Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten atau ahlinya (ulama).
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Pada hakikatnya kita diperintahkan untuk mengikuti orang yang mengetahui Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Pertanyaanlah adalah pemahaman/pendapat ulama siapakah yang patut kita ikuti agar tidak menimbulkan penyesalan di akhirat kelak.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
Hal yang harus kita ingat selalu dalam memahami ilmu agama lebih baik dan selamat kita mengikuti pemahaman atau pendapat Imam Mazhab yang empat sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak) yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh.
Kita mengikuti Imam Mazhab yang empat beserta penjelasan dari ulama-ulama pengikut mereka sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Begitupula kita dalam belajar agama, di dunia maya melalui media internet maupun di dunia nyata melalui buku, tulisan atau mengaji kepada ulama , pastikanlah apa yang disampaikan bersumber dari pemahaman atau pendapat Imam Mazhab atau pastikan penulis atau pendakwahnya bermazhab dengan salah satu Imam Mazhab yang empat.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”
Sebaiknya janganlah mengikuti pemahaman ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataannya mereka tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh. Darimana mereka mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh kalau bukan pemahaman mereka sendiri dengan akal pikiran mereka sendiri.
Sebaiknya jangan pula mengikuti pendapat ulama yang berasal dari perkataan atau kitab Imam Mazhab yang empat namun telah ditahrif atau dipahami oleh ulama bukan pengikut Imam Mazhab dengan akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah telah melarang kita untuk memahami Al Qur’an dengan akal pikiran kita sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah.
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.
Hal yang akan dipertanyakan terhadap sebuah pendapat / pemahaman seperti :
“Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam” ?
“Siapakah ulama-ulama terdahulu yang mengatakan hal itu” ?
“Dari siapakah mendapatkan pemahaman seperti itu” ?
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan agama kepada Sahabat. Sahabat menyampaikan kepada Tabi’in. Tabi’in menyampaikan pada Tabi’ut Tabi’in. Para Imam Mazhab yang empat, pemimpin / imam ijtihad kaum muslim pada umumnya, mereka berijtihad dan beristinbat berlandaskan hasil bertalaqqi (mengaji ) pada Salafush Sholeh
Contoh permasalahan yang menjadi perseilsihan adalah dalam memahami tentang bid’ah.
Dalam memahami tentang bid’ah tidak terlepas dengan pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan agama atau perkara syariat atau disebut juga “urusan kami”.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Agama atau perkara syariat adalah segala perkara yang telah disyaratkan oleh Allah Azza wa Jalla yang harus dipenuhi sebagai hamba Allah yakni menjalankan segala apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi menjalankan kewajibanNya yang jika ditinggalkan berdosa, menjauhi segala yang telah dilarangNya yang jika dilanggar berdosa dan menjauhi segala yang telah diharamkanNya yang jika dilanggar berdosa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikanbeberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkanbeberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Dalam perkara syariat berlaku kaidah “hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’atkannya atau menetapkannya”.
Dalam perkara syariat harus sesuai dengan apa yang disampaikan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat pastilah termasuk bid’ah dholalah.
Sedangkan sikap dan perbuatan yang baru , yang tidak pernah dilakukan / dicontohkan oleh Rasulullah dan diluar apa yang telah diwajibkanNya atau diluar perkara syariat maka berlaku kaidah sebagai berikut,
1. Sikap dan perbuatan yang baru bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah dholalah
2. Sikap dan perbuatan yang baru tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah
Perkara baru (bid’ah) diluar apa yang telah diwajibkanNya atau diluar perkara syariat berlaku kaidah “hukum asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya”
Segala sikap dan perbuatan diluar apa yang telah diwajibkanNya atau diluar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah disebut sebagai amal kebaikan sebagai sarana memperjalankan diri agar sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla atau sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla hingga dapat meraih cintaNya
Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah bersabda, “hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah (amal kebaikan), maka Aku mencintai dia” (HR Muslim 6021)
Diluar perkara syariat, kita selalu bersikap dan melakukan perbuatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk dzikrullah (mengingat Allah). Kita mengingat Allah setiap akan bersikap dan berbuat sebagai sarana memperjalankan diri agar sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla atau sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla hingga dapat meraih cintaNya
Dalam suatu riwayat. ”Qoola a’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa Rosuulolloh ayyun thoriiqotin aqrobu ilallohi? Faqoola Rasullulohi: dzikrullahi”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah, jalan / metode (thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah? “Rasullulah menjawab; “dzikrullah.”
Segala sikap dan perbuatan diluar apa yang telah diwajibkanNya atau diluar perkara syariat tidak harus sesuai sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Boleh terjadi perkara baru dalam perkara diluar apa yang telah diwajibkanNya atau diluar perkara syariat.
Imam Syafi’i ~rahimahullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Imam Syafi’i ~rahimahullah berkata “Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Contoh bid’ah hasanah adalah peringatan Maulid Nabi sebagaimana yang telah disampaikan oleh para ulama yang mengikuti pemahaman atau pendapat Imam Mazhab yang empat.
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) : “Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.
Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif : “Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam dan karena Tsuwaibah menyusuinya ” (shahih Bukhari hadits no.4813). maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang gembira atas kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh-sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya“.
Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah berkata “tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat Islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
Mereka yang bukan bermazhab Syafi’i membantah adanya bid’ah hasanah dengan pendapat sebagai berikut
“maksud Imam As-Syafii adalah pengklasifikasian bid’ah ditinjau dari sisi bahasa. Oleh karenanya beliau berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottoob :”Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yaitu sholat tarawih berjamaah)“. Padahal telah diketahui bersama – bahwasanya sholat tarwih berjamaah pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Kesalahpahaman yang telah terjadi selama ini seolah-olah Umar bin Al-Khottoob tidak mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan sholat tarwih berjama’ah. Yang dimaksud Umar bin Al-Khottoob dengan “sebaik-baik bid’ah” adalah meramaikan malam bulan ramadhan dengan sholat tarwih berjama’ah sebulan penuh sebagai bagian dari syiar Islam.
“Shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied”. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Jadi yang dikatakan bid’ah atau perkara baru adalah melaksanakan sholat tarwih berjama’ah setiap malam di bulan Ramadhan karena Rasulullah tidak melakukannya setiap malam dan mencontohkan meninggalkannya pada beberapa malam agar kaum muslim tidak berkeyakinan sebagai sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata, saya telah membacakan kepada Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah bahwasanya; Pada suatu malam (di bulan Ramadlan),Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di Masjid, lalu diikuti oleh beberapa orang sahabat. Kemudian (pada malam kedua) beliau shalat lagi, dan ternyata diikuti oleh banyak orang. Dan pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar shalat bersama mereka. Maka setelah pagi, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )
Bid’ah hasanah , jika yang melakukan sholat tarawih berjamaah sebulan penuh berkeyakinan bahwa itu adalah amal kebaikan selama bulan ramadhan walaupun Rasulullah tidak mencontohkan /melakukannya sebulan penuh.
Bid’ah dholalah, jika mereka berkeyakinan bahwa sholat tarawih berjamaah sebulan penuh adalah kewajibanNya atau perintahNya (ditinggalkan berdosa) karena sholat tarawih sebulan penuh tidak pernah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa). Yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa) yang harus dikerjakan sebulan penuh pada bulan Ramadhan adalah berpuasa.
Begitupula dengan peringatan Maulid Nabi,
Bid’ah hasanah, jika yang melakukan peringatan Maulid Nabi berkeyakinan sebagai amal kebaikan bukan termasuk perkara syariat atau bukan termasuk apa yang disyaratkan oleh Allah Azza wa Jalla yang harus dipenuhi sebagai hamba atau bukan termasuk perkara syariat
Bid’ah dholalah, jika yang melakukan peringatan Maulid Nabi berkeyakinan sebagai kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa karena peringatan Maulid Nabi adalah termasuk perkara yang tidak diwajibkanNya.
Mereka yang bukan bermazhab Syafi’i kembali membantah adanya bid’ah hasanah dengan pendapat sebagai berikut
“Imam Asy-Syafi’i menghendaki dengan bid’ah hasanah adalah perkara-perkara yang termasuk dalam bab al-maslahah al-mursalah, yaitu perkara-perkara adat yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan tidak terdapat dalil (nas) khusus, karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan kesepakatan para Sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara yang baru) atau dinamakan bid’ah jika ditinjau dari sisi bahasa“.
Pendapat atau pemahaman seperti ini adalah menjurus kepada paham Sekulerisme , suatu paham yang menyakini bahwa ada perbuatan manusia sebagai ibadah yang berhubungan dengan urusan akhirat dan ada perbuatan manusia sebagai perkara-perkara adat atau kebiasaan yang berhubungan dengan urusan dunia yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.
Padahal sebagai hamba Allah maka seluruh sikap dan perbuatan kita adalah untuk beribadah kepada Allah ta’ala karena itulah tujuan kita diciptakanNya. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/15/seluruhnya-ibadah/
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)
Sebagai hamba Allah maka kita harus menjalankan perkara syariat atau menjalankan apa yang diwajibkanNya dan diluar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah diwajibkanNya, kita harus bersikap dan melakukan perbuatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Entah itu perkara adat atau kebiasaan atau perbuatan yang berhubungan antar manusia atau perbuatan “urusan dunia” harus hanya dilakukan jika tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Seluruh perbuatan diluar perkara syariat atau diluar apa yang telah diwajibkanNya harus merujuk dengan hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah). Langkah merujuk inilah termasuk dzikrullah (mengingat Allah) sebagai sarana memperjalankan diri agar sampai (wushul) kepada Allah atau sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Berhubungan antar manusia kita harus mengingat Allah sehingga sikap dan perbuatan antar manusia sesuai dengan apa yang dicintaiNya. Sedangkan berhubungan dengan Allah kita harus mengingat bahwa kita adalah hambaNya.
Jadi perbuatan diluar perkara syariat atau diluar apa yang telah diwajibkanNya adalah termasuk ibadah kepada Allah selama perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah karena sebelum kita melakukan perbuatan tersebut harus mengingat Allah, harus mengingat apakah bertentangan atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Kita hanya melakukan perbuatan diluar perkara syariat atau diluar apa yang telah diwajibkanNya yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Jadi mungkin saja akan terjadi perbuatan diluar perkara syariat atau diluar apa yang telah diwajibkanNya yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah namun tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat yang dinamakan bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.
Sedangkan yang dimaksud al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah atau kadang disamakan juga dengan al-Istihsan adalah
“Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Menurut Imam Syafi’i cara-cara penetapan hukum seperti itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakannya sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlahatan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Hal yang harus kita hindari adalah menetapkannya sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa) padahal tidak diwajibkanNya, menetapkannya sebagai larangan (dilanggar berdosa) padahal tidak dilarangNya, menetapkan sebagai perkara haram (dilanggar berdosa) padahal tidak diharamkanNya dimana kesalahan dalam menetapkan hukum perkara menjerumuskan menjadi ahli bid’ah, mereka yang mengada-ada dalam agama atau dalam perkara syariat yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya.
Jadi kesalahpahaman dalam memahami bid’ah , justru akan menjerumuskan menjadi ahli bid’ah, mengada-ada dalam agama atau mengada-ada dalam perkara syariat yakni mengada-ada dalam perkara larangan yang tidak pernah dilarang oleh Allah Azza wa Jalla maupun RasulNya
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keteranganpadanya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
من حلل حراما او حرم حلالا فقد كفر
“Barangsiapa menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”
Bantahan lainnya dari mereka pengikut ulama Ibnu Taimiyyah berlandaskan pendapat beliau sebagai berikut,
Ulama Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyyah Al-Fiqhiyyah (hal 112) berkata, “Dengan mencermati syari’at, maka kita akan mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah atau yang disukaiNya, maka penempatannya hanya melalui syari’at”
Dalam Majmu Al-Fatawa (XXXI/35), beliau berkata, “Semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah berdasarkan dalil dari Allah dan RasulNya, dan tidak boleh seorang pun yang menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Allah kecuai dengan dalil syar’i”.
Ulama Ibnu Taimiyyah semula bermazhab Hambali, bertalaqqi (mengaji) kepada ulama-ulama bermazhab Hambali. Namun pada akhirnya ulama Ibnu Taimiyyah memahami Al Qur’an dan As Sunnah lebih menyandarkan dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah). Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/01/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
Dari pendapat Ulama Ibnu Taimiyyah di atas maka kita dapat simpulkan bahwa beliau termasuk salah satu ulama yang berpendapat bahwa perbuatan manusia ada ibadah dan ada pula bukan ibadah.
Sebenarnya pada saat beliau mengatakan “Semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah berdasarkan dalil dari Allah dan RasulNya” sudah menjelaskan kategori perbuatan manusia yakni perbuatan yang berhubungan dengan ketaatan atau perkara syariat dan perbuatan yang berhubungan dengan upaya taqarrub kepada Allah atau upaya memperjalankan diri agar sampai (wushul) kepada Allah atau mendekatkan diri kepada Allah. Perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah adalah perbuatan diluar perkara syariat (diluar apa yang telah diwajibkanNya) yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebagaimana yang telah kami sampaikan diatas bahwa mungkin saja terjadi perbuatan diluar perkara syariat atau diluar apa yang telah diwajibkanNya yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah yang tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah yang disebut dengan bid’ah hasanah
Contoh Bid’ah hasanah lainnya adalah membuat matan/redaksi sholawat sendiri yang isinya tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Perintahnya adalah bersholawatlah namun tidak ada larangan menggunakan matan/redaksi sholawat yang dibuat sendiri.
Firman Allah Azza wa Jalla,
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS (QS Al Ahzab [33]: 56)
Imam Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah, Imam Syafi’i ~ rahimahullah dan ulama-ulama terdahulu lainnya mempunyai matan/redaksi sendiri sesuai bagaimana mereka mengungkapkan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Shalawat Sayyidina ‘Ali Karramallahu Wajhah:
صَلَوَاتُ اللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَأَنْبِيَائِهِ وَجَمِيْعِ خَلْقِهِ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَعَلَيْهِمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Shalawatullahi wa malaa’ikatihi wa anbiyaa’ihi wa jamii’i khalqihii
‘alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ‘alaih
wa ‘alaihimussalaamu wa rahmatullaahi wa barakaatuh
“Shalawat Allah, para MalaikatNya dan para NabiNya serta semua mahlukNya
semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad Saw dan Keluarganya dan keturunannya,
dan semoga keselamatan Allah, rahmat Allah serta berkahNya terlimpahkan kepada Mereka“.
Imam Syafi’i ~rahimahullah pun mempunyai matan/redaksi sholawat yang dibuatnya sendiri seperti.
“Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu ”
atau
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas cahaya di antara segala cahaya, rahsia di antara segala rahasia, penawar duka, dan pembuka pintu kemudahan, yakni Sayyidina Muhammad, manusia pilihan, juga kepada keluarganya yang suci dan sahabatnya yang baik, sebanyak jumlah kenikmatan Allah dan karunia-Nya.”
Tulisan tentang matan/redaksi atau lafadz sholawat lainnya pada
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830