Kisah Ilmu Lempit Bumi Mbah Ma’shum Karanggawang Demak.
Pertama kali mendengar istilah ‘lempit bumi’ baru kemarin-kemarin setelah membaca kisah Mbah Mad (KH. Ahmad Muthohar), yang menempuh perjalanan secara singkat di luar perhitungan waktu rasional dari Demak menuju Jawa Timur. Mbah Mad ini tak lain adalah adik dari Mbah Muslih (KH. Muslih al-Maroqy) Mranggen, Demak. Konon, Mbah Mad juga belajar privat kepada Mbah Muslih, jadi Mbah Mad adalah adik sekaligus murid Mbah Muslih.
Lempit bumi ini maksudnya kurang lebih adalah melipat ruang jarak, kecepatan, dan waktu. Teori mengenai hal tersebut patah dengan izin Gusti Allah wasilah melanggengkan amalan wirid/dzikir tertentu. Hanya orang-orang pilihan Gusti Allah yang biasanya diketahui diberi keistimewaan (karamah) semacam ilmu lempit bumi ini.
Adalah Mbah Ma’shum (KH. Ma’shum Mahfudhi) Karanggawang, Sayung, Demak, yang juga diketahui pernah ‘melempit bumi’ dalam suatu perjalanan. Kebetulan, Mbah Shum ini juga murid Mbah Muslih. Beliau nyantri di Mranggen selama 6 tahun. Selain berguru kepada Mbah Muslih di Futuhiyyah, Mbah Shum juga tercatat nyantri kepada Mbah Yasin Bareng, Kudus, Mbah Madun Pandowan, Pati, dan Mbah Muhajir (KH. Khozin), Kediri.
Suatu hari, Mbah Shum yang dikenal ahli riyadhah ini melakukan perjalanan dalam rangka meminang seorang gadis bernama Sayyidah putri dari KH. Umar di daerah Demak, tepatnya di Desa Undaan Kidul, Karanganyar. Mbah Shum dibonceng oleh Kiai Rif’an. Mereka berdua berangkat mengendarai sepeda onthel.
Selama perjalanan, Mbah Shum berpesan kepada Kiai Rif’an untuk tidak mengajak ngobrol karena Mbah Shum hendak wiridan. Waktu itu dari Karanggawang mereka berangkat persis saat azan magrib. Ajaibnya, jarak sekitar 25-30 kilometer itu ditempuh selama beberapa menit saja. Hingga tiba di Karanganyar waktu masih menunjukkan magrib, di Karanganyar pun azan maghrib masih berkumandang.
Padahal jarak sejauh itu, katakanlah bisa ditempuh selama 2 jam dengan kecepatan normal mengendarai sepeda motor. Sungguh tidak terbayang, mereka berdua mengonthel sepeda dengan berboncengan melalui medan jalan yang tak semulus sekarang. Paling tidak, jika bersepeda harusnya memakan waktu lebih dari waktu jika mengendarai sepeda motor. Inilah yang dimaksud dengan melempit bumi, suatu kelebihan yang dapat mematahkan teori jarak, kecepatan, dan waktu.
Setibanya di Karanganyar, Mbah Shum menuai hasil yang diharapkan. Maksud baik ‘nembung’ Nyai Sayyidah diterima oleh keluarga KH. Umar. Nyai Sayyidah hingga sekarang masih ‘sugeng’ sedangkan Mbah Shum, Kiai bersahaja asli Sayung itu, wafat pada tahun 2005.
Mbah Shum dikenal dengan tipikal Kiai yang tegas dan tawadhu’. Kharisma dan banyak karamahnya masyhur dimana-mana, khususnya di kawasan Pantura. Bapak pun tidak luput mendengar kealiman Mbah Shum dan sempat menitipkan 3 anak gadisnya di Ponpes Fathul Huda Karanggawang asuhannya. Mbah Shum, setelah mangkatnya, termasuk teladan yang sulit dicari gantinya.
Demikian kisah ilmu lempit bumi Mbah Ma’shum Karanggawang Demak, semoga bermanfaat.
Sumber tulisan: Biografi Syekh Ma’shum Mahfudhi Ahli Riyadhah dari Karanggawang, Karya M Amsar Roedi, 2020.
Foto: Mbah Ma’shum dan Nyai Sayyidah.
(Mukhlisin/red)