Kisah Klakson Motor Gus Kelik Krapyak dan Doa Rongpuluh Ewu
“Har, ayo melu aku neng mBantul”. (Har, ayo ikut saya ke Bantul)
Itulah ajakan ala Gus Kelik yang selalu terngiang. Beliau bermotor ria, blusukan komplek H, sambil berklakson tak henti-hentinya. Sudah lama sih, sekitar 16 tahun yang lalu. Tidak sering sih, masih bisa dihitung dengan jemari, tapi itu bagi aku sangat berarti.
“Nggih Gus”, jawabku semangat bingits sambil bergegas ke kamar ngambil helm bathok, helm mirip pekerja proyek yang ngga ada cliknya. Di Jogja, dulu helm bathok belum expired. Masih diparengaken.
Oh ya….komunitas komplek H selain banyak yang bermarga Gus, atau minimal nge-Gus juga terkenal dengan komplek “wali”. Karena para Sunan berkumpul di sana. Ada Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga juga pertapaanku Sunan Kudus. Hanya ada satu Sultan di sana, yaitu Sultan Agung. Jadi biasa disebut Komplek Sunan’s.
Jangan heran, kalo penghuninya banyak yang macak jadi wali. Ada “Wali Kaskurli’, Kasta Ngukur Gili, yang kemana-mana jalan kaki. Wiridnya Jaulah. Walo (Jau)h tetap mau o(lah) raga, bahkan pulangnya masih sempat olah-olah. Ajian andalannya Maulana. Mau-mau ajalah nebeng ya. Karena ngga punya (juga parahnya ngga bisa naik) motor. Kobutri jalur 16 atawa DAMRI jalur 15 adalah ajian pamungkasnya.
Juga ada yang memproklamirkan diri sebagai “Wali Bormajali”. Boro-boro mau jalan kaki. Dijamin ora tau ngambah lemah. The flying man. Penuh fasilitas keberkahan bisa (minimal sepeda onthel), motor atau bahkan mobil. Pergi kuliah, jalan-jalan, malam mingguan atau bahkan sekedar untuk dinner di warung Mbok Yem. Yang jelas aku bukan tipe “wali” ini.
Aku pasti dibelakang, Gus Kelik di depan. Pakai motor.. kalo nda salah jenis Supra.
Helm standar tak pernah ketinggalan. Kecepatan maksimal 40 km/jam. Santai bin enjoy tentu. Sepanjang jalan semua disapa. Kalkson motor tak pernah henti. Theet thetttt theettt…. thetttt theettt theettt ….
Ada yang heran, kaget, karena ngga paham, tapi ngga sedikit yang senyum plus melambaikan tangan gembira tanda sudah kenal akrab. Pas lampu merah, motor berhenti. Kalo ada cewek, spontan beliau menyapa :”Ceweeeee….!!!” Sambil menoleh ke arahnya. Sebuah sindiran kuat bagiku yang ngga bisa se-PD itu, kala itu.
Tiga tahun yang lalu, aku ke Jogja. Jam sudah jam 11 malam. Sengaja aku turun di Dongkelan dan terus berjalan lewat Krapyak. Sambil sedikit sombong, aku terus memandang sambil menerawang. Walo cuma predikat maqbul, aku pernah di LKIM lho. Apalah artinya mumtaz kalo ngga maqbul hehe..Terus aku bergumam: andai ketemu Gus Kelik….
Pas di depan pintu gerbang ke masjid, tiba-tiba ada suara motor dengan sorot lampu yang sangat tajam. “Sopo iku …?”. Tanya beliau.
“Kulo gus, kulo Dalhar saking Cilacap…”. Aku kaget. Mencium tangan beliau dengan segera. Beliau pun ngendiko.
Satu hal yang masih aku ingat : ta’ donga’ ke yo,……. rongpuluh ewu wae,…
Al Faatihah…
Demikian Kisah Klakson Motor Gus Kelik Krapyak dan Doa Rongpuluh Ewu. Semoga bermanfaat.
Penulis: Dalhar Hilya, Cilacap.