Hukum Tajassus dan Ghosob dalam Islam

Hukum Tajassus dan Ghosob

Pertanyaan: Hukum Tajassus dan Ghosob

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Maap pak ustadz yana mau tanya nih, apakah ada hukum bagi orang yang berbuat ingin tahu rahasia orang lain hingga menjadi cerita menarik dan gibah? Dan bagi yg minjam tanpa seijin yg punya itu bagai mana ya? Mohon petunjuk pak ustad bagai mana? Terimakasih sebelumnya.

Bacaan Lainnya

 

Jawaban atas pertanyaan Hukum Tajassus dan Ghosob

Wa’alaikumussalaam Wr. Wb.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12).

Ringkasan Tafsir Al Qurthubi

Pada ayat ini terdapat beberapa masalah yang dapat dibahas.

  1. Firman Allah ,”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka”

Menurut satu pendapat, ayat ini diturunkan tentang 2 orang sahabat Nabi SAW yang menggunjing seorang temannya. Peristiwa itu bermula dari kebiasaan Rasulullah SAW saat melakukan perjalanan, dimana Rasulullah SAW selalu menggabungkan seorang lelaki miskin kepada dua orang lelaki kaya, dimana lelaki miskin ini bertugas untuk melayani mereka.
Dalam kasus ini, Rasulullah SAW kemudian menggabungkan Salman kepada dua orang lelaki kaya. Singkat cerita, pada saat 2 orang lelaki kaya tersebut lapar (tidak ada lauk maupun makanan yang dpt dimakan) maka mereka menyuruh Salman untuk meminta makan kepada Rasulullah SAW Setelah bertemu Rasulullah SAW, Beliau berkata kepada Salman, “Pergilah engkau kepada Usamah bin Zaid, katakanlah padanya, jika dia mempunyai sisa makanan, maka hendaklah dia memberikannya kepadamu”

Setelah bertemu dengan Usamah, beliau mengatakan bahwa beliau tidak memiliki apapun. Akhirnya Salman kembali kepada kedua lelaki kaya tersebut dan memberitahukan hal itu (tidak adanya makanan). Namun kedua lelaki tersebut berkata, “Sesungguhnya Usamah itu mempunyai sesuatu, tapi dia itu kikir”. Selanjutnya mereka mengutus Salman ketempat sekelompok sahabat, namun Salman tidak menemukan apapun di tempat mereka.
Akhirnya kedua lelaki tersebut memata-matai Usamah untuk melihat apakah Usamah memiliki sesuatu atau tidak. Tindakan mereka ini akhirnya terlihat oleh Rasulullah SAW dan Beliau bersabda, “Mengapa aku melihat daging segar di mulut kalian berdua?” Mereka berkata, “Wahai Nabi Allah, demi Allah, hari ini kami tidak makan daging atau yang lainnya.” Rasulullah SAW bersabda, “Tapi, kalian sudah memakan daging Usamah dan Salman”. Maka turunlah ayat ini, “Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa”.

Demikianlah yang dituturkan Ats-Tsa’labi.
Maksud Firman Allah diatas adalah : Janganlah kalian mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang baik, jika kalian tahu bahwa pada zahirnya mereka itu baik.

  1. Dalam Shohih Al Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Janganlah kalian berprasangka (curiga), karena sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian saling mencari-cari berita atau mendengarkan aib orang, janganlah kalian mencari-cari keburukan orang, janganlah kalian saling menipu, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling memboikot, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” (Lafaz hadits ini milik Al Bukhari)

Para Ulama (Mazhab Maliki) berkata, “Dengan demikian prasangka (yang dimaksud) disini, juga pada ayat tersebut, adalah tuduhan (kecurigaan) dan adanya sesuatu yang perlu diwaspadai. Tuduhan (kecurigaan) yang terlarang adalah tuduhan yang tidak ada sebabnya, seperti seseorang dituduh berzina atau mengkonsumsi khamr, misalnya, padahal tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan pada tuduhan tersebut dalam dirinya.

Bukti bahwa prasangka disini berarti tuduhan (kecurigaan) adalah Firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain”.
Hal itu disebabkan sejak semula pada diri orang yang berprasangka itu sudah ada tuduhan (kecurigaan), kemudian dia berusaha mencari tahu, memeriksa, melihat dan mendengar berita mengenai hal itu, guna memastikan tuduhan/kecurigaan yang ada pada dirinya itu. Oleh karena itu Rasulullah SAW melarang hal itu.
Jadi intinya, prasangka yang terlarang/dilarang adalah prasangka yang tidak memiliki tanda dan sebab yang pasti. Maksudnya, bila orang yang kita curigai itu pada zahirnya baik, tidak ada cerita/informasi sebelumnya tentang keburukan yang dia pernah lakukan, maupun tabiatnya yang memang tercela, serta memang orang tersebut adalah orang yang “baik” maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada orang tersebut. Berbeda bila orang tersebut memang terkenal akan keburukannya, suka menipu, suka berbuat onar, mencari masalah, yang pada intinya orang tersebut memang terkenal dengan tabiat buruknya, suka berbuat keburukan terang-terangan, maka diperbolehkan kita berhati-hati dan tidak mudah/langsung percaya terhadap apa yang dikatakannya/informasinya (harus dilakukan cek dan ricek kebenaran berita tersebut)

  1. Prasangka (dugaan) itu memiliki kondisi.

Kondisi yang diketahui dan diperkuat oleh salah satu dari sekian banyak bukti/dalil, sehingga hukum dapat ditetapkan dengan prasangka (dugaan) pada kondisi ini.
b. Kondisi dimana terdapat sesuatu (asumsi/dugaan) didalam hati tanpa ada petunjuk (manakah yang lebih kuat: apakah sesuatu tersebut ataukah lawannya), sehingga sesuatu itu tidak menjadi lebih baik dari lawannya. Ini adalah Keraguan. Hukum sesuatu tidaklah boleh ditetapkan dengan keraguan ini. Inilah yang terlarang.

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian menyanjung saudaranya, maka hendaklah dia mengatakan: ‘Saya kira anu, dan saya tidak menyucikan (menganggap suci) seseorang kepada Allah (HR Bukhari, tentang larangan menyanjung jika itu berlebihan dan dikhawatirkan akan menimbulkan Fitnah atas tersanjung, HR Abu Dawud, HR Ibnu Majah, dan HR Ahmad)

Mayoritas Ulama berpendapat bahwa memiliki prasangka buruk terhadap orang yang zahirnya baik adalah tidak boleh. Namun tidak masalah mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang zahirnya buruk. Demikianlah yang dikatakan Al Mahdawi.

  1. Firman Allah Ta’ala “Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain”

Makna ayat tersebut adalah: Ambilah apa yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin. Maksudnya, salah seorang dari kalian tidak boleh mencari aib saudaranya hingga menemukannya setelah Allah menutupinya. Dalam kitab Abu Daud, terdapat hadis dari Mu’awiyah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jika engkau mencari-cari aib manusia, maka engkau telah menghancurkan mereka, atau hampir menghancurkan mereka” (HR Abu Daud)
Diriwayatkan dari Abu Barzah Al Aslamai, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai sekalian orang-orang yang lidahnya telah menyatakan beriman namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan jangan pula mencari-cari kesalahan mereka. Sebab barangsiapa yang mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Dan, barangsiapa yang kesalahannya dicari-cari Allah, maka Allah akan membukakan kesalahannya itu di rumahnya” (HR Abu Daud)

Abdurrahman bin Auf berkata, “Suatu malam, aku meronda bersama Umar bin Al Khathab di Madinah. Tiba-tiba, terlihatlah oleh kami pelita di dalam rumah yang pintunya disegani oleh orang-orang. Mereka mengeluarkan suara yang keras dan ribut. Umar berkata, “Ini adalah rumah Rabi’ah bin Umayah bin Khalaf, dan sekiranya mereka sedang minum-minum. Bagaimana menurutmu?” Aku menjawab, “Menurutku sesungguhnya kita telah melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Sebab Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan kini kita telah mencari-cari kesalahan orang lain”. Umar pun kemudian pergi dan meninggalkan mereka.

Amr bin Dinar berkata, ‘Seorang penduduk Madinah mempunyai seorang saudara yang sedang sakit. Dia menjenguk saudarinya itu, lalu saudarinya itu meninggal dunia. Maka dia pun memakamkannya. Dia turun ke dalam makam saudarinya, namun kantungnya yang berisi uang terjatuh. Maka dia meminta keluarganya untuk menggali makam saudarinya. Dia mengambil kantung itu lalu berkata, ‘Sungguh, akan kubuka (makamnya) agar dapat kulihat bagaimanakah keadaannya.’ Dia kemudian membongkar makam saudarinya itu, dan ternyata makam itu penuh dengan nyala api. Dia kemudian mendatangi ibunya dan berkata, ‘Beritahukanlah padaku apa yang telah dilakukan saudariku?’ Ibunya berkata, ‘Saudarimu sudah meninggal dunia. Lalu, mengapa engkau bertanya tentang perbuatannya?; Lelaki itu terus mendesak ibunya, hingga ibunya berkata, ‘Diantara perbuatannya adalah mengakhirkan shalat dari waktunya. Apabila para tetangga tidur, dia berangkat ke rumah mereka, menempelkan telinganya di rumah mereka, mencari-cari keburukan mereka, dan menyebarkan rahsia mereka’ Orang itu berkata, ‘Karena inilah saudariku celaka’”.

5.Firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”
Allah ‘azza wa Jalla melarang menggunjing, yaitu engkau menceritakan seseorang sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Tapi jika engkau menceritakan tidak sesuai dengan apa yang ada pada dirinya, maka itu merupakan sebuah kebohongan.

Pengertian itu terdapat dalam sebuah hadis Riwayat Muslim, Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tahukan kalian apakah menggunjing itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Baginda bersabda, “Engkau menceritakan hal-hal yang tidak disukai saudaramu”. Ditanyakan kepada Rasulullah SAW: “Bagaimana pendapatmu jika apa yang kau katakan memang terdapat pada saudaraku?” Rasulullah SAW menjawab, “Jika apa yang engkau katakan terdapat padanya, maka sesungguhnya engkau telah menggunjingnya. Tapi jika apa yang engkau katakan tidak terdapat padanya, maka sesungguhnya engkau telah berdusta kepadanya” (HR Muslim)

Al Hasan berkata, “Menggunjing itu ada 3 macam, dan semuanya terdapat dalam kitab Allah:

  1. Ghibah (menggunjing), Ghibah adalah engkau menceritakan apa yang ada pada diri saudaramu.
  2. Ifk (cerita bohong), Ifk adalah engkau menceritakannya sesuai dengan berita yang sampai padamu tentangnya.
  3. Buhtaan (berdusta), Buhtaan adalah engkau menceritakan apa yang tidak ada padanya.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Ma’iz Al Aslami datang kepada Rasulullah SAW dan mengaku berzina, kemudian Rasulullah SAW merajamnya. Rasulullah SAW kemudian mendengar dua lelaki dari sahabatnya, salah satunya berkata kepada yang lainnya, “Lihatlah orang yang dilindungi Allah itu. Dia tidak membiarkan dirinya, hingga dirinya dirajam seperti dirajamnya anjing.” Rasulullah SAW tidak mengomentari kedua orang itu, lalu Rasulullah SAW berjalan beberapa saat, hingga bertemu dengan bangkai keledai yang mengangkat kakinya. Baginda bertanya, “Dimana si fulan dan si fulan?” Kedua orang itu menjawab, “Ini kami wahai Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda, “Turunlah kalian makanlah bangkai keledai ini!”. Keduanya berkata, “Wahai Rasulullah, siapa yang akan memakan bangkai (keledai) ini”. Rasulullah SAW bersabda, “Apa yang telah kalian nodai dari kehormatan saudaramu adalah lebih menjijikan daripada memakan bangkai keledai itu. Demi Zat yang jiwaku berada di dalam kekuasaan Nya, sesungguhnya dia sekarang ini telah berada di sungai syurga, dimana dia menyelam ke dalamnya” (HR Abu Daud).

  1. Firman Allah Ta’ala, “Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?”

Allah menyerupakan menggunjing dengan memakan bangkai. Sebab orang yang sudah mati tidak mengetahui dagingya dimakan, sebagaimana orang yang masih hidup tidak mengetahui gunjingan yang dilakukan orang yang menggunjingnya.

Ibnu Abbas berkata, “Allah membuat perumpamaan ini untuk menggunjing, karena memakan bangkai itu haram lagi jijik. Demikianlah pula menggunjingpun diharamkan dalam agama dan dianggap buruk di dalam jiwa (manusia).

Di dalam Kitab Abu Daud, dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, “Ketika aku melakukan Mi’raj, aku bertemu dengan suatu kaum yang memiliki kuku-kuku yang terbuat dari tembaga. Mereka mencakari wajah dan dada mereka. Aku berkata, “Siapakah mereka itu wahai Jibril?”. Jibril Menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (menggunjing) dan menodai kehormatan mereka” (HR Abu Daud).

Diriwayatkan dari Al Mustaurid, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memakan makanan karena (menggunjing) seorang muslim, maka Allah akan memberinya makanan yang serupa dengan makanan itu dari api neraka Jahannam. Barangsiapa yang diberikan pakaian/penghargaan karena (menjelek-jelekan) seorang muslim, maka Allah akan memberinya pakaian yang serupa dengan pakaian itu dari api neraka. Barangsiapa yang mendirikan seseorang di sebuah tempat karena ingin mendapatkan reputasi baik dan riya, (dimana dia menyifatinya dengan baik, bertakwa dan mulia, dan dia pun mempopularkannya dengan sifat itu, juga menjadikannya sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan pribadinya), maka Allah akan mendirikannya di tempat orang-orang yang ingin mendapatkan reputasi baik dan riya pada hari kiamat kelak” (HR Abu Daud)

Maimun Bin Siyah tidak pernah menggunjing seseorang, dan diapun tidak pernah membiarkan seseorang menggunjing seseorang lain di dekatnya. Dia melarangnya. Jika orang itu berhenti, (maka itu yang terbaik). Tapi jika tidak, maka diapun berdiri (untuk pergi).

Umar bin Al Khathab berkata, “Janganlah kalian menceritakan manusia, sebab itu merupakan penyakit. Berzikirlah kepada Allah, sebab itu merupakan ubat/penawar”.

  1. Bergunjing termasuk kezaliman yang harus mendapatkan maaf dari saudaranya (penghalalan dari saudaranya) karena mencakup masalah agama dan dunia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

“Barangsiapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya, maka hendaklah dia meminta penghalalan pada saudaranya itu dari kezaliman tersebut” (HR Bukhari).

  1. Perbuatan ini (membicarakan orang lain/berprasangka buruk kepada orang lain) merupakan dosa besar, dan orang yang membicarakan hal ini (bergunjing) harus bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
  2. Menggunjing/membicarakan orang lain yang diperbolehkan adalah membicarakan orang yang fasik, yang terang-terangan dan menampakkan kefasikannya.

Juga diperbolehkan membicarakan orang lain yang ditujukan kepada seorang hakim, dimana hendak meminta bantuannya untuk mengambil haknya dari orang yang menzalimi tersebut, seperti contoh :”Fulan telah menzalimiku, merampas (sesuatu) dariku, mengkhianatiku, memukulku, menuduhku berzina, atau melakukan kejahatan terhadapku. Adalah termasuk dalam sesuatu yang dihalalkan (bila menceritakan keburukan seseorang) saat meminta fatwa, seperti ucapan Hindun kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir. Dia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupi aku dan anakku, sehingga aku harus mengambil (hartanya) tanpa sepengetahuannya”. Nabi SAW kemudian bersabda kepadanya, “Ya Ambillah”

Demikian pula (diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang) jika menceritakan keburukannya itu mengandung suatu faedah, seperti sabda Rasulullah SAW: “Adapun Mu’awiyah, dia orang yang miskin tidak mempunyai harta. Adapun Abu Jahm, dia tidak dapat meletakkan tongkatnya dari tengkuknya (ringan tangan)”. Ucapan Baginda ini adalah sesuatu yang dibolehkan, sebab maksud Baginda adalah agar Fatimah Binti Qais tidak terkecoh oleh keduanya. Semua itu dikatakan oleh Al Muhasibi.

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir

Allah Ta’ala melarang hamba-hamba Nya yang beriman dari banyak prasangka, yaitu melakukan tuduhan dan pengkhianatan terhadap keluarga dan kaum kerabat serta ummat manusia secara keseluruhan yang tidak pada tempatnya, karena sebagian dari prasangka itu murni menjadi perbuatan dosa.

Oleh karena itu, jauhilah banyak berprasangka sebagai suatu kewaspadaan. Amirul Mukminin ‘Umar bin Al Khathab RA pernah berkata, “Janganlah kalian berprasangka terhadap ucapan yang keluar dari saudara Mukminmu kecuali dengan prasangka baik. Sedangkan engkau sendiri mendapati adanya kemungkinan ucapan itu mengandung kebaikan.”

Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulllah SAW bersabda, “Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian meneliti rahasia orang lain, mencuri dengar, bersaing yang tidak baik, saling dengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, dan Muslim, juga Abu Dawud)

Pada ayat ini juga terdapat pemberitahuan tentang larangan berghibah (penjelasannya sama dengan Ringkasan dari Tafsir Al Qurthubi).

Ghibah masih diperbolehkan bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misalnya dalam Jarh (menilai cacat dalam masalah hadits), Ta’dil (menilai baik/peninjauan kembali dalam masalah hadits), dan nasihat, seperti perkataan Nabi SAW kepada Fatimah binti Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah dan Abul Jahm (seperti diterangkan dalam penjelasan sebelumya dalam Ringkasan Tafsir Al Qurthubi).

Adapun bagi orang-orang yang berghibah/menggunjing orang lain, diwajibkan bertaubat atas kesalahannya, dan melepaskan diri darinya (bergunjing) serta berkemauan keras untuk tidak mengulanginya lagi.

Kemudian ada sebagian ulama yang menambahkan syaratnya, bahwa bagi yang suka bergunjing/menggunjingkan orang lain, maka dia harus meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya, atau dia harus memberikan sanjungan kepada orang yang telah digunjingkannya di tempat-tempat dimana ia telah mencelanya.

Selanjutnya, ia menghindari gunjingan orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga gunjingan dibayar dengan pujian.

Tafsir Qurthuby

قوله تعالى : يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله إن الله تواب رحيم .

فيه عشر مسائل :

الأولى : قوله تعالى : يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن قيل : إنها نزلت في رجلين من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – اغتابا رفيقهما . وذلك أن النبي – صلى الله عليه وسلم – كان إذا سافر ضم الرجل المحتاج إلى الرجلين الموسرين فيخدمهما . فضم سلمان إلى رجلين ، فتقدم سلمان إلى المنزل فغلبته عيناه فنام ولم يهيئ لهما شيئا ، فجاءا فلم يجدا طعاما وإداما ، فقالا له : انطلق فاطلب لنا من النبي – صلى الله عليه وسلم – طعاما وإداما ، فذهب فقال له النبي – صلى الله عليه وسلم – : اذهب إلى أسامة بن زيد فقل له إن كان عندك فضل من طعام فليعطك وكان أسامة خازن النبي – صلى الله عليه وسلم – ، فذهب إليه ، فقال أسامة : ما عندي شيء ، فرجع إليهما فأخبرهما ، فقالا : قد كان عنده ولكنه بخل . ثم بعثا [ ص: 300 ] سلمان إلى طائفة من الصحابة فلم يجد عندهم شيئا ، فقالا : لو بعثنا سلمان إلى بئر سميحة لغار ماؤها . ثم انطلقا يتجسسان هل عند أسامة شيء ، فرآهما النبي – صلى الله عليه وسلم – فقال : ( ما لي أرى خضرة اللحم في أفواهكما ) فقالا : يا نبي الله ، والله ما أكلنا في يومنا هذا لحما ولا غيره . فقال : ( ولكنكما ظلتما تأكلان لحم سلمان وأسامة ) فنزلت : يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ذكره الثعلبي . أي : لا تظنوا بأهل الخير سوءا إن كنتم تعلمون من ظاهر أمرهم الخير .

Tafsir Jalalain

«يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم» أي مؤثم وهو كثير كظن السوء بأهل الخير من المؤمنين، وهم كثير بخلافه بالفساق منهم فلا إثم فيه في نحو يظهر منهم «ولا تجسسوا» حذف منه إحدى التاءين لا تتبعوا عورات المسلمين ومعايبهم بالبحث عنها «ولا يغتب بعضكم بعضا» لا يذكره بشيء يكرهه وإن كان فيه «أيجب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا» بالتخفيف والتشديد، أي لا يحسن به «فكرهتموه» أي فاغتيابه في حياته كأكل لحمه بعد مماته وقد عرض عليكم الثاني فكرهتموه فاكرهوا الأول «واتقوا الله» أي عقابه في الاغتياب بأن تتوبوا منه «إن الله توَّاب» قابل توبة التائبين «رحيم» بهم.

Rosulullah SAW bersabda

طوبي لمن شغله عيبه عن عيوب الناس

Bahagialah orang yang sibuk mencari dan memperbaiki aibnya sendiri dan menjauhi mencari-cari aib orang lain.

Yang demikian dalam agama dinamakan ghoshob.
Ghoshob adalah mengambil sesuatu yang menjadi milik orang lain dengan tanpa kerelaan pemiliknya, baik berupa benda seperti baju, sepeda, dll. atau berupa kemanfaatan, seperti memanfaatkan suatu rumah dengan tanpa ijin dari pemiliknya.

Hukum ghosob adalah haram, berdasarkan dalil-dalil dari al-qur’an, hadits dan ijma’ ulama’.

  1. Al-Qur’an.
    Diantara ayat yang menjelaskan tentang keharaman memafaatkan sesuatu tanpa adanya kerelaan dari pemiliknya adalah firman Alloh;
    وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
    “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh : 188)
  2. Hadits nabi.
    Terdapat banyak hadits yang menjelaskan keharaman ghosob, diantaranya sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;
    لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسِهِ
    “Tidak halal harta seseorang kecuali dengan kerelaan hatinya” (Sunan Daruquthni, no.2885)

Dan sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
“Siapa yang mengambil sejengkal saja dari tanah secara aniaya maka dia akan dikalungkan dengan tanah sebanyak tujuh bumi pada hari qiyamat “. (Shohih Bukhori, no.3026 dan Shohih Muslim, no.1610)

  1. Ijma’ Ulama’
    Semua ulama’ dari semenjak zaman para sahabat hingga kini telah sepakat bahwa hukum ghosob adalah harom.
    Wallohu a’lam.

Referensi :
1. Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 7 Hal : 215 – 216

الغصب
تعريفه: الغصب – في اللغة – أخذ الشئ ظلما. وشرعا: هو الإستيلاء على حق غيره عدوانا
والمراد بحق غيره: ما كان عينا كدار ونحوها، أو منفعة كسكنى الدار بغير رضاه، أو اختصاصا ككلب صيد ونحوه، وكحق الشرب ونحوه
وقولنا: (عدوانا) أي على جهة التعدي والظلم، أي بغير رضا من صاحب الحق، بل قهرا عنه. فلو أكل طعام غيره بغير إباحة منه ولا عقد فهو غصب. ولو سكن دار غيره بغير رضاه، فهو غاصب، ولو أعطاه أجرة. ولو جلس على فراشه بغير إذن منه فهو غاصب أيضا، وهكذا. وهنا ننبه إلى ما يفعله الكثير من الناس في هذا الزمن من سكنى دور غيرهم، أو استخدام حوانيتهم، بأجور لا يرضون بها، فإن هؤلاء غاصبون، وتنطبق عليهم جميع أحكام الغصب الدنيوية والأخروية، وإن كانوا يظنون أنهم يحسنون صنعا حين يدعون أنهم مستأجرون وأنهم يدفعون أجورا حسب الاتفاق القديم، فلا تنطبق عليهم أحكام الإجارة، لأنهم في الحقيقة غاصبون وليسوا بمستأجرين

تحريمه: الغصب حرام شرعا، وهو من الكبائر، لما ورد من زجر عن التعدي على الأموال، ووعيد على أخذها بغير حق، ومن ذلك آيات في القرآن وأحاديث من السنة

أما آيات القرآن: فمنها قوله تعالى: “ولا تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون” (البقرة: 188). ومنها قوله تعالى: “إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا” (النساء: 10

وأما الأحاديث: فمنها قوله صلى الله عليه وسلم: “إن دمائكم وأموالكم وأعراضكم بينكم حرام .. ” (اخرجه البخاري في العلم، باب: قول النبي صلى الله عليه وسلم: رب مبلغ اوعى من سامع، رقم: 67. ومسلم: القسامة، باب: تغليظ تحريم الدماء والأعراض والأموال، رقم: 1679). ومنها قوله صلى الله عليه وسلم: “لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفسه” (اخرجه الدارقطني في البيوع، الحديث: 91، ج3، صفحة 26). ? ومنها قوله صلى الله عليه وسلم: “من أخذ شبرا من الأرض ظلما فإنه يطوقه يوم القيامة من سبع أرضين”. (البخاري: بدء الخلق، باب: ما جاء في سبع ارضين، رقم: 3026. ومسلم: المساقاة، باب: تحريم الظلم وغصب الأرض وغيرها، رقم: 1610

وقد أجمع المسلمون على تحريم الغصب – بكل أشكاله وألوانه – في كل العصور، من لدن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى يومنا هذا

Wallahu a’lam semoga bermanfaat.

Sumber tulisan di sini.

Baca juga artikel terkait.

Pos terkait