Kisah Iwan Fals Berziarah di Makam Sunan Drajat
15 Oktober 2010, sekitar pukul 20.00 WIB, ponsel saya berdering. Achmad Yunus, salah seorang karib lawas saat kami di Jogja, memberi kabar bahwa Iwan Fals akan berziarah ke Makam Sunan Drajat.
Pria berperawakan agak kecil asal Kudus, yang kebetulan berada di ndalem Ponpen Sunan Drajat, itu menanyakan kesediaanku barangkali mau ikut menemani ziarah. Tanpa berpikir panjang saya pun segera tancap gas, karena kebetulan jarak rumah saya ke lokasi hanya kisaran 7 km.
Dalam ziarah itu, sebenarnya saya sempat mengabadikan beberapa momen. Namun yang paling menarik, menurut saya, adalah potret Iwan Fals ketika tepat berada di bawah papan ukir jati dengan pahatan wasiat Kanjeng Sunan Drajat. Empat wasiat tersebut sangat masyhur, yaitu:
1. Wenehono teken marang wong kang wuto (Berilah tongkat pada orang yang buta).
2. Wenohono pangan marang wong kang kaliren (Berilah makan pada orang yang kelaparan).
3. Wenohono sandang marang wong kang wudo (Berilah pakaian pada orang yang telanjang).
4. Wenohono payung marang wong kang kawudanan (Berilah payung pada orang yang kehujanan).
Begitulah. Sebagaimana lazimnya para wali, pitutur-pitutur Sunan Drajat sarat akan kebijaksanaan serta membuat orang yang mendengarnya merenungkan arti kehidupan.
Tetapi, selain empat wasiat Sunan Drajat yang tersohor itu, sebenarnya ada beberapa kata-kata bijak lain dari Sunan Drajat yang juga memiliki makna sangat mendalam. Yaitu:
1. Memangun resep tyasing Sasoma (Kita sebaiknya selalu membuat senang hati orang lain).
2. Jroning suka kudu éling lan waspada (Di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada).
3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur, kita harusnya tidak peduli dengan segala bentuk rintangan).
4. Mèpèr Hardaning Pancadriya (Kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu).
5. Heneng-Hening-Henung (Dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur).
6. Mulya guna Panca Waktu (Suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu).
Jika kita telaah secara lebih seksama, dalam menyebarkan ajaran Islam di masa lalu, Sunan Drajat menekankan pada aspek pendidikan moral. Ia dikenal sebagai wali yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kaum miskin.
Agus Sunyoto, dalam bukunya berjudul Atlas Wali Songo (2012), menarasikan bahwa Sunan Drajat mendidik masyarakat sekitar supaya memiliki kepedulian terhadap nasib fakir miskin, mengutamakan kesejahteraan umat, serta memiliki empati.
Di antara pendidikan moral yang menjadi titik tekan Sunan Drajat dalam melakukan syiar ajaran Islam di Lamongan dan sekitarnya yakni etos kerja keras, kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, serta gotong-royong.
Dalam beberapa literatur, ajaran Sunan Drajat disebut-sebut erat kaitannya dengan ajaran tasawuf. Sebab, apa yang diajarkan memiliki kedalaman makna dan implikasi. Baik dalam sisi kebatinan maupun yang kaitannya dengan realitas dalam keseharian.
Nilai-nilai luhur yang diajarkan Sunan Drajat memiliki sisi menarik, yakni ajakan melakukan perbuatan terbaik untuk umat atau masyarakat.
Pesan-pesan luhur Sunan Drajat itu dikenal dengan sebutan Catur Piwulang. Isinya yakni mengenai ajakan memberi pertolongan, makan, pakaian, hingga perlindungan bagi masyarakat yang membutuhkan.
Kisah Iwan Fals Berziarah di Makam Sunan Drajat
Bagaimana dengan Iwan Fals?
Meski hidup di era yang jauh berbeda dengan Kanjeng Sunan Drajat, namun syair-syair yang dituangkan Iwan Fals dalam bentuk lagu memiliki muatan yang hampir serupa; pendidikan moral dan kepedulian tinggi terhadap kaum miskin.
Memang, Iwan Fals bukanlah seorang ulama atau kiai. Lebih tepatnya ia adalah seorang pekerja seni (penyanyi) yang mayoritas orang, dari tua sampai muda menyukai dan mengidolakannya. Segudang itu pula alasan yang mereka kemukakan. Tapi, esensinya hampir serupa; soal lagu, kesederhanaan, tema kritik sosial, dan penampilan Iwan Fals.
Moko Awe, alumnus Fakultas Sastra Indonesia UGM, dalam bukunya Iwan Fals; Nyanyian di Tengah Kegelapan (2003) mengupas secara detail sosok Iwan Fals, terutama dari sisi lirik lagu.
Bagi dia, lirik lagu Iwan mempunyai daya magnetik tersendiri. Lirik lagunya diungkapkan dengan bahasa sederhana dan pilihan tema yang diangkat melambangkan keprihatinan terhadap realitas masyarakat yang timpang.
Lirik lagu yang diciptakannya sebagai penuangan ekspresi tentang segala sesuatu yang telah dilihat, didengar, dan dialami dalam kehidupan keseharian. Kemiskinan, kehidupan rakyat kecil, dan kritik sosial, tampak begitu dominan menjadi tema utama dalam lagu Iwan Fals. Aktualisasi materi atau isi dalam lirik lagunya sangat menonjol sesuai dengan situasi pada saat itu.
Di titik ini Iwan Fals memainkan jerit batin dan kepekaan sosialnya. Hal itu, misalnya, tercermin dalam lirik lagu Ethiopia (tentang bencana kelaparan di negara tersebut), Celoteh Camar Tolol dan Cemar (tentang tragedi nasional tenggelamnya kapal Tampomas II di perairan Massalembo), 1910 ( kecelakaan kereta api di Bintaro), Hatta (saat Bung Hatta meninggal dunia), Colombia (tentang bencana alam di negeri tersebut), dan sebagainya.
Secara umum, dengan menelisik tema yang diangkat, penulis buku memilah lirik lagu Iwan Fals menjadi enam kategori, yakni; berbicara tentang patriotisme dan cinta tanah air, lingkungan hidup, kritik dan keadilan sosial, gaya hidup, cinta, dan yang terakhir rakyat kecil dan kepedulian sosial.
Kehidupan rakyat kecil bagi Iwan Fals merupakan potret yang sangat menarik untuk ditampilkan dalam lirik lagu, sebagai salah satu wujud kepedulian terhadap nasib mereka. Tema ini tampak mendapat porsi lebih besar jika menelusuri semua lagu-lagunya.
Hal itu bisa dilihat dalam lagu; Sore Tugu Pacoran, Doa Pengobral Dosa, Lonteku, Perempuan Malam, Azan Subuh Masih di Telinga, Siang Seberang Sebuah Istana, Gali Gongli, Tarjimah dan Problemnya, Air Mata Api, PHK, dan masih banyak yang lainnya.
Diakui atau tidak, Iwan Fals telah menjadi legenda tersendiri di dunia musik Indonesia. Melalui lagu Iwan Fals membangun mimpi di tengah kegundahan. Sebuah nada, irama, bersama lirik lagu berusaha memberikan secercah harapan tersendiri bagi para pendengarnya agar tak patah arang menghadapi hidup. “Tujuan bukan utama, yang utama adalah prosesnya.” begitu Iwan berkata.
Wallahu a’lam bish-shawabi.
Demikian Kisah Iwan Fals Berziarah di Makam Sunan Drajat. Semoga bermanfaat.
Penulis: Ahmad Jauhari, Gresik. alumni UIN Sunan Kalijaga.