Kisah Songkok Kiai As’ad Mengelabuhi Pesawat dan Tank Militer Belanda
Syi’ib Ali adalah sebuah perkampungan dekat Masjidil Haram Makkah. Di kampung itu, lahir Kiai Raden As’ad tahun 1897 Masehi. Ayahandanya bernama Raden Ibrahim atau dikenal dengan sebutan KHR. Syamsuĺ Arifin dan Ibundanya Siti Maimunah.
Kiai Raden As’ad adalah keturunan Bendoro Saut atau Tumenggung Tirtonegoro Bupati Sumenep di tahun 1750 Masehi. Bintoro Saut adalah keturunan Pangeran Ketandur cucu Sunan Kudus.
Dalam nasabnya, beliau adalah Kiai As’ad bin Samsul Arifin bin Kiai Ruham (Kiai Abdurrahman), bin Bujuk Bagandan (Sidobulangan) bin Bujuk Cendana (Pakong Pamekasan) bin Raden Makhdum ibrahim (Sunan Bonang) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Kiai Raden As’ad seorang pejuang dan banyak merekut Ribuan Orang di antaranya dari Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi, Jember dan pulau Madura. Barisan pejuang tersebut dinamakan Barisan “PELOPOR” . Yang unik, barisan Pelopor tersebut juga dari kalangan penjahat/bajingan yang di gembleng oleh Kiai Raden As’ad untuk membela Negara.
Kiai Raden As’ad berjuang di masa Belanda, pengusiran terhadap Jepang dan penumpasan G 30 S/PKI.
Beliau juga menjadi mediator berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ dan Anggota Konstituante pada tahun 1957-1959.
Kiai As’ad juga dikenal dengan karomahnya, ilmu keagamaannya yang sangat luar biasa, dan dipadukan dengan ilmu bela diri yang membuatnya dikenal sakti mantra guna. Termasuk disebut figur gagah berani.
Dalam catatan KH Abdul Mun’im Dz, dijelaskan bahwa saat itu agresi militer sekutu kembali datang di Indonesia. Kali ini mereka sudah menyiapkan titik-titik strategis untuk diserang. Mengingat bahwa Indonesia memiliki kyai-kyai sakti yang menjadi penghalang lajunya kolonialisasi. Salah satu titiknya adalah daerah tapal kuda Situbondo & targetnya yakni pesantren asuhan KH. As’ad Samsul Arifin.
Saat itu pesawat Belanda mencari letak pesantren asuhan Kiai As’ad. Beliau menyembunyikan keberadaan pesantrennya dengan wasilah menaruh songkok beliau di pelataran halaman pesantren serta menyuruh santrinya untuk memagari pesantren dengan benang. Songkok dan benang tersebut sebelumnya telah dibacakan hizib oleh Kiai As’ad yang mendengar kabar kembalinya sekutu ke Indonesia.
Walhasil, pesawat Belanda tidak menemukan keberadaan pesantren Kiai As’ad dan tank-tank Belanda tidak bisa mendeteksi keberadaan pesantren tersebut.
Di hari selanjutnya, beliau menyuruh seorang santri untuk meletakkan songkok beliau di tengah hutan. Tanpa ba-bi-bu karena ini perintah kiai, santri tersebut membawa songkok dan meletakannya di tengah hutan sesuai perintah Kiai As’ad. Saat pesawat tempur Belanda kembali melacak keberadaan pesantren Kiai As’ad, akhirnya mereka menemukan bangunan pesantren besar di tengah-tengah hutan tersebut.
Walhasil, mereka membom-bardir pesantren tersebut sampai rata dengan tanah. Keesokan harinya, Kiai As’ad memerintah santri itu untuk mengambil songkok yang ia letakkan sebelumnya di hutan. Sesampainya di tengah hutan, santri tersebut kaget bukan kepalang menemukan tengah-tengah hutan yang hancur lebur akibat bom bardir.
Kagetnya bertambah saat menemukan songkok Kiai As’ad masih utuh tanpa penyok/rusak sedikitpun.
Melalui kisah ini kita dapat belajar bahwa para ulama’ dan kyai berjuang mendirikan bangsa ini bukan hanya berbekal logistik, pikiran dan kekuatan fisik. Akan tetapi juga disertai mujahadah pada Allah baik melalui tirakat berpuasa maupun amalan wirid dan hizib.
Semoga kita dapat belajar serta meneruskan tradisi para ulama’ dan kyai-kyai pendahulu kita. Amiin…
Kiai As’ad berpulang ke rahmatullah dalam usia 95 tahun pada tanggal 4 Agustus 1990 M dan dimakamkan di Kompleks PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Demikian kisah songkok Kiai As’ad melawan pesawat tempur dan tank militer Belanda, semoga kita semua mendapatka aliran barokah dari beliau. Amin ya robbal Alamin.
Penulis: Abu Umar, pecinta NU
Editor: Mas Ahmad