Kisah Karomah Nyai Ceddir Sufi Perempuan dari Madura
Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Pencapaian juga tidak melihat dan didominasi jenis kelamin tertentu.
Ketika Sang Kuasa memilih hambaNya yang dikehendaki, maka jadilah. Bahkan seorang isteri juga bisa mendahului pencapaian sang suami. Seperti dalam konteks penghambaan yang paripurna dalam kisah di edisi kali ini.
Nyai Ceddir, nama seorang tokoh dalam rangkaian genealogi dinasti terakhir keraton Sumenep. Seorang tokoh perempuan di kawasan Len Tengnga alias Lenteng, yang kini menjadi salah satu nama kecamatan di Kabupaten Sumenep.
Nyai Ceddir seorang tokoh sufi perempuan, putri ulama besar Sumenep bernama Kiai Khatib Paddusan. Sekaligus cucu seorang ulama besar dan waliyullah besar bernama Pangeran Katandur.
Jika ditarik ke atas lagi, kakeknya, Pangeran Katandur adalah cucu Kangjeng Suhunan Kudus, salah satu tokoh Wali Sanga.
Isteri Salihah dan Penyabar
Nyai Ceddir dalam catatan silsilah keraton Sumenep, khususnya dinasti terakhir (1750-1929), disebut sebagai putri tertua Kiai Khatib Paddusan. Saudara mudanya, yaitu Kiai Ali alias Kiai Barangbang, merupakan peletak dasar ilmu tasauf di Madura Timur.
Nyai Ceddir menikah dengan Kiai Abdullah alias Kiai Tengnga. Nasab keduanya bertemu di Pangeran Katandur. Ibu Kiai Tengnga bernama Nyai Berrek, yaitu putri Kiai Khatib Pranggan. Kiai Pranggan ini saudara Kiai Khatib Paddusan. Keduanya sama-sama putra Pangeran Katandur.
Jika demikian, hubungan nasab Nyai Ceddir dan suaminya, cukup dekat. Nyai Ceddir masih saudara sepupu Nyai Berrek, ibu Kiai Tengnga.
Meski secara nasab lebih tinggi, namun Nyai Ceddir dikenal sebagai isteri yang taat dan sangat menghormati suaminya.
Dalam riwayat tutur, Nyai Ceddir juga dikenal sebagai isteri yang sangat sabar, khususnya dalam menghadapi karakter dan sifat sang suami.
Kisah Emas dan Taubat Sang Suami
Kiai Ceddir dan Nyai Ceddir bermukim di desa Lembung, Kecamatan Lenteng.
Meski berasal dari kalangan pemuka agama dan keluarga tokoh-tokoh ulama besar Sumenep, Kiai Ceddir dikisahkan memiliki kepribadian yang menyimpang dari syari’at Islam.
Di samping dikenal hedonis, beliau dikenal sebagai seorang yang dekat dengan kehidupan malam dan bergelimang maksiat. Minum minuman keras, main perempuan, dan berjudi merupakan kegemaran beliau sejak muda hingga menikah dan memiliki anak.
Meski begitu, mengingat status sosialnya yang tinggi, yang mana keluarga Pangeran Katandur sangat disegani bahkan oleh kalangan keraton, tidak ada satupun orang yang berani menegurnya. Bahkan sang istri yang shalihah dan arifbillah juga tetap menghormatinya.
Hingga suatu saat, konon, setelah seluruh harta Kiai Ceddir habis akibat berjudi dan kebiasaan buruknya, beliau lantas meminta harta isterinya Nyai Ceddir.
“Aku butuh uang sekarang. Jika kamu ada simpanan, lekas berikan padaku,” perintah Kiai Ceddir kepada sang isteri yang saat itu tengah khusyu’ berdzikir.
“Aku tidak punya sepeser pun uang,” kata Nyai Ceddir.
“Kau jangan bohong. Lekas berikan kunci lemarimu,” desak Kiai Ceddir.
Nyai Ceddir bersumpah bahwa dirinya tak berbohong. Tak percaya Kiai Ceddir membongkar isi lemari. Dan benar, tak ada secuilpun barang berharga di sana.
Kesal, Kiai Ceddir langsung keluar rumah. Namun amarahnya tak sirna, bahkan menjadi. Beliau tetap merasa sang isteri membohonginya. Hingga akhirnya timbullah niat jahat.
Kiai Ceddir lantas mengisi tempat atau wadah yang biasa digunakan Nyai Ceddir untuk berwudlu’ (paddasan; bahasa Madura) dengan seekor ular berbisa, dengan tujuan mencelakakan sang isteri. Dalam sebuah versi lain mengisi paddasan itu dengan tenja (tinja, atau kotoran).
Suatu ketika, saat Nyai Ceddir mau mengambil wudlu beliau memasukkan tangannya ke dalam paddasan itu, dan dikeluarkannya banyak sekali emas. Kiai Ceddir yang mengintip dari tempat lain tercengang.
“Kakanda, ini yang kau butuhkan bukan? Ambillah, dan puaskan keinginanmu,” Nyai Ceddir yang menunjukkan karomahnya itu berseru pada sang suami yang diketahuinya tengah mengintip.
Sontak, Kiai Ceddir yang belum habis rasa terkejutnya itu langsung jatuh lunglai. Beliau lantas menangis dan menyesali perbuatannya. Sembari meminta maaf pada sang isteri yang telah mencapai maqam tinggi di sisiNya itu, beliau lantas berkata, “Mulai sekarang, aku mohon ijin untuk meninggalkan segala macam kehidupan duniawi ini. Kita akan berjumpa lagi kelak di hari Kiamat.”
Kiai Tengnga pamit dan bertapa di Bungin-bungin, Kecamatan Dungkek hingga akhir hayatnya.
Kisah Karomah Nyai Ceddir Sufi Perempuan dari Madura
Sumber ada di sini.