Kisah Pertemuan Dua Kiai Suyuthi Saat Berguru Kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
KH Ahmad Suyuthi merupakan sosok kiai yang alim tetapi rendah hati. Kontribusinya dalam forum Sidang Syuriah Bulanan di pendopo maqbaroh Syeikh KH Ahmad Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, diakui para ulama dan tokoh masyarakat.
Khususnya ketika PCNU dipimpin oleh sahabat karibnya, KH Suyuthi Abdul Qodir, Pendiri Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan.
Katib Syuriah KH Abdul Hadi Kurdi menceritakan, Ketika dia ditunjuk Kiai Suyuthi Guyangan menjadi Katib Syuriah pada tahun 1978, waktu itu saya masih lajang, saya sering satu majlis dengan Kiai Suyuthi Langgen. Beliau sangat aktif saat sidang syuriah di Kajen.
Menurutnya, Mbah Suyuthi merupakan salah satu kiai kampung yang bersahaja dan kharismatik. Senada dengan Kiai Hadi, salah seorang santri yang kini menjadi guru senior di Guyangan, Kiai Muhammad Salim, menyatakan bahwa penguasaan Mbah Suyuthi terhadap kitab kuning sangat mumpuni.
“Kiai Suyuthi itu orang alim. Beliau itu ‘macan’ bagi masyarakat Langgen dan sekitarnya,”.
Ada cerita menarik tentang Mbah Suyuthi dari putranya yang kelima, Kiai Moh Asrori (67).
Suyuthi muda awalnya menimba ilmu kepada KH Syamsul Hadi di daerah Pati selatan, tepatnya di Desa Sumberejo Kecamatan Jaken, 25 kilometer tenggara kota Pati.
Karena kecerdasannya, oleh sang guru Suyuthi disarankan melanjutkan ngaji kepada Hadratusy Syaikh KH M Hasyim Asy’ari Tebuireng. Di sana, Suyuthi Langgen berjumpa Suyuthi Guyangan. Anehnya, lanjut Asrori, Mbah Suyuthi kembali mondok lagi di Sumberejo, tempat pertamanya menuntut ilmu.
Suatu ketika, usai ngaji kitab di serambi masjid, Mbah Syamsul Hadi yang ketika mengajar ngaji kerap membawa serta putri pertamanya, Sholihati. Mbah Syamsul lalu bertanya kepada Sholihati yang duduk di pangkuannya.
“Nduk, siapa yang kamu pilih sebagai calon suamimu?”
Sholihati yang masih kecil dan lugu tiba-tiba mengarahkan jari telunjuk mungilnya tepat ke arah Suyuthi muda.
Singkat cerita, pernikahan antara Suyuthi dan Sholihati yang saat itu berusia 9 tahun pun dilaksanakan. Meski demikian, Suyuthi tetap melanjutkan pengembaraan keilmuannya ke beberapa pesantren di Rembang dan Jombang.
Sholihati kecil dengan setia menunggu kedatangan sang suami dengan menyimpan telur ayam untuk bekal kembali ke pondok. Hal ini dilakukannya untuk membantu meringankan sang suami dalam mencari ilmu.
Setelah Nyai Sholihati cukup usia untuk diajak membangun rumah tangga, diboyonglah sang istri menuju kampung halamannya di Langgenharjo usai boyongan dari pesantren. Hal ini dilakukan Mbah Suyuthi setelah dipanggil pulang kedua kakaknya, Haji Abdus Shomad dan Haji Markhaban, untuk menyebarkan agama Islam.
Pasalnya, kakak pertama yang menjabat petinggi desa (birokrat) dan kakak kedua yang anggota militer itu bersepakat jika sang adik bungsu menjadi tokoh agama di kampungnya.
Dari pernikahannya dengan Nyai Sholihati, Mbah Suyuthi dikaruniai delapan orang putra dan putri: Moh Ma’shum, Ummi Kaltsum, Asiyah, Romlah, Moh Asrori, Moh Asyhari, Moh Asy’ari, dan Moh Masykuri.
Kenapa beliau tidak mendirikan pesantren. Padahal, kealiman beliau sangat diakui?
Ketika ditanya mengapa Mbah Suyuthi tidak mendirikan pesantren sebagaimana sahabat karibnya, KH Suyuthi AQ, yang mendirikan Pesantren Raudlatul Ulum di Guyangan,
Mungkin Mbah Suyuthi merasa tidak layak membangun pesantren lantaran sudah ada di Guyangan dan Kajen. Rasa ta’dzimnya kepada KH Suyuthi Guyangan dan KH Abdullah Salam Kajen membuat Mbah Suyuthi menempuh jalan lain.
Demikian Kisah Pertemuan Dua Kiai Suyuthi Saat Berguru Kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Semoga bermanfaat.