Kisah Kiai Nafi’ Kajen Mendidik Santri Preman Buronan Polisi.
Kala itu di sekitar tahun 2003, saya mendapat amanat menjadi pengurus harian Pondok Pesantren PMH Pusat. Bagi saya pribadi, ini merupakan tahun yang indah, karena saya bisa sering sowan menghadap Pengasuh; Abah Nafi’ Abdillah, mulai meminta tanda tangan beliau sampai urusan-urusan lain berkenaan permasalahan pondok.
Suatu siang di tahun itu, ada seorang tamu yang mengaku sebagai reserse polisi hendak sowan Abah. Karena pada siang itu Abah sedang mengajar Matole’ banat, maka kemudian tamu tersebut mencari pengurus pondok.
Saya menemuinya, mempersilakan masuk kantor pondok. Belum sempat duduk, tamu tersebut langsung bertanya; “Mas, di pondok sini ada santri baru yang namanya Muchit?”.
Saya sedikit gemetar. Muchit, nama yang baru kemarin saya dengar sebagai seorang buronan kepolisian memang ada di sini. Kemarin, dia sowan langsung menghadap Abah dan berikrar untuk taubat dan berharap untuk diterima nyantri di sini. Nama Muchit sendiri di lingkungan kampung sekitar sini sudah cukup populer aksi kriminalnya. Pernah menjadi narapidana kasus pencurian sarang burung walet, kasus pembunuhan, pembacokan warga, dan tawuran antar kampung. Dan pada kasus yang sekarang, saya dengar dia habis membacok seorang kondektur bis, lantaran kondektur tersebut menolak memberi upeti jatah mabuk untuknya.
Sekarang jelas, bahwa tamu yang sedang mencarinya ini adalah seorang reserse polisi. “Saya tidak tahu Pak,” jawab saya. “Betul tidak tahu mas?”, tanyanya lagi. “Mungkin bapak lebih baik sowan langsung ke Abah nanti sore sepulang Abah mengajar”, jawabku untuk menghindari pertanyaannya lebih lanjut. “Hati-hati ya mas, kalau kamu menyembunyikan seorang buronan, kamu juga nanti bisa ditahan”, pesan pak polisi sebelum pamit.
Selepas pak polisi tersebut pergi, saya dengan cepat mencari Muchit. Ternyata dia sedang tidur siang di kamar pojok ndalem Abah. Terlihat dari baju yang tersibak, badannya yang penuh tato. Saya membangunkannya dan berpesan kepadanya untuk tidak keluyuran kemana-mana. “Kamu harus tetap berlindung di sini, sampai Abah yang nanti memutuskan permasalahanmu.” Dia mengangguk dan mengucap terima kasih berulang-ulang.
Jam 5 sore, pintu depan ndalem Abah terbuka, pertanda bahwa Abah mempersilakan siapa saja yang hendak bertamu. Saya menunggu di depan, dan pak polisi datang tepat waktu. Saya mempersilakannya masuk ke ndalem. Menunggu sebentar, Abah miyos dan kami bersalaman. Saya mendekat Abah dan matur mengenai sosok tamu ini. Dan pak polisi menyambung menjelaskan maksud kedatangannya.
Abah diam sejenak, lalu ngendikan, “Kalau seandainya dia (Muchid) biar tetap di sini dan saya yang akan mengurusnya, pripun?”. Belum sempat pak polisi menjawab, Abah melanjutkan, “Biaya kasus, denda, dan tetek bengeknya pinten?”.
Pak polisi terdiam. Sosok yang tadi siang saya kenal garang dan tegas, sekarang menjadi lembut dan santun, “Nggeh mpun pak yai, kulo ndere’ke mawon.”
Abah tersenyum, sekejap masuk ke dalam dan keluar dengan menggenggam segepok uang dan memberikannya kepada pak polisi, “Monggo, ini biaya pengurusan Muchit”. “Mboten usah pak yai, saya percaya panjenengan”, jawab pak polisi.
Singkat cerita, pak polisi berpamitan, bersalaman, Abah memeluknya, pak polisi balas memeluk, sembari tersenyum.
Saya ikut berpamitan, ketika bersalaman, Abah berpesan,”Muchid diajari ngaji ya, mulai alif ba’, sing sabar, iki amanat.”
Keluar ndalem, saya masih terdiam dalam takjub. Abah Nafi’, seluas itu samudera hati panjenengan, bahkan kepada seseorang yang oleh masyarakat telah dicap sebagai “sampah masyarakat”, panjenengan bersedia menampungnya.
Senantiasa mengalir ke pangkuanmu, Abah Yai Nafi’ Abdillah: al-Fatihah.
Oleh: Ustadz Moamar Elba, alumnus Perguruan Islam Matholiul Falah (PIM) Kajen Pati.
*Demikian Kisah Kiai Nafi’ Kajen Mendidik Santri Preman Buronan Polisi, semoga manfaat.