdady, Abu Muhammad Al Jurjany dan Abu Thoyib As Shoid.
Kitab-kitab hasil karya ulama Syafi’iyah sekte Irak
Ulama-ulama penyokong madzhab Syafi’I yang membekingi aliran Irak termasuk ulama yang produktif. Hal ini tergambar jelas dari setiap tingkatan generasi yang menelorkan berpuluh-puluh kitab. Dan dari satu kitab tersebut ada berpuluh-puluh jilid, semisal kitab yang membahas tentang komentar Syaikh Abu Hamid yang mencapai 50 jilid. Dari kitab-kitab tadi, kitab yang menjadi rujukan utama adalah kitab komentar Syeih Abu Hamid Al Isfiroyiny. Sedangkan kitab-kitab yang lain menempati posisi di belakangnya, seperti kitab Ad Dzahiroh buah karya Al Bandanijy, Ad Dariq karangan syeikh Abu Hamid, Al Majmu’, Al Ausath, Al Muqni’, Al Lubab, At Tajrid karya Al Muhamily, kitab komentar(ta’liq) karya Thoyib At Thobary, Al Hawy, dan Al Iqna’ karya Al Mawardy, Al Lathif karya Abu Husain bin Khoiron, At Taqrib, Al Mujarrod dan Al Kifayah karya Sulaim, Al Kifayah karya Al ‘Abdary, At Tahdzib, Al Kafi dan Syarah Al Isyaroh karya Nasr Al Maqdisy, Al Kifayah karya Al Muhajiry, At Talqin karya Ibnu Suroqoh, Tadznibul Aqsam karya Al Mar’asyi, Al Kafi karya Az Zabidy, dan masih banyak lagi kitab-kitab lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.
Setelah mengetahui diantara pengikut madzhab Syafi’I sekte Irak dan sekte Khurosan, mungkin akan timbul pertanyaan: siapakah diantara keduanya yang paling unggul? Untuk menjawab pertanyaan tadi memang agak sulit, karena pada masing-masing sekte punya kelebihan dan kekurangan. Walhasil, tidak ada yang lebih unggul dalam segala aspek, untuk aspek penukilan nash-nash imam Syafi’I, kaidah-kaidah madzhabnya dan berbagai macam pendapat para ulama-ulama syafi’iyah generasi awal, sekte Irak di bilang unggul. Sedangkan sekte Khurosan lebih unggul dalam hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan hukum dan kelengkapannya.
Ulama-ulama penyokong madzhab Syafi’i
Abu Umayyah At Thursusi: Muhammad bin Ibrahim, wft. 273 H
Abu Ishaq, ketika tidak ada qoyidnya maka yang dimaksud adalah Al Marwazy.
Abu Ishaq Al Isfiroyini: Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim bin Mahron, wft. 418 H.
Abu Ishaq Al Syaerozy: Ibrahim bin Ali bin Yusuf bin Abdullah Al Syaerozy, wft. 472 H.
Abu Ishaq Al Marwazy: Ibrahim bin Ahmad Al Marwazy, padanya bertemu dua sekte dalam madzhab Syafi’I, w. 340 H.
Abu Hasan Al Mawardy: Ali bin Muhammad bin Habib, muallif kitab Hawy, w.450H.
Abu Hasan Al Masarjisi: Muhammad bin Ali bin Sahal bin Muflih, w. 384 H.
Abu Husain bin Qothon: Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Qothon Al Baghdady, w. 359 H.
Abu Rabi’ Al Ilaqy: Thohir bin Muhammad bin Abdillah, w. 465 H.
Abu Thoyib As Sho’luky: Sahal bin Muhammad bin Sulaiman Al ‘Ajaly, w. 387 H.
Abu Thoyib Al Thobary: Qodhi Thohir bin Abdullah bin Thohir, w. 450 H.
Abu Abbas bin Suraij: Ahmad bin Umar bin Suraij Al Baghdady, w. 306 H.
Abu Abbas bin Qosh: Ahmad bin Abi Ahmad Al Qosh Al Thobary, w. 335 H.
Abu Qosim Ad Dariky: Abdul Aziz bin Abdullah, w. 375 H.
Abu Walid An Naisabury: Hassan bin Muhammad bin Ahmad bin Harun, w. 349H.
Abu Bakar Al Ismaily: Ahmad bin Ibrahim bin Ismail Al Jurjany, w. 371 H.
Abu Bakar As Shobughy: Ahmad bin Ishaq, w.342 H.
Abu Bakar AS Shoirofy: Muhammad bin Abdillah, w. 330 H.
Abu Bakar An Naisabury: Abdullah bin Muhammad bin Ziyad, w. 324 H.
Abu Bakar bin Haddad: Muhammad bin Ahmad A Qodhy Al Mashry, w. 345 H.
Abu Bakar bin Mundzir: Muhannad bin Ibrahim bin Mundzir, w. 309 H.
Abu Bakar bin Lal: Ahmad bin Ali bin Ahmad, w. 378 H.
Abu Tsaur: Ibrahim bin Kholid Al Kalaby, w. 240 H.
Abu Hamid Al Isfroyini: Ahmad bn Muhammad bin Ahmad, w. 406 H.
Abu Hamid Al Marwarodzy: Ahmad bin Bisyr bin Amir Al Qodhi, w. 362 H.
Abu Zaid Al Marwazy: Muhammad bin Ahmad bin Abdullah, w. 371 H.
Abu Sa’ad Al Mutawally: Abdurrahman bin Ma’mun, w. 478 H.
Abu Sa’id Al Ishthokhry: Al Hasan bin Ahmad bin yazid bin Isa, w. 328 H.
Abu Sahal As Sho’luky: Muhammad bin Sulaiman bin Muhammad Al ‘Ajaly, w. 369H.
Abu Thohir Az Zabady: Muhammad bin Muhammad bin Mahmisy bin Ali. w.400 H.
Abu Abdillah Az Zubairy: Zubair bin Ahmad bin Sulaiman, w. sebelum 320 H.
Abu Ali Atsaqofy: Muhammad bin Abdul Wahab An Naisabury, w. 328 H.
Abu Ali As Sinjy: Husain bin Syu’aib
Abu Ali At Thobary: Hasan bin Qosum, w. 350 H.
Abu Ali bin Abu Hurairah: Qodhi Hasan bin Husain Al Baghdady, w. 345 H.
Al Abyurdy: Abu Mansur Ali Bin Husain, w. 487 H.
Al Adzro’i: Syihabudin Ahmad bin Abdullah Al Adzro’I, w. 708 H.
Al Anmathy: Utsman bin Sa’id bin Basyar, w. 288 H.
Al Audani: Abu Bakar Muhammad bin Abdullah, w. 385 H.
Al Isnawy: Jamaludin Abdurrahim bin Hasan, w. 772 H.
Imam Haramain: Dhiyauddin Abu Ma’aly Abdul Malik bin Syaikh Abu Muhammad Al Juweny, w. 478 H.
Ibnu Abi ‘Ishrun: Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah Al Maushuly, w. 585 H.
Ibnu Abu Hurairah: Al Qodhi Hasan bin Husain Al Baghdady, w. 345 H.
Ibnu Rif’ah: Abu Yahya Najmudin Ahmad bin Muhammad bin Ali Al Anshory, w. 735 H.
Ibnu Subky: Jamaludin, Tajudin, Bahaudin.
Ibnu Shobbagh: Abu Nashor Abdu Sayid bin Muhammad bin Abdul Wahid, w. 477H
Ibnu Sholah: Taqiyudin Abu Amr Utsman bin Abdurrahman Al Kurdy, w. 643 H.
Ibnu Mundzir: Muhamad bin Ibrahim bin Mundzir, w. 309 H.
Ibnu Binti Syafi’i: Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al Mathlaby As Syafi’I
Ibnu Burhan: Abul Fath Ahmad bin Ali bin Burhan, w. 518 H.
Ibnu Huzaimah: Muhammad bin Ishaq, w. 311 H.
Ibnu Khoiron: Ali bin Husain bin Sholih bin Khoiron Al Baghdady, w. 310 H.
Ibnu Suraij: Abu Abbas bin Suraij
Ibnu Kaji: Qodhi Yusuf bin Ahmad Ad Dainury, w. 405 H.
Ibnu Marziban: Abu Hasan Ali bin Ahmad Al Baghdady, w. 366 H.
Al Istirobadzy: Ahmad bin Muhammad Abu Ja’far
Al Baghowy: Muhyi Sunnah Husain bin Mas’ud, w. 510 H.
Al Bandanijy: Qodhi Abu Ali Hasan bin Abdullah , w. 425 H.
Bahaudin bin Subky: Abu Hamid Ahmad bin Ali, w. 773 H.
Al Busyinjy: Abu Abdilah Muhammad bin Ibrahim Al Busyinjy, w. 290 H. dan Abu Sa’id Ismail bin Abu Qosim Abdul Wahid bin Ismail, w. 530 H.
Al Buwaithy: Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al Qurasyi, w. 231 H.
Al Baihaqy: Abu Bakar Ahmad bin Husain, w. 458 H.
Tajudin Ibnu Subky: Syaikul Islam Abdul Wahab bin Ali, w. 771 H.
Al Jurjany: AbuAhmad Muhammad bin Ahmad, w. 373 H. Abu Abas Al Jurjany Ahmad bin Muhammad Al Qodhy, w. 482 H.
Jamludin Ibnu Subky: Husain bin Ali, w. 755 H.
Al Juwainy: Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf, w. 438 H.
Al Halimy: Abu Abdillah Hasan bin Husain, w. 406 H.
Al Humaidy: Abdullah bin Zubair, w. 219 H.
Al Hudhory: Muhammad bin Ahmad Al Marwazy
Al Khotib Al Baghdady: Abu Bakar Ahmad bin Khotib Al Baghdady, w. 463 H.
Ad Darimy: Abu Farah Muhammad bin Abdul Wahid Al Baghdady, w. 449 H.
Ar Rozy: Fahrudin Umar bin Husain, 606 H.
Ar Rofi’i: Abu Qosim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdul Karim Al Qozwiny, w. 623 H.
Ar Robi’ Al Jizy: Ar Robi’ bin Sulaiman Al Murody, w. 256 H.
Ar Robi’ Al Murody: Ar Robi’ bin Sulaiman Al Murody, w. 270 H.
Ar Ruyani: Abdul Wahid bin Ismail Abu Mahasin Fakhrul Isla Ar Ruyani, w. 502 H. dan keponakannya Abu Makarim Ar Ruyani Abdullah bin Ali, serta sepupunya yaitu Qodhi Syuraih bin Abdul Karim Ar Ruyani, w. 505 H.
Az Zarkasyi: Badrudin Muhammad bin Bahadir, w. 794 H.
Az Za’farony: Abu Ali Hasan bin Muhammad bin Shobah, w. 260 H.
As Subky: Syaikhul Islam TaqiyudinAli bin Abdul Kafi, w. 756 H. serta anak-anaknya yaitu, Jamaludin As Subky, Tajudin As Subky, dan Bahaudin As Subky.
As Sirjisi: Abu Hasan Muhammad bin Ali, w. 374 H.
Salim Ar Rozy: Salim bin Ayyub Abu Ftah Ar Rozy, w. 547 H.
As Sam’ani: Abu Mudzofar Mansur bin Muhammad At Tamimy, w. 489 H.
As Syasyi: Fahrul IslamMuhammad bin Ahmad bin Husain As Syasyi, w. 507 H.
Syarofudin Ibnul Muqri: Ismail bin Abu Bakar Al Muqry, w. 837 H.
Syaikh Abu Hamid: Ahmad bin Muhammad bin Ahmad, Abu Hamid Al Isfiroyini, w. 406 H.
As Shoidalany: Abu Bakr Muhammad bin Dawud Al Marwazy, w. 427 H.
Al ‘Ubady: Abu ‘Ashim Nuhammad bin Ahmad bin Muhammad Al Harowy, w. 458 H. dan anaknya Abu Hasan Al ‘Ubady Ahmad bin Abu ‘Ashim, w. 495 H.
‘Izzudin bin Abdul Aziz bin Abdussalam Ad Dimasyqy As Sulamy, w. 660 H.
Al Ghozaly: Muhammad bin Muhammad, w. 505 H.
Al Fariqy: Abu Ali Hasan bin Ibrahim Al Fariqy, w. 528 H.
Al Faorony: Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad, w. 461 H.
Al Qhodhy, jikalau di katakana oleh genersai akhir dari sekte Khurosan, mak ayng dimaksud adalah Qodhi Husain. Apabila di katakan oleh generasi pertengan dalam sekte Irak maka yang dimaksud adalah Qodhi Abu Hamid Al Marwa rodzy. Dan apabila ditembungkan dalam kitab ushul maksudnya adalah Qodhi Abu Bakar Al Baqillany. Dan Qodhi Al Jubbai bila yang mengucapkan orang mu’tazilah.
Qodhi Abu Hamid: Ahmad bin Bisyr bin Amir Al Marwarodzy, w. 362 H.
Qodhi Husain: Husain bin Muhammad Abu Ali Al Marwazy, w. 462 H.
Qodhi Al Majaly: Bahaudin Abu Ali Al Majally bin Naja Al Makhzumy Al Asyuthy Al Mashry, w. 549 H.
Al Qofal As Syasyi, Al Qofal Al Kabir: Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ismail, w. 336 H.
Al Qofal Al Marwazy, Al Qofal As Shoghir: Abdullah bin Ahmad Al Qofal Al Marwazy, w. 417 H.
Al Karobisi: Husain bin Ali bin Yazid, w. 248 H.
Al Karkhy: Abu Qosim Mansur bin Amr, w. 447 H.
El Kaya Al Harosy: Abu Hasan ImadudinAli bin Muhammad At Thobary, w. 504 H.
Al Masarjisy: Abu Hasan Muhammad bin Ali bin Sahal.
Al Mahamily: Abu Hasan Ahmad bin Muhammad bin Ahmad, w. 415 H.
Al Mahmudy: Abu Bakar Muhammad bin Mahmud Al Marwazy.
Al Marwazy: Nuhammad bin Nashor, w. 294 H.
Al Muzany: Abu Ibrahim Ismailbin Yahya, w. 264 H.
Al Mas’udy: Muhammad bin Abdul malik bin Mas’ud, w. 420 H.
Nashor Al MAqdisy: Abu Fath Nashor bin Ibrahim Al Maqdisy, w. 490 H.
An Nawawy: Yahya bin Syarof Abu Zakariya An Nawawy, w. 676 H.
Al Harowy: Qodhi Abu Sa’ad Muhammad bin Ahmad bin Abu Yusuf, w. 488 H.
Waliyudin Al ‘Iraqy: Ahmad bin Abdurrahim, anak dari Al ‘Iraqy, W. 826 H.
[http://ubay.wordpress.com/2010/11/26/madzhab-syafi%E2%80%99i-biografi-ulama-penerus-dan-aliran/]