Saudara Laki-Laki Seibu, Apakah Termasuk Wali Nikah?

Saudara Laki-Laki Seibu, Apakah Termasuk Wali Nikah?

PERTANYAAN: Saudara Laki-Laki Seibu, Apakah Termasuk Wali Nikah?

Assalamualaikum Wr. Wb.

Deskripsi: Seorang perempuan hamil di luar nikah. Dan saat melahirkan, ia melahirkan sepasang bayi kembar lelaki-wanita. Apakah saudara lelakinya itu BOLEH atau TIDAK BOLEH MENJADI WALI NIKAH untuk saudari kembarnya?

Bacaan Lainnya

Mungkin dihukumi “saudara seibu”, dan berdasar keumumuman hadits “As sulthānu waliyyu man lā waliyya lahā”. Atas jawaban dan ibarahnya, saya sampaikan terimakasih. [Zainur Rahman van Hamme]

 

JAWABAN dari pertanyaan Saudara Laki-Laki Seibu, Apakah Termasuk Wali Nikah?

Wa’alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh. Ada 3 masalah dalam hal ini yaitu:

1. Nasab, Wali, Waris dan Nafkah Anak Hasil Zina.

Pernah dibahas dalam Munas Alim Ulama NU di Lombok 2017.

Peserta Munas Alim Ulama NU di Lombok 2017 mengartikan anak di luar nikah sebagai anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan di luar ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama.

Peserta Munas Alim Ulama NU mengikuti tafshil dalam rumusan hukum fikih mengenai masalah ini. Pertama, jika perempuan yang hamil itu dinikahi secara syar’i yakni dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya, maka berlaku hukum nasab, wali, waris, dan nafkah.

Kedua, jika perempuan yang hamil itu tidak dinikahi secara syar’i, maka ada tafsil (rinci):

(A) Jika anak (janin) tersebut lahir pada saat ibunya belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja;

(B) jika anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah biologisnya atau orang lain, di sini ada tafsil:

(i) Jika (janin) lahir lebih dari 6 bulan (dari akad nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya. Tetapi

(ii) Jika lahir kurang dari 6 bulan (akad nikah), maka anak itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya, yakni hanya bernasab pada ibunya.

Mereka mengutip salah satunya keterangan Al-Mawardi yang mengangkat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih sebagai berikut:

 

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزَّانِيَةُ خَلِيَّةً وَلَيْسَتْ فِرَاشًا لِأَحَدٍ يَلْحَقُهَا وَلَدُهَا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ، وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ، وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ الْحَدِّ وَيَلْحَقُهُ إِذَا مَلَكَ الْمَوْطُوءَةَ وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ

 

Artinya; “Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai  persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya (kepada ibunya).

Menurut Madzhab Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzina meskipun ia mengakuinya.

(Tidak ada nasab,tidak ada perwalian,tidak ada perwarisan,tidak ada pernafkahan)

Menurut Al-Hasan Al-Bashari : Dinisbahkan pada lelaki yg berzina jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini dipakai oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya setelah sanksi had (setelah dilaksanakan hukuman zina) dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia memiliki budak perempuan (yg telah diwathi’,dijimak) meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya (kasus ini yg hamil adalah seorang budak sahaya).

Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum persalinan. Tetapi jika lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinisbahkan kepadanya,”

(Lihat Abul Hasan Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994 M/1414 H], cetakan pertama, juz VIII, halaman 162).

 

Lalu bagaimana pandangan NU terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait masalah ini?

Sebagaimana diketahui bahwa MK memutuskan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Peserta Munas NU 2017 memandang bahwa putusan MK tidak sepenuhnya bertentangan dengan rumusan hukum fikih.

Intinya menurut madzhab yang dianut mayoritas muslim RI yaitu Madzhab Syafi’i adalah bahwa anak pure (murni) hasil zina maka nasab ikut pada ibunya. Maka otomatis Ibunya adalah mahrom bagi Si Anak Hasil Zina.

Dan tidak ada nisbah bagi Ayah biologisnya. Maka tidak ada Nasab serta tidak ada Perwarisan (tidak saling mewarisi), tidak ada Perwalian, tidak ada pernafkahan (tidak wajib menafkahi) ,  dan tidak ada permahroman (bukan mahrom. Kecuali jika nanti Si Pezina laki-laki ini menikahi ibunya maka jadi mahrom bagi si Anak Hasil zina). (1).

Dan ada khilaf dalam masalah permahroman ini, bersepakat para ulama ahli fiqih yg berkata akan keharaman anak hasil zina dengan laki-laki biologisnya. Seperti diterangkan dalam Ensiklopedia Fiqih Islam (2).

 

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ الْقَائِلُونَ بِتَحْرِيمِ وَلَدِ الزِّنَى مِنَ الزَّانِي بِأُمِّهِ وَهُمُ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى وَلَدِ الزِّنَى أُصُول الزَّانِي وَفُرُوعُهُ، لِلْجُزْئِيَّةِ بَيْنَهُمْ [مجموعة من المؤلفين، الموسوعة الفقهية الكويتية، ٢٢١/٤٥]

والله أعلم

 

2. Masalah kedua adalah status kedua anak kembar tersebut adalah saudara seibu, maka keduanya selayaknya kakak beradik satu ibu. Maka statusnya adalah Mahrom. Karena bersaudara satu ibu. Sebagaimana diterangkan oleh Imam Annawawi:

 

وتحرم عليه الاخت من الاب والاخت من الام والاخت من الاب والام. [النووي ,المجموع شرح المهذب ,16/213]

 

Maknanya; Dan Harom bagi Laki-laki menikahi Saudara perempuannya sebapak, dan saudara perempuannya seibu, dan saudara perempuan sebapak dan seibu. [Annawawi, Almajmu’ Syarah Almuhadzdzab, 16/24].

 

Dan mereka berdua juga saling mewarisi. (3).

 

3. Masalah ke tiga adalah perwalian anak pure hasil zina. Sudah diterangkan dalam masalah kesatu bahwa bapak biologisnya tidak boleh menjadi wali nikah karena anak hasil pure zina tidak dinisbahkan pada bapak biologisnya.

Maka wali nikahnya adalah Hakim (Dalam hal ini di NKRI Hakimnya adalah Kepala KUA atau naibnya yang beliau tunjuk. Atau jika tidak ada KUA maka mengangkat seseorang untuk menikahkan atau disebut Muhakkam.(4)).

Wali Nikahnya adalah Hakim, berdasar hadis:

 

اَلسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ _ رواه أحمد

 

“Sulthan (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. [HR Ahmad]. (5).

Adapun saudara kembarnya ataupun saudara seibu saja maka tidak termasuk kedalam urutan Wali Nikah. Maka bukan termasuk Wali Nikah (6).

URUTAN WALI NIKAH

Urutan Wali dan yang berhak menjadi wali nikah adalah sebagai berikut:

1 – Ayah kandung

2 – Kakek, atau ayah dari ayah

3 – Saudara se-ayah dan se-ibu

4 – Saudara se-ayah saja

5 – Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu. Dan Kebawah.

6 – Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja. Dan kebawah.

7 – Saudara laki-laki ayah. (Syaqiq; paman seayah seibu didahulukan, kmudian paman seayah).

8 – Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah. Dan kebawah. (7).

 

Daftar Ibaroh :

1.  شرح المحلي وحاشية عميرة : (242/3)

(وَيَحْرُمُ عَلَى الْمَرْأَةِ وَلَدُهَا مِنْ زِنًى وَاَللَّهُ أَعْلَمُ) ، لِثُبُوتِ النَّسَبِ وَالْإِرْثِ بَيْنَهُمَا (قوله : وَيَحْرُمُ عَلَى الْمَرْأَةِ) مِثْلُهَا الْمَحَارِمُ الْمُدْلُونَ بِهَا كَبِنْتِهَا وَأُمِّهَا نَسَبًا أَوْ رَضَاعًا

فَصْلٌ: فَأَمَّا وَلَدُ الزِّنَا فَحُكْمُهُ حُكْمُ وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ فِي نَفْيِهِ عَنِ الزَّانِي ولحوقه بالأم وعلى مَا مَضَى مِنَ الِاخْتِلَافِ هَلْ تَصِيرُ الْأُمُّ وَعَصَبَتُهَا عَصَبَةً لَهُ أَمْ لَا؟ غَيْرَ أَنَّ تَوْأَمَ الزَّانِيَةِ لَا يَرِثُ إِلَّا مِيرَاثَ أَخٍ لِأُمٍّ بِإِجْمَاعِ أَصْحَابِنَا وَوِفَاقِ مَالِكٍ، وَإِنِ اخْتَلَفُوا فِي تَوْأَمِ الْمُلَاعَنَةِ فَإِنِ ادَّعَى الزَّانِي الْوَلَدَ الَّذِي وَلَّدَتْهُ الزَّانِيَةُ مِنْهُ، فَلَوْ كَانَتِ الزَّانِيَةُ فِرَاشًا لِرَجُلٍ كَانَ الْوَلَدُ فِي الظَّاهِرِ لَاحِقًا بِمَنْ لَهُ الْفِرَاشُ، وَلَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي لِادِّعَائِهِ له لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ “.

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزانية خلية وليست فراشا لأحد يلحقها ولدها فمذهب الشافعي أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي، وَإِنِ ادَّعَاهُ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بعد قيام البنية وبه قال ابن سيرين وإسحاق ابن رَاهَوَيْهِ وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادعاه بعد الحد ويلحقه إذا ملك الموطوة وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ، ثُمَّ اسْتَدَلُّوا جَمِيعًا مَعَ اخْتِلَافِ مَذَاهِبِهِمْ بِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَلِيطُ أَوْلَادَ الْبَغَايَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ بِآبَائِهِمْ فِي الْإِسْلَامِ، وَمَعْنَى يَلِيطُ أَيْ يلحق.

[الماوردي، الحاوي الكبير، ١٦٢/٨]

أسنى المطالب في شرح روض الطالب ج ٣ صــ ٢٠

(الْبَابُ السَّابِعُ: فِي مِيرَاثِ وَلَدِ الزِّنَا) وَوَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ (وَالْمَجُوسِ وَلَدُ الزِّنَا لَا يُسْتَلْحَقُ) فَلَوْ اُسْتُلْحِقَ لَمْ يَلْحَقْ (بِخِلَافِ الْوَلَدِ الْمُلَاعَنِ عَلَيْهِ) يُسْتَلْحَقُ فَيَلْحَقُ (وَإِنْ كَانَ) ثَمَّ (تَوْأَمَانِ وَلَوْ مِنْ الْمُلَاعَنَةِ لَمْ يَتَوَارَثَا) الْمُرَادُ لَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمَا وَلَا بَيْنَ كُلٍّ مِنْهُمَا  وَبَيْنَ الزَّانِي وَالنَّافِي وَكُلِّ مَنْ أَدْلَى بِهِمَا لِانْقِطَاعِ النَّسَبِ بَيْنَهُمَا (إلَّا بِقَرَابَةِ الْأُمِّ) فَيَتَوَارَثَانِ وَيَرِثُ  كُلٌّ مِنْهُمَا الْأُمَّ وَبِالْعَكْسِ بِقَرَابَتِهِمَا لِثُبُوتِ النَّسَبِ مِنْهَا (وَلَا عَصَبَةَ لَهُ) أَيْ لِكُلٍّ مِنْ وَلَدِ الزِّنَا وَوَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ لِانْقِطَاعِ نَسَبِهِ مِنْ الْأَبِ (إلَّا مِنْ صُلْبِهِ أَوْ بِالْوَلَاءِ بِأَنْ يَكُونَ عَتِيقًا أَوْ أَمَةً عَتِيقَةً فَيَثْبُتُ الْوَلَاءُ لِمَوْلَاهَا عَلَيْهَا دُونَ عَصَبَتِهَا) فَلَا يَكُونُونَ عَصَبَةً لَهُ فِي الْإِرْثِ (لِأَنَّهُمْ لَيْسُوا عَصَبَةً لَهُ) فِي تَحَمُّلِ الْعَقْلِ وَالْوِلَايَةِ

روضة الطالبين ج ٦ صــ ٤٤

الثَّالِثُ : التَّوْأَمَانِ مِنَ الزِّنَا لَا يَتَوَارَثَانِ إِلَّا بِأُخُوَّةِ الْأُمِّ قَطْعًا . وَفِي وَجْهٍ حَكَاهُ الْحَنَّاطِيُّ وَصَاحِبُ ( الْحَاوِي ) : يَتَوَارَثَانِ بِأُخُوَّةِ الْأَبَوَيْنِ . قُلْتُ : هَذَا الْوَجْهُ غَلَطٌ فَاحِشٌ—

2. ط – حُرْمَةُ وَلَدِ الزِّنَا عَلَى أُصُول وَفُرُوعِ الزَّانِي وَحَوَاشِيهِ:

13 – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ الْقَائِلُونَ بِتَحْرِيمِ وَلَدِ الزِّنَى مِنَ الزَّانِي بِأُمِّهِ وَهُمُ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى وَلَدِ الزِّنَى أُصُول الزَّانِي وَفُرُوعُهُ، لِلْجُزْئِيَّةِ بَيْنَهُمْ، أَمَّا غَيْرُ الأُْصُول وَالْفُرُوعِ، كَأَعْمَامِ الزَّانِي وَأَخْوَالِهِ وَإِخْوَانِهِ وَأَخَوَاتِهِ، كَمَنْ زَنَى بِامْرَأَةٍ فَأَنْجَبَتْ بِنْتًا، فَهَل تَحْرُمُ هَذِهِ الْبِنْتُ عَلَى أَخِي الزَّانِي أَوْ عَمِّهِ أَوْ خَالِهِ. .؟ .

قَال الْحَصْكَفِيُّ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ: حَرُمَ عَلَى الْمُتَزَوِّجِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى نِكَاحُ أَصْلِهِ وَفَرْعِهِ عَلاَ أَوْ نَزَل، وَبِنْتُ أَخِيهِ، وَأُخْتِهِ، وَبِنْتُهَا، وَلَوْ مِنْ زِنًى، وَعَمَّتُهُ وَخَالَتُهُ. .، قَال ابْنُ عَابِدِينَ مُعَلِّقًا عَلَى قَوْل الْحَصْكَفِيِّ ” وَلَوْ مِنْ زِنًى ” تَعْمِيمٌ بِالنَّظَرِ إِلَى كُل مَا قَبْلَهُ، أَيْ لاَ فَرْقَ فِي أَصْلِهِ أَوْ فَرْعِهِ أَوْ أُخْتِهِ أَنْ يَكُونَ مِنَ الزِّنَى أَوْ لاَ، وَكَذَا إِذَا كَانَ لَهُ أَخٌ مِنَ الزِّنَى لَهُ بِنْتٌ مِنَ النِّكَاحِ، أَوْ أَخٌ مِنَ النِّكَاحِ لَهُ بِنْتٌ مِنَ الزِّنَى، وَعَلَى قِيَاسِهِ قَوْلُهُ: وَبِنْتُهَا وَعَمَّتُهُ وَخَالَتُهُ، أَيْ أُخْتُهُ مِنَ النِّكَاحِ لَهَا بِنْتٌ مِنَ الزِّنَى، أَوْ أُخْتُهُ مِنَ الزِّنَى لَهَا بِنْتٌ مِنَ النِّكَاحِ، أَوْ أُخْتُهُ مِنَ الزِّنَى لَهَا بِنْتٌ مِنَ الزِّنَى، وَكَذَا أَبُوهُ مِنَ النِّكَاحِ لَهُ أُخْتٌ مِنَ الزِّنَى، أَوْ أَبُوهُ مِنَ الزِّنَى لَهُ أُخْتٌ مِنَ

مجموعة من المؤلفين، الموسوعة الفقهية الكويتية، ٢٢١/٤٥]

النِّكَاحِ، أَوْ أَبُوهُ مِنَ الزِّنَى لَهُ أُخْتٌ مِنَ الزِّنَى، وَكَذَا أَمُّهُ كَذَلِكَ وَنَقَل ابْنُ عَابِدِينَ عَنِ الْبَحْرِ فِي كِتَابِ الرَّضَاعِ، أَنَّ الْبِنْتَ مِنَ الزِّنَى لاَ تَحْرُمُ عَلَى عَمِّ الزَّانِي وَخَالِهِ، لأَِنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ نَسَبُهَا مِنَ الزَّانِي حَتَّى يَظْهَرَ فِيهَا حُكْمُ الْقَرَابَةِ، وَأَمَّا التَّحْرِيمُ عَلَى آبَاءِ الزَّانِي وَأَوْلاَدِهِ فَلاِعْتِبَارِ الْجُزْئِيَّةِ، وَلاَ جُزْئِيَّةَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعَمِّ وَالْخَال، وَمِثْلُهُ فِي الْفَتْحِ هُنَاكَ عَنِ التَّجْنِيسِ. (1)

وَقَال الْمَالِكِيَّةُ: وَحَرُمَ عَلَى الشَّخْصِ أُصُولُهُ، وَهُوَ كُل مَنْ عَلَيْهِ وِلاَدَةٌ وَإِنْ عَلاَ وَفُصُولُهُ وَإِنْ سَفَلُوا، وَلَوْ خُلِقَتِ الْفُصُول مِنْ مَائِهِ الْمُجَرَّدِ عَنِ الْعَقْدِ، وَمَا يَقُومُ مَقَامَهُ مِنْ شُبْهَةٍ، فَمَنْ زَنَى بِامْرَأَةٍ فَحَمَلَتْ مِنْهُ بِنْتًا فَإِنَّهَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ وَعَلَى أُصُولِهِ وَفُرُوعِهِ، وَإِنْ حَمَلَتْ مِنْهُ بِذَكَرٍ حَرُمَ عَلَى صَاحِبِ الْمَاءِ تَزَوُّجِ بِنْتِهِ، كَمَا يَحْرُمُ عَلَى الذَّكَرِ تَزَوُّجَ فَرُوعِ أَبِيهِ مِنَ الزِّنَى وَأُصُولِهِ. (2)

وَقَال الْحَنَابِلَةُ: وَتَحْرُمُ أُخْتُهُ مِنَ الزِّنَى وَبِنْتُ ابْنِهِ مِنَ الزِّنَى وَبِنْتُ بِنْتِهِ مِنَ الزِّنَى وَإِنْ نَزَلَتْ، وَبِنْتُ أَخِيهِ مِنَ الزِّنَى وَبِنْتُ أُخْتِهِ مِنَ الزِّنَى وَكَذَا عَمَّتُهُ وَخَالَتُهُ مِنَ الزِّنَى. (3)

(2) الشرح الكبير 2 250.

(3) كشاف القناع 5 73، والمغني 6 576

[مجموعة من المؤلفين، الموسوعة الفقهية الكويتية، ٢٢١/٤٥]

3.(فصل) ويحرم على الرجل من جهة النسب الام والبنت والاخت والعمة والخالة وبنت الاخ وبنت الاخت لقوله (حرمت عليكم أمهاتكم وبناتكم وأخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الاخ وبنات الاخت) ومن حرم عليه مما ذكرناه بنسب حرم عليه بذلك النسب كل من يدلى به. وان بعد فتحرم عليه الام وكل من يدلى بالامومة من الجدات من الاب والام وان علون.

تحرم عليه البنت وكل من ينتسب إليه بالبنوة من بنات الاولاد وأولاد الاولاد وان سفلن وتحرم عليه الاخت من الاب والاخت من الام والاخت من الاب والام.

وتحرم عليه العمه وكل من يدلى إليه بالعمومه من أخوات الآباء والاجداد من الاب والام أو من الاب أو من الام وان علون.

وتحرم عليه الخالة وكل من يدلى إليه بالخئولة من أخوات الجدات من الاب والام أو من الاب أو من الام وان علون

[النووي، المجموع شرح المهذب، ٢١٣/١٦]

ويحرم عليه بنت الاخ وكل من ينتسب إليه ببنوة الاخ من بنات أولاده وأولاد أولاده وإن سفلن، وتحرم عليه بنت الاخت وكل من ينتسب إليه ببنوة الاخت من أولادها وأولاد أولادها وان سفلن، لان الاسم يطلق على ما قرب وبعد، والدليل عليه قوله سبحانه وتعالى (يا بنى آدم) وقوله تعالى (ملة أبيكم ابراهيم)

[النووي، المجموع شرح المهذب، ٢١٤/١٦]

روضة الطالبين ج ٦ صــ ٤٤

الثَّالِثُ : التَّوْأَمَانِ مِنَ الزِّنَا لَا يَتَوَارَثَانِ إِلَّا بِأُخُوَّةِ الْأُمِّ قَطْعًا . وَفِي وَجْهٍ حَكَاهُ الْحَنَّاطِيُّ وَصَاحِبُ ( الْحَاوِي ) : يَتَوَارَثَانِ بِأُخُوَّةِ الْأَبَوَيْنِ . قُلْتُ : هَذَا الْوَجْهُ غَلَطٌ فَاحِشٌ

4. ثم الحاكم عاما كان او خاصا كالقاضي والمتولي لعقد الأنكحة او لهذا العقد بخصوصه _ حاشية الباجوري على فتح القريب ج ٣ ص ٢٢٩ 

والمراد بمن يتولي عقود الأنكحة هو من يزوج من لا ولي لها او لها ولي غائب الى مرحلتين او عضلها وليها او كان محرما او فقد ولم يعرف موضعه هذا هو الذي تحتاج الي الشروط المذكرة أما لو جاء الولي والزوج الي شخص ليتوسط بينهما في العقد ويلقنهما فلايشترط فيه شيء من الشروط السابقة لأنه لو قال الولي للزوج بحضرة شاهدين عدلين زوجتك بنتي فقال قبلت نكاحها صح وان لم يكن بينهما قاض ولاعالم ولاغيرهما اذا تم ذلك _ عمدة المفتي والمستفتي ج ٢ ص ٥٢١

فرع في فتاوى البغوي أنه إذا لم يكن ولي سوى الحاكم فأمر يستأذنها رجلا بتزويجها فزوجها الرجل بإذنها هل يصح النكاح يبنى على أن استنابة القاضي في شغل معين كتحليف وسماع شهادة يجري مجرى الإستخلاف أم لا إن قلنا نعم جاز قبل استئذانها وصح النكاح وإلا فلا يصح على الأصح كتوكيل الولي قبل الإذن _ روضة الطالبين ج ٧ ص ٧٤

لَوْ عُدِمَ الْوَلِيُّ وَالْحَاكِمُ ، فَوَلَّتْ مَعَ خَاطِبِهَا أَمْرَهَا رَجُلًا .. لِيُزَوِّجَهَا مِنْهُ صَحَّ ؛ لِأَنَّهُ مُحَكَّمٌ ، وَالْمُحَكَّمُ كَالْحَاكِمِ؛ لِشِدَّةِ الْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ.

قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ [ وهو جمال الدين الإسنوي ] : وَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِفَقْدِ الْحَاكِمِ ، بَلْ يَجُوزُ مَعَ وُجُودِهِ ، سَفَرًا وَحَضَرًا .

وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ : جَوَازُ ذَلِكَ مَعَ وُجُودِ الْقَاضِي بَعِيدٌ مِنْ الْمَذْهَبِ وَالدَّلِيلُ ؛ لِأَنَّ الْحَاكِمَ وَلِيٌّ حَاضِرٌ ، وَيَظْهَرُ الْجَزْمُ بِمَنْعِ الصِّحَّةِ ، إذَا أَمْكَنَ التَّزْوِيجُ مِنْ جِهَتِهِ .

وَكَلَامُ الشَّافِعِيِّ مُؤْذِنٌ بِأَنَّ مَوْضِعَ الْجَوَازِ عِنْدَ الضَّرُورَةِ ، وَلَا ضَرُورَةَ مَعَ إمْكَانِ التَّزْوِيجِ مِنْ حَاكِمٍ أَهْلٍ حَاضِرٍ بِالْبَلَدِ ، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ _ مغنى المحتاج —-

5. 25326 – حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى، أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّ عُرْوَةَ أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا (1) ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ – ثَلَاثًا – وَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا، فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ” (2)

  (2) حديث صحيح، وهذا إسنادٌ حسن من أجل سليمان بن موسى. وهو في “مصنف” عبد الرزاق (10472) ، ومن طريقه أخرجه ابنُ راهويه (699) ، وابن الجارود في “المنتقى” (700) ، والدارقطني في “السنن” 3/221، وفي “العلل” 5/ورقة 114، والحاكم 2/168، والبيهقي في “السنن” 7/105. وسلف من طريق إسماعيل ابن عُلَيَّة، عن ابن جريج، برقم (24205) .

[أحمد بن حنبل، مسند أحمد ط الرسالة، ٢٠٠/٤٢]

6.  2) حديث صحيح، وهذا إسنادٌ حسن من أجل سليمان بن موسى. وهو في “مصنف” عبد الرزاق (10472) ، ومن طريقه أخرجه ابنُ راهويه (699) ، وابن الجارود في “المنتقى” (700) ، والدارقطني في “السنن” 3/221، وفي “العلل” 5/ورقة 114، والحاكم 2/168، والبيهقي في “السنن” 7/105. وسلف من طريق إسماعيل ابن عُلَيَّة، عن ابن جريج، برقم (24205) .

[فرع لا يزوج الأخ لأم]

وإن كانت له أخت لأم لا قرابة بينهما غير ذلك.. لم يملك تزويجها.

وقال أبو حنيفة في إحدى الروايتين: (له تزويجها) .

7. فتح القريب

ترتيب الولاية (وأولى الولاة) أي حق الأولياء بالتزويج (الأب، ثم الجد أبو الأب) ثم أبوه وهكذا. ويقدم الأقرب من الأجداد على الأبعد، (ثم الأخ للأب والأم) ولو عبر بالشقيق لكان أحصر، (ثم الأخ للأب، ثم ابن الأخ للأب والأم) وإن سفل، (ثم ابن الأخ للأب) وإن سفل، (ثم العم) الشقيق ثم العم للأب، (ثم ابنه) أي ابن كل منهما وإن سفل (على هذا الترتيب)، فيقدم ابن العم الشقيق على ابن العم للأب.

روضة الطالبين وعُمْدة المُفْتِين ج ٧ ص ٥٩

الطَّرَفُ الثَّانِي: فِي تَرْتِيبِ الْأَوْلِيَاءِ، فَتُقَدَّمُ جِهَةُ الْقَرَابَةِ، ثُمَّ الْوَلَاءِ، ثُمَّ السَّلْطَنَةِ. وَيُقَدَّمُ مِنَ الْقَرَابَةِ الْأَبُ، ثُمَّ أَبُوهُ، ثُمَّ أَبُوهُ، إِلَى حَيْثُ يَنْتَهِي، ثُمَّ الْأَخُ مِنَ الْأَبَوَيْنِ، أَوْ مِنَ الْأَبِ، ثُمَّ ابْنُهُ وَإِنْ سَفَلَ، ثُمَّ الْعَمُّ مِنَ الْأَبَوَيْنِ، أَوْ مِنَ الْأَبِ، ثُمَّ ابْنُهُ وَإِنْ سَفَلَ، ثُمَّ سَائِرُ الْعَصَبَاتِ. وَالتَّرْتِيبُ فِي التَّزْوِيجِ، كَالتَّرْتِيبِ فِي الْإِرْثِ، إِلَّا فِي مَسَائِلَ.

الفقهية الكويتية  ج ٤١ ص ٢٧٥

تَرْتِيبُ الأَْوْلِيَاءِ:

٩١ – ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ الْوَلِيَّ فِي النِّكَاحِ إِذَا كَانَ مُجْبِرًا فَإِنَّهُ يَكُونُ الْمُقَدَّمَ، لاَ يُنَازِعُهُ أَحَدٌ فِي تِلْكَ الْوِلاَيَةِ.

وَذَهَبُوا – فِي الْجُمْلَةِ – إِلَى أَنَّهُ إِذَا تَعَدَّدَتْ أَسْبَابُ وِلاَيَةِ النِّكَاحِ، فَإِنَّهُ يُقَدَّمُ مَنْ كَانَ سَبَبُ وِلاَيَتِهِ الْمِلْكَ، ثُمَّ مَنْ كَانَ سَبَبُ وِلاَيَتِهِ الْقَرَابَةَ، ثُمَّ مَنْ كَانَ سَبَبُ وِلاَيَتِهِ الإِْمَامَةَ، ثُمَّ مَنْ كَانَ سَبَبُ وِلاَيَتِهِ الْوَلاَءَ.

Wallahu a’lam semoga bermanfaat. [MUJAWIB : Abdul Qodir Shodiqi, Aas Ahmad Hulasoh, Muhammad Muzakka, Subhana Ahmada Subhana. [MJ].

Sumber tulisan ada disini.

Silahkan baca juga artikel terkait.

Pos terkait