Dalam  beberapa tulisan sebelumnya telah kami sampaikan tentang empat gerakan  yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi dalam rangka ghazwul fikri  (perang pemahaman) melalui pusat-pusat kajian Islam yang mereka dirikan  atau melalui ulama yang “dibentuk” atau dipengaruhi oleh mereka yakni
1. Paham anti mazhab, umat muslim diarahkan untuk tidak lagi mentaati pimpinan ijtihad atau imam mujtahid alias Imam Mazhab
2.  Pemahaman secara ilmiah, umat muslim diarahkan untuk memahami Al Qur’an  dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-masing dengan metodologi  “terjemahkan saja”  hanya memandang dari sudut bahasa (lughat) dan  istilah (terminologis) namun kurang memperhatikan  nahwu, shorof,  balaghoh, makna majaz, dll
3. Paham anti tasawuf untuk merusak  akhlak kaum muslim karena  tasawuf adalah tentang Ihsan atau jalan menuju  muslim yang Ihsan atau  muslim yang berakhlakul karimah.
4. Paham Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme (SEPILIS) disusupkan kepada umat muslim yang mengikuti pendidikan di “barat”
Salah  satu cara kaum Zionis Yahudi melakukan ghazwul fikri adalah mengangkat  kembali pemahaman Ibnu Taimiyah agar kaum muslim terjerumus kedalam  kekufuran dan memecah belah kaum muslim karena banyak pemahaman Ibnu  Taimiyah menyelisihi pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam  Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat.
Ghazwul  fikri memungkinkan terjadi terhadap  ulama yang memahami Al Qur’an dan  As Sunnah lebih bersandarkan kepada  belajar sendiri (secara otodidak)   melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal  pikiran sendiri.
Contohnya apa yang dilalui oleh ulama   Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana contoh yang diriwayatkan dalam  tulisan pada http://arisandi.com/?p=964 berikut kutipannya
***awal kutipan****
Di  antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya  adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid  besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianlah  meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga  Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan) Ibnu  Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang  diidam-idamkan  oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan  tekanan dari  pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu  `Abdul  Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
Setelah  beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian  beliau berpindah  ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama,  sehingga banyak ilmu-ilmu  yang diperolehinya, terutaman di bidang hadith danmusthalahnya, fiqh  dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa’id) dan tidak ketinggalan pula  lughatnya semua.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan  oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui  metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar  Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah  sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali  sendiri oleh yang bersangkutan.
****akhir kutipan*****
Ulama  Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi pengikut ulama Ibnu Taimiyyah secara  otodidak (belajar sendiri) melalui muthola’ah (menelaah kitab) dan  memahaminya dengan akal pikiran sendiri karena ulama Ibnu Taimiyyah  telah wafat 350 tahun lebih ketika masa kehidupan beliau.
Padahal  ulama-ulama terdahulu telah memperingatkan agar menghindari kitab-kitab  ulama Ibnu Taimiyyah karena pemahamannya telah menyelisihi pemahaman  Imam Mazhab yang Empat, sebagaimana yang disampaikan dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf   maupun pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/07/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
Begitu  juga ulama-ulama negeri kita telah memperingatkan kita untuk  meninggalkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya seperti  contohnya Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,  ulama besar Indonesia  yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar  di Masjidil Haram,  sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19  dan awal abad  ke-20.  Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama-ulama seperti  ulama Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim al Jauziah dan Muhammad bin Abdul  Wahhab telah keluar daripada pemahaman Ahlussunnah  wal Jama’ah dan dan  menyalahi pemahaman para pemimpin ijtihad kaum  muslim (Imam Mujtahid  Mutlak) alias Imam Mazhab. Antara lain tulisannya ialah ‘al-Khiththah  al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh  bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan lain-lain
Berikut contoh pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah yang menyelisihi pemahaman Imam Mazhab.
Ulama Ibnu Taimiyah mengatakan :
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.”  (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah).
Definisi  tersebut tepatnya untuk bid’ah dholalah karena ada  saja perkara baru  (bid’ah) yang terjadi sampai akhir zaman dan tidak  bertentangan dengan   Al Qur’an dan As Sunnah maupun ijma’  (kesepakatan) Salafush Sholeh”.
Pemimpin  ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang  empat, seperti contohnya Imam Syafi’i ra mengatakan,  “Apa  yang baru  terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau  ijma’ atau  ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dholalah.  Dan apa yang  baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal  tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji / hasanah)”
Jika  berpegang pada definisi yang disampaikan oleh ulama Ibnu Taimiyah maka  boleh jadi akan menciptakan ahli bid’ah karena dapat membuat perkara  baru yang tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) karena  mereka akan melarang segala perkara baru (bid’ah) walaupun perkara baru  tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maupun ijma’   (kesepakatan) Salafush Sholeh.
Ahli bid’ah adalah  mereka yang membuat perkara baru atau mengada-ada yang bukan kewajiban  menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, tidak  diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan tidak  dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya.
Rasulullah  mencontohkan kita untuk menghindari perkara baru dalam  kewajiban (jika  ditinggalkan berdosa). Rasulullah meninggalkan sholat  tarawih  berjama’ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan  bahwa  sholawat tarawih adalah kewajiban (ditinggalkan berdosa) selama  bulan  Ramadhan.
Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila  shalat malam (tarawih) itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.”  (HR Bukhari 687). Sumber:  http://www.indoquran.com/index.php?surano=10&ayatno=120&action=display&option=com_bukhari
Bid’ah  hasanah , jika yang melakukan sholat tarawih berjamaah sebulan  penuh  berkeyakinan bahwa itu adalah amal kebaikan selama bulan ramadhan   walaupun Rasulullah tidak mencontohkan/melakukannya sebulan penuh.
Bid’ah  dholalah,  jika mereka berkeyakinan bahwa sholat tarawih  berjamaah  sebulan penuh adalah kewajibanNya atau perintahNya  (ditinggalkan  berdosa) karena sholat tarawih sebulan penuh tidak pernah  ditetapkan  oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan  berdosa). Yang  ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban  (ditinggalkan  berdosa) yang harus dikerjakan sebulan penuh pada bulan  Ramadhan adalah  berpuasa.
Begitu juga kita dapat ambil pelajaran dari apa yang terjadi dengan kaum Nasrani.
‘Adi  bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada  waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam–  setelah  dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya,  dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka  (juga mempertuhankan)  al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya  disuruh menyembah Tuhan  Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak  disembah) selain Dia. Maha  suci Allah dari apa yang mereka  persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya  Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan  pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul!  Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram  terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram,  kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada  mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Bid’ah dholalah adalah perbuatan syirik karena penyembahan kepada selain Allah.
Bid’ah dholalah adalah perbuatan yang tidak ada ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai  orang-orang  yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik  yang telah  Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas,  sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87)
Begitupula ulama-ulama mereka menyampaikan pendapat bahwa “syarat amal yang akan diterima oleh Allah adalah ikhlas dan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Kalau salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah”.
Amal ibadah terbagi dalam dua kategori yakni amal ketaatan dan amal kebaikan
Amal  ketaatan adalah yang dimaksud dengan perkara syariat , syarat yang  harus dipenuhi sebagai hamba Allah yakni menjalankan segala kewajibanNya  (ditinggalkan berdosa) dan menjauhi segala laranganNya (dikerjakan  berdosa) juga menjauhi segala yang telah diharamkanNya (dikerjakan  berdosa)
Sedangkan Amal Kebaikan adalah segala amal diluar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Amal  perbuatan diluar perkara syariat (amal ketaatan) tidak harus selalu  sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Jadi yang harus  benar-benar sesuai dengan apa yang dicontohkan dan dilakukan oleh  Rasulullah hanyalah amal dalam kategori amal ketaatan (perkara syariat).
Diluar  perkara syariat (amal ketaatan) landasannya adalah jika tidak  bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah pastilah merupakan amal  kebaikan sebaliknya amal perbuatan yang bertentangan dengan Al Qur’an  dan As Sunnah pastilah perkara buruk.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Maknanya  adalah apa yang dilarang oleh Rasulullah pastilah perkara syariat atau  laranganNya (jika dilanggar berdosa) sedangkan apa yang diperintahkan  oleh Rasulullah belum tentu perkara syariat atau kewajibanNya (jika  ditinggalkan berdosa).
Apa yang diperintahkan oleh  Rasulullah ada dua perkara yakni amal ketaatan (perkara syariat) dan  amal kebaikan. Untuk itulah dibutuhkan kompetensi Imam Mujtahid Mutlak  untuk menetapkan hukum perkara (istinbat)
Contohnya amal kebaikan adalah  peringatan Maulid karena tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Segala  yang tidak bertentangan  dengan Al Qur’an dan As Sunnah pastilah amal  kebaikan walaupun hal itu  adalah perkara baru (perkara yang tidak pernah  dilakukan/dicontohkan oleh Rasulullah maupun oleh para Salafush  Sholeh).
Maulid Nabi bukanlah kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) atau bukanlah termasuk amal ketaatan (perkara syariat)
Maulid  Nabi adalah amal kebaikan (perkara diluar perkara syariat (amal  ketaatan) yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits)
Maulid  Nabi umumnya diisi dengan kegiatan membaca Al Qur’an, Sholawat, kajian  dan ceramah seputar kehidupan Rasulullah dan implementasinya dalam  kehidupan masa kini.
Kita boleh memperingati atau  mengingat masa lampau untuk bekal hari esok, bahkan hal ini adalah  anjuran dari Allah Azza wa Jalla, sebagaimana firmanNya, “Wal tandhur  nafsun ma qaddamat li ghad” “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu”  (QS al Hasyr [59] : 18 )
Kita mengingat tanggal  kelahiran kita dan kejadian-kejadian di waktu lampau untuk bekal kita  mengisi biodata, riwayat hidup. Kita mengingat apa yang telah  disampaikan orang tua, ulama kita dahulu untuk bekal menjalankan  kehidupan kita hari ini dan esok. Kita memperingati Maulid Nabi dan  perjalanan hidupnya sebagai bekal kita meneladani dan  mengimplementasikannya dalam kehidupan kita hari ini dan esok
Maulid  Nabi adalah kebutuhan bagi kaum muslim pada umumnya yang zaman  kehidupannya telah terpaut jauh dengan zaman kehidupan para Salafush  Sholeh. Kami amat sangat merindukan untuk berkumpul bersama Nabi  Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan  Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah  perbuatan yang  diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul  shallallahu alaihi  wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara,  seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam  dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam,  dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu  alaihi wasallam.
Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
Telah  diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa  keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan  setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah  demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam dan  karena Tsuwaibah menyusuinya ” (shahih Bukhari hadits no.4813). maka  apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka  mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu  alaihi wasallam, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad shallallahu  alaihi wasallam yang gembira atas kelahiran Nabi shallallahu alaihi  wasallam?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha  Pemurah sungguh-sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya  dengan sebab anugerah Nya.
Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
berkata  “tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi  dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat Islam di seluruh  pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam  sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap  mereka keberkahan yang sangat besar”.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
dalam  syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah  hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu  alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah,
dengan  karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang  pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan  berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa  yang membacanya serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al  Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1  hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan  rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai  hari besar”.
Kesimpulan kami terhadap  kesalahpahaman-kesalahpahaman tersebut terjadi dikarenakan para ulama  mereka tidak membedakan antara perkara syariat (amal ketaatan) dengan  amal kebaikan. 
Begitupula kesalahpahaman mereka yang selalu meneriakan “tegakkan syariat Islam”
Ulama sufi, Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan “Janganlah   kamu merasa bahwa tanpamu Syariat Islam tak kan tegak. Syariat Islam   telah tegak bahkan sebelum kamu ada.  Syariat Islam tak membutuhkanmu,  kaulah yg butuh pada Syariat Islam”
Syariat Islam  telah tegak oleh Rasulullah shallallahu  alaihi wasallam dan telah  diuraikan oleh para ahli fikih yang dipimpin  oleh pemimpin ijtihad kaum  muslim (Imam Mujtahid mutlak) alias Imam  Mazhab yang empat.  Memang ada  Imam Mazhab yang lain selain yang  berempat namun pada   akhirnya  pendapat / pemahaman mereka karena tidak komprehensive atau   tidak  menyeluruh sehingga kaum muslim mencukupkannya  pada Imam Mazhab   yang  empat. Oleh karenanya para hakim agama, para  mufti  atau mereka yang  akan berfatwa sebaiknya berpegang pada pendapat  atau pemahaman Imam  Mazhab yang empat sebagaimana yang dicontohkan oleh mufti Mesir Profesor  Doktor Ali  Jum`ah sebagaimana contoh yang terurai dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/30/hukum-penutup-muka/
Kita  yang hidup pada zaman yang telah jauh masanya dengan kehidupan   Salafush Sholeh semakin sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai mujtahid   atau Imam Mujtahid karena tidak seluruh hadits telah dibukukan,   sebagian hadits hanya tersampaikan melalui penghafalan  dan Imam Mazhab  yang empat mereka hafal hadits lebih banyak daripada  yang telah  dibukukan oleh karenanya para ahli-ahli hadits terdahulu  walaupun mereka  berkompetensi menganalisa sanad maupun matan/redaksi hadits mereka  tetap mengikuti pendapat/pemahaman Imam Mazhab yang empat. Begitupula  semakin sulit menjadi mujtahid karena pada  zaman sekarang ada ditemukan  pemalsuan kitab-kitab karya ulama klasik sebagaimana yang disampaikan  pada
Juga  banyak kitab-kitab  imam mazhab dan para pengikut Imam Mazhab yang telah  ditahrif oleh  mereka yang bukan pengikut mazhab. Informasi terbaru dari  Kyai Thobary  Syadzily  (http://www.facebook.com/profile.php?id=100001039095629 ) telah ada  pihak yang “mengacak-acak” atau mentahrif Kitab “Al-Majmu” karya Imam  Nawawi (wafat di Mesir 676 H) sebagaimana yang Beliau sampaikan pada  http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=291114130933221&id=100001039095629
Syariat  Islam telah ditegakkan oleh Rasulullah dan Salafush Sholeh dengan  pengorbanan jiwa raga dan harta dalam peperangan-peperangan yang telah  mereka lalui. Perkara syariat telah “dibukukan” dan ditetapkan hukum  perkaranya (istinbat) oleh  para Imam Mazhab yang empat kedalam 5 hukum  perkara yakni Wajib (fardhu), Sunnah(mandub), haram, makruh, mubah. Jadi  kita hanya tinggal menjalankan syariat Islam. 
Perkara  syariat adalah syarat yang harus dipenuhi sebagai hamba Allah yakni  menjalankan segala kewajibanNya (ditinggalkan berdosa) dan menjauhi  segala laranganNya (dikerjakan berdosa) juga menjauhi segala yang telah  diharamkanNya (dikerjakan berdosa).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya  Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka  jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan  (dikerjakan berdosa) , maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah  mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu  pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda  kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan  dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Perkara  syariat tidak tergantung apakah “diberlakukan” atau belum  “diberlakukan” oleh penguasa negeri. Di negara manapun kita tinggal maka  kita harus menjalankan perkara syariat. Jika penguasa negeri yang  muslim “membiarkan” hukum-hukum yang berlaku tidak sesuai dengan syariat  Islam maka mereka akan mempertanggung jawabkan atas pembiaran tersebut  di akhirat kelak.  Itulah resiko jadi penguasa negeri.
Untuk  itulah kita perlu untuk ikut memilih pemimpin walaupun  hukum yang  berlaku belum memenuhi syariat Islam agar pemimpin yang kita  pilih,  dengan kekuasaan yang diperoleh dapat memberlakukan syariat Islam dalam  kepemimpinannya dan dalam kehidupan bernegara.
Hal yang  aneh terjadi, ada yang tidak ikut memilih pemimpin  negeri namun setelah  terpilih pempin negeri, mereka taati karena  pemimpinnya “masih sholat”  walaupun pemimpinya tidak menjalankan syariat. Ada juga yang tidak ikut  memlih pemimpin negeri namun setelah terpilih pemimpin negeri mereka  masih saja teriak-teriak “tegakkan syariat”. Seharusnyalah mereka ikut  memilih dan mensosialisasikan pemimpin yang akan menjalankan syariat  Islam.
Rasulullah bersabda : “Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin) ”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:  “Barangsiapa   memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di   kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang   tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan  orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
Dalam  sejarah Islam kita kenal adanya ahlu a-halli wa al-‘aqdi yang merupakan  demokrasi berdasarkan perwakilan yang berkompetensi dan terpercaya.   Ketetapan/fatwa/kebijaksanaan diambil dengan permusyawaratan /  perwakilan
Musyawarah untuk mufakat sistem perwakilan yang  berkompetensi dan terpercaya atau ahlu a-halli wa al-‘aqdi telah  dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin dalam menetapkan khalifah  pertama setelah wafatnya Sayyidina Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Begitu  pula yang dimaksud oleh ulama-ulama kita dahulu yang ikut mendirikan  negara kita dalam menetapkan sila ke 4 dari Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”.   Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang berkompeten dan  dipercayai untuk melaksanakan musyawarah untuk suatu  mufakat.
Namun  dalam perkembangannya di negara kita, orang-orang kemudian merubahnya   menjadi demokrasi sebebas-bebasnya, tidak ada bedanya antara pemilih  yang jahat dengan pemilih yang baik, (semua satu suara ) dalam  menetapkan Presiden dan Wakil presiden, Kepala Pemerintahan Daerah  seperti Gubernur dan Bupati. Itu semua terjadi karena mereka mengaku  muslim namun tidak menjalankan syariat Islam, syarat menjadi hamba Allah  Azza wa Jalla.
Setelah perkara syariat atau syarat  sebagai hamba Allah Azza wa Jalla dijalankan maka perjalankanlah  diri  kita agar sampai (wushul) kepada Allah Azza wal Jalla dengan amal   kebaikan. Amal kebaikan adalah untuk menggapai keridhoan atau  kecintaan  Allah Azza wa Jalla sehingga dapat mencapai muslim yang ihsan  atau  muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang berma’rifat.
Rasulullah mengkiaskanya dengan perkataan yang artinya “aku mendengar derap sandalmu di dalam surga”  (HR Muslim 4497).  Selengkapnya telah kami uraikan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/29/derap-sandalmu/ dan  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/29/2011/10/05/perjalankanlah-diri-kita/
Apakah Ihsan ?
قَالَ  يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ   كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu  dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau   menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan   kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia   melihatmu.’ (HR Muslim 11) Link:  http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=3&action=display&option=com_muslim
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan atau muslim yang telah berma’rifat.
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah  riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah  engkau  melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab:  “Saya  telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda  melihat-Nya? dia  menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang,  tapi dilihat  dengan hati yang penuh Iman.”
Muslim yang telah mencapai Ihsan  atau muslim yang telah berma’rifat,   minimal mereka yang selalu merasa  diawasi oleh Allah Azza wa Jalla  atau  yang terbaik mereka yang dapat  melihat Allah dengan hati maka  mereka  mencegah dirinya dari melakukan  sesuatu yang dibenciNya , menghindari  perbuatan maksiat, menghindari  perbuatan keji dan mungkar hingga  terbentuklah muslim yang berakhlakul  karimah sesuai dengan tujuan  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  diutus oleh Allah Azza wa Jalla
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Pemimpin  negeri yang telah mencapai Ihsan atau berma’rifat,  minimal mereka  selalu merasa diawasi Allah Azza wa Jalla, yang terbaik  dapat memandang  Allah dengan hati, maka mereka tidak akan korupsi,  memimpin dengan adil,  jujur dan menerapkan syariat Islam dalam kepemimpinan dan bernegara.
Pada  zaman ini, sebagian pemimpin negeri yang beragama Islam karena mereka  tidak mengetahui tentang Ihsan atau tidak menyadari bahwa Allah Azza wa  Jalla selalu  melihat sikap dan perbuatan mereka berakibat tanpa disadari  mereka  telah menyekutukan Allah karena menjadikan kaum Zionis Yahudi   sebagai “teman kepercayaan”. Pada hakikatnya mereka yang menyekutukan  Allah adalah mereka yang mengingkari ke Maha Kuasa-an Allah Azza wa  Jalla dengan tidak mentaati kewajibanNya / perintahNya
Firman Allah Azza wa Jalla  yang artinya
“Hai  orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman   kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak   henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa   yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa   yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh   telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah  kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak  menyukai kamu, dan  kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila  mereka menjumpai  kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka  menyendiri,  mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci  terhadap  kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena  kemarahanmu  itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Ironis  yang terjadi di wilayah kerajaan dinasti Saudi, mereka  menjadikan  Amerika (dibelakangnya kaum Zionis Yahudi) sebagai teman kepercayaan,  pelindung, penasehat.  Contoh paling mudah untuk diketahui bahwa mereka  menyusun kurikulum  pendidikan agama bekerjasama dengan Amerika yang  dibelakangnya adalah  kaum Zionis Yahudi , sebagaimana yang terurai  dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/07/muslim-bukanlah-ekstrimis/     Inilah salah satu “pintu masuk” ghazwul fikri (perang pemahaman) yang   dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi dan kesalahpahaman-kesalahpahaman   tersebut menyebar luas ke negeri-negeri  kaum muslim melalui  perantaraan  beasiswa pendidikan di wilayah kerajaan dinasti Saudi.   Kenapa mereka dikatakan tanpa disadari telah menyekutukan Allah  telah  kami uraikan dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/12/hakikat-tauhid/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
[http://0.facebook.com/home.php?sk=group_196355227053960&view=doc&id=311156738907141&refid=7] 
			
									





