Kisah Air Ludah Rasulullah SAW Jadikan Syekh Abdul Qodir Al Jailani Rajanya Para Wali

Kisah Air Ludah Rasulullah SAW Jadikan Syekh Abdul Qodir Al Jailani Rajanya Para Wali

Kisah Air Ludah Rasulullah SAW Jadikan Syekh Abdul Qodir Al Jailani Rajanya Para Wali

Barang siapa yang menempati maqam takwa, maka dia pantas dan layak menerima warisan ilmu Allah yaitu Ilmu Ladunni. Menurut sebagian ulama Ilmu Ladunni merupakan ilmu yang diletakkan oleh Allah di dalam hati para kekasih-Nya (waliyullah), dan inilah yang dilakukan oleh Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam berdakwah menyebarkan ilmunya.

Bacaan Lainnya

Alkisah, suatu ketika Syekh Abdul Qadir al-Jailani melihat kehadiran Rasulullah mendatanginya sebelum melaksanakan Shalat dzuhur. Seketika itu ia kaget bukan main dan tidak jadi melanjutkan shalat. Tak lama kemudian, Rasulullah bertanya;

“Wahai anakku, mengapa kamu takut berbicara di hadapan orang banyak?”

“Wahai ayahku, aku ini tumbuh dan besar di tengah-tengah penduduk yang tidak pandai berbicara. Lantas bagaimana aku mau berbicara dihadapan penduduk Kota Baghdad yang pandai berbicara, ditambah lagi ulamanya banyak yang alim?” jawab Syekh Abdul Qadir dengan rasa malu.

Mendengar jawaban Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Rasulullah langsung memerintahkan beliau untuk membuka mulutnya. Lalu Rasulullah meludahi mulut Syekh Abdul Qadir al-Jailani sebanyak tujuh kali. Kemudian beliau bersabda,

“Sekarang, pergilah dan bicaralah di hadapan manusia. Berdakwalah dan ajak mereka ke jalan Allah, berikan mereka nasihat-nasihat yang baik.”

Begitulah kasih sayang Rasulullah terhadap Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Sebagai keturunannya, Rasulullah terus menerus membimbingnya dalam berdakwah menyebarkan ilmu kepada seluruh manusia. Setelah kejadian tersebut, Syekh Abdul Qadir al-Jailani melaksanakan Shalat Dzuhur dan duduk sambil memikirkan bagaimana caranya untuk berdakwah di hadapan penduduk Kota Baghdad yang memiliki banyak ulama sangat alim. Mengingat dirinya bukanlah orang yang pandai berbicara.

Selang beberapa saat, penduduk Kota Baghdad berbondong-bondong mendatangi Syekh Abdul Qadir al-Jailani di dalam masjid. Mereka meminta Syekh Abdul Qadir al-Jailani untuk memberikan pengajian kepada mereka.
Sontak saja beliau bingung apa yang harus disampaikan kepada mereka, saat itu sekujur tubuhnya gemetar dan keder menghadapi penduduk Baghdad.

Disaat Syekh Abdul Qadir al-Jailani kebingungan, tiba-tiba Ali bin Abi Thalib datang dan masuk ke dalam masjid sambil berdiri di hadapannya. Sayyidina Ali bertanya kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani seperti apa yang telah ditanyakan Rasulullah.

“Wahai anakku, mengapa kamu takut berbicara dihadapan orang banyak?”

“Wahai ayahku, aku tidak bisa, tubuhku dari tadi gemetar dan aku gerogi dihadapan sekian banyak orang ini,” jawab Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjawab tanpa rasa malu.

Tak ingin menunggu lama, Sayyidina Ali memerintahkan Syekh Abdul Qadir al-Jailani untuk kembali membuka mulutnya sebagaimana perintah Rasulullah sebelumnya. Lalu Sayyidina Ali meludahi mulutnya sebanyak enam kali. Hal itu membuat Syekh Abdul Qadir al-Jailani heran.

“Mengapa engkau (Sayyidina Ali) hanya meludahi mulutku enam kali, sedangkan Rasulullah tujuh kali?” tanya al-Jailani.

“Ini merupakan adab kepada Rasulullah dengan tidak melebihi darinya,” jelas Sayyidina Ali.

Itulah mengapa begitu sangat pentingnya adab dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan adab lah derajat seseorang akan diangkat oleh Allah. Terbukti seperti adab Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Allah angkat derajatnya dan menjadikannya ‘Raja dari Seluruh Para Wali’.

Lantas bagaimana dengan ilmu, bukankah itu juga merupakan elemen penting dalam kehidupan sehari-hari?
Ilmu juga merupakan unsur yang sangat penting, namun itu setelah adab. Dahulukanlah adab dari pada ilmu. Setinggi apapun ilmu seseorang, tetapi jika ia menjadikan akhlah sebagai elemen yang kedua setelah ilmu, maka sungguh tidak berharga ilmu tersebut.

Al Fatihah …

Demikian Kisah Air Ludah Rasulullah SAW Jadikan Syekh Abdul Qodir Al Jailani Rajanya Para Wali. Semoga bermanfaat.

Sumber: Kitab al-Fawāid al-Mukhtārah Lisāliki Ṭarīq al-Ākhirah karya Habib Ali bin Hasan Baharun murid Habib Zain ibn Ibrahim ibn Smith di Hadlramaut, Tarim, Yaman.

Editor: Mas Ahmad

Pos terkait