Penjelasan Hukum Haram Dan Makruh Menurut Ushul Fiqih

Pertanyaan: Bagaimana Penjelasan Hukum Haram Dan Makruh Menurut Ushul Fiqih?

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Bacaan Lainnya

Ada sail titipan di dalam kitab

ورقات؛ ؛ ؛ويكفي في صدق العقاب وجوده لواحد من العصاة مع العفو عن غيره؛. .

sail nya bgaimana maksud dari kalimat tersebut? Terimakasih.

[Muhammad El Andalusy]

Jawaban atas pertanyaan Penjelasan Hukum Haram Dan Makruh Menurut Ushul Fiqih

Wa’alaikum salam Wr. Wb.

Dalam kesempatan ini yai mushonif menerangkan tentang haram dan makruh

والمحظور من حيث وصفه بالحظراى الحرمة مايثاب على تركه امتثاﻻ ويعاقب على فعله ويكفى فى صدق العقاب وجوده لواحد من العصاة معالعفو عن غيره ويجوزان يريد ان يترتب العقاب على فعله كماعبربه غيره فلاينافى العفو

Penjelasan: Al-Mahdhûr juga disebut dengan istilah: muharrom, haram, dzanbu (dosa), mazjúr ‘anhu, mutawa’ad ‘alaih dan hajru. Pengertian al-mahdhúr (haram) adalah :”Suatu perkara yg jika ditinggalkan, dgn niat mematuhi perintah Allah, akan mendapatkan pahala & jika dikerjakan akan mendapatkan siksa”. Dengan definisi seperti ini, maka makruh tahrim juga termasuk dalam definisi haram, karena makruh tahrim jika dikerjakan akan mendapatkan siksa dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Hanya saja para ulama sedikit membedakan antara haram dengan makruh tahrim, sebagai berikut:

الحرام ماثبت نهيه بدليل قطعى ﻻيحتمل التأويل”

Harahm adalah suatu perkara yang dilarang berdasarkan dalil qoth’i yang tidak menerima untuk di takwili dengan pengertian yang lain”. Sedangkan makruh tahrim

والمكروه كراهةتحريم ماثبت نهيه بدليل يحتمل التأويل

“sesuatu yang dilarang berdasarkan suatu dalil yang masih bisa di takwili dengan pengertian yang lain”. Sedangkan perbedaan antara makruh tanzih dan makruh tahrim adalah: أن كراهة التنزيه ماﻻ يعاقب على فعله ,”makruh tanzih, suatu perkara yg jika dilakukan tdk mendapat siksa”.وكراهةالتحريم مايعاقب على فعله “makruh tahrim, adalah suatu perkara yg jika dilakukan akan mendapat siksa”.

Meninggalkan perkara haram atau makruh, akan mendapatkan pahala, apabila disertai dengan tujuan mematuhi perintah Allah. Apabila karna takut atau malu kepada manusia dsb. Maka tidak akan mendapatkan pahala. Misalnya tidak mau berzina karena malu kepada manusia lainya, tidak mau mencuri karena takut ketahuan orang jadi malu….dsb, maka meninggalkan perbuatan haram seperti ini tidak akan mendapatkan pahala.

Berbeda dengan perkara wajib dan sunnah, bagi orang yang mengerjakannya akan tetap mendapatkan pahala, meski tidak disertai tujuan mematuhi perintah Allah. Karena perkara wajib dan sunah bisa dianggap sah dan mencukupi dari tuntutan taklif, jika dalam pelaksanaannya disertai niat. Sedangkan meninggalkan perkara haram dan makruh, untuk dianggap sah, tidak harus disertai niat. Namun, ada juga sbagian perkara wajib yang harus di niati: sepeti memberi nafkah untuk istri, mengembalikan barang titipan,,,dsb. Perkara wajib semacam ini, untuk bisa mendapatkan pahala, harus disertai tujuan mematuhi printah allah (قصدالامتثال).Untuk masalah

Makruh, mushonif menulis:

والمكروه من حيث وصفه بالكراهةمايثاب على تركه امتثاﻻ وﻻ يعاقب على فعله

Penjelasan: Makruh secara bahasa berarti: perkara yang dibenci (المبغوض). Sedangkan menurut istilah adalah: “suatu yang akan mendapatkan pahala jika ditinggalkan, dengan tujuan mematuhi perintah Allah, dan tidak akan disiksa jika dikerjakan”.Para ulama Mutaqoddimin tidak membedakan antara makruh dengan khilaful-Aula. Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, pengertian dari khilaful aula adalah:

ماكان بنهى غيرمخصوص كالنهى عن ترك المندوبات المستفادمن أوامرهالأن الأمر بالشئ نهى عن ضده.

“sesuatu yg dianjurkan untuk ditinggalkan, namun tdk berdasarkan larangan secara jelas, seperti: anjuran untuk tidak meninggalkan perkara-perkara sunah, yang di faham dari perintah untuk melaksanakannya, karena memerintahkan sesuatu berarti melarang kebalikannya”.

Ini penjelasan dalam syarahnya

[تعريف المحظور]والمحظور من حيث وصفه بالحظر أي الحرمة ما يثاب على تركه امتثالاً ويعاقب على فعله ).[ويكفي في صدق العقاب وجوده لواحد من العصاة مع العفو عن غيره.ويجوز أن يريد ويترتب العقاب على فعله كما عبر به غيره فلا ينافي العفو]قال العبادي: (وأورد على هذا التعريف أن العفو جائز واقع فيخرج عن التعريف الحرام المعفو عن فعله فلا يكون جامعاً وأجاب الشارح بجوابين: أحدهما: أنه يكفي صدق العقاب وتحققه على فعله وجوده لواحد مثلاً من العصاة بفعله مع العفو عن غيره منهم ولا ينافيه أن الفعل مفرد مضاف لمعرفة لما تقدم في نظيره ووجوده لواحد من العصاة لا يتخلف على ما تقدم.والثاني: أنه يجوز أي يصح أن يريد المصنف بقوله ويعاقب على فعله وإن كان ظاهراً في وجود العقاب بالفعل معنى ويترتب العقاب أي استحقاقه، أو أراد بالترتب الاستحقاق على فعله بأن ينتهض فعله سبباً للعقاب كما أي حال كون هذا المعنى المراد مماثلاً لمعنى ما عبّر به أو حالة كون هذا اللفظ الذي أراد معناه مماثلاً للفظ الذي عبّر به غيره أي غير المصنف فلا ينافي حينئذ قوله ويعاقب على فعله العفو عن فاعله) شرح العبادي ص28 – 29

Maksud dari kalimat tersebut yang disebutkan dalam kitab Waroqot, yakni:

ويكفي في صدق العقاب وجوده لواحد من العصاة مع العفو عن غيره

Yaitu untuk membuktikan kebenaran bahwa adanya siksaan bagi para pelaku ma’shiat cukup dengan menyiksa satu orang dari mereka. dan yang lain dimaafkan. Tahaqquqnya hal ini tidak ada keraguan sama sekali. Bukanlah menyiksa 1 orang dari beberapa pelaku ma’shiat itu mentiadakan keadilan, dan bentuk terjadinya penyiksaan terhadap 1 orang itu tidak menafikan terhadap pengertian al-wajib itu sendiri. Karena ada kalanya pembebasan siksaan bagi yang lain itu karena ada beberapa hal dari perbuatan baik yang dilakukan para pelaku ma’shiat yang menyebabkan mereka terbebas dari siksaan yang diancamkan.

Adakalanya sebagai bentuk pemberitahuan bahwa ampunan itu ada tanpa melihat ma’shiat yang sama yang dilakukan oleh pelaku ma’shiat. misalkan ada 10 orang yang melakukan ma’shiat. Hanya 1 orang dari mereka yang disiksa dan yang 9 dimaafkan. Siksa yang dilakukan kepada 1 orang tersebut sebagai bentuk kebenaran adanya siksaan yang diancamkan bagi para pelaku ma’shiat. dan yang lain sebagai bentuk kebenaran adanya ampunan bagi pelaku ma’shiat sehingga terbebas dari siksaan. nah jika sudah dipahami dari maksud kalimat dari waroqot tersebut.

Maka akan mengerti bahwa hal itu menjawab sebuah pernyataan yang mengatakan: “sesungguhnya siksaan atas dasar meninggalkan kewajiban itu tidak diketahui (ghoiru ma’lum), dan kemungkinan untuk dimaafkan itu bisa saja terjadi, jadi kenyataan tentang adanya siksaan yang disebabkan meninggalkan itu tidak diyakini.” keterangan lengkap lihat: – syarhul waroqot hal. 4. syaikh ahmad ad-dimyathiy – syarhul waroqot hal. 17-18. tajuddin ibn al-farkah, darul kutub ilmiyah – syarhul waroqot hal. 147. jalaluddin muhammad bin ahmad al-mahalli asy-syafii, darul kutub ilmiyah.wallohu a’lam bish-showab.

Wallohu a’lam. Semoga bermanfaat.

 

Sumber Baca Disini
Silahkan baca juga artikel terkait.

Pos terkait