1140. AL-QUR’AN : Sejarah Ulumul Qur’an

BAB I
SEJARAH ULUMUL QUR’AN
A.  Pengertian Sejarah
Sejarah secara etimologi dapat ditelusuri dari asal kata sejarah yang sering dikatakan berasal dari Arab syajarah, artinya “pohon”. Untuk menyebut sejarah dalam ilmu pengetahuan sebetulnya berasal dari bahasa Yunani (istoria) yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam, khususnya manusia yang bersifat kronologis. Makna sejarah bisa mengacu kepada dua konsep yaitu : Pertama, sejarah memberikan pemahaman akan arti objektif tentang masa lampau, dan hendaknya dipahami sebagai aktualitas atau peristiwa itu sendiri. Kedua, sejarah menunjukkan maknanya yang subjektif, sebab masa lampau itu telah menjadi sebuah kisah atau cerita tentang suatu hal yang di dalam proses pengkisahan itu terdapat kesan yang dirasakan oleh sejarahwan berdasarkan pengalaman dan lingkungan pergaulannya.
B.           Pengertian Qur’an
        Ulumul Qur’an adalah susunan idhafah yang terdiri dari kata Ulum dan kata Al- Qur’an. Hal ini menuntut kita agar mengetahui dua kata di atas masing-masing, baik dari segi bahasa (leksikal) maupun dari segi istilah (gramatikal), kemudian perlu dijelaskan pengretian yang dimaksud dengan rangkaian kata-kata yang tesusun secara idhafi. 
Al-Ulum
Al-ulum merupakan bentuk jamak dari Al-ilm (ilmu), yang mempunyai arti lawan dari al-jahl (bodoh). Al-‘ilm semakna dengan kata al-fahm dan kata al-ma’rifah. Makna yang dikehendaki disini adalah “pengetahuan terhadap sesuatu dengan sebenar-benarnya atau dengan dilandasi keyakinan, yakni adanya an-Nur yang     datangnya dari Allah untuk menyinari hati sanubari.”1
 Kemudian kata ilmu secara mutlak diartikan mempunyai fungsi yang membahas suatu permasalahan dan pokok-pokoknya yang berkaitan dengan satu bidang tertentu, seperti ilmu nahwu, ilmu kedokteran, ilmu kimia, dan sebagainya.  
            Ulum dari jamak dari beberapa ilmu yang saling berkaitan antara lain ilmu bahasa arab (meliputi ilmu nahwu, saraf, bayan, badi’, balaghah, ‘arudh, dan sebagainya,- ed), ilmu-ilmu eksak (meliputi zoology, biologi, teknik, matemtika, kimia, dan sebagainya) dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dan membutuhkan eksperimen.
Al-Qur’an
Pada saat Allah SWT menciptakan hamba-hambanya, Dia memberikan pertolongan dan bimbingan ke jalan yang lurus dan berpegang teguh ke jalan yang benar. Dan dalam jiwa hamba-hamba Nya tertanam fitrah yang berfungsi sebagai pembimbing yang menunjukkan ke jalan yang selalu benar.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereke dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “betul (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap kesaksian ini.” (Q.S Al-A’raf:172).
Dan Allah mengutus rasul-rasul-Nya kepada mereka, yang berfungsi untuk meluruskan keyakinan, membimbing mereka kepada hal-hal yang baik, baik yang berkaitan dengan kehidupan dunia maupun akhirat. Secara Etimologi ada terdapat perbedaan pendapat dari sebagian para ulama tenteng lafal Al-Qur’an, tetapi setelah dilakukan kajian mereka sepakat bahwa lafal Al-Qur’an adalah ism (isim/ kata benda), bukan fi’il (fi’il / kata kerja) atau harf (huruf). Isim yang dimaksud dalam[1] bahasa Arab sama dengan keberadaan isim-isim yang lain, kadang berupa isim jamid atau disebut isim musytaq. Sebagian ulama juga ada yang berpendapat, bahwa Al-Qur’an tersebut adalah ismu jamid ghairu mahmuz, yaitu sebuah isim yang bersangkutan dengan nama yang khusus diberikan kepada Taurat dan Injil. Pendapat ini diwakili oleh Ibnu Katsir dari mazhab Syafi’i. Sebagian ulama lain berpendapat, bahwa lafal Al-Qur’an adalah ismu musytaq, namun mereka masih terbagi ke dalam dua golongan:
  1. Golongan pertama diwakili, antara lain oleh Al-Asy’ari (Zarkasyi,1, 1400:278). Yang berpendapat kata Al-Qur’an diambil dari kalimat “Qaranat asy-syai’u bis-sya’i idza  dhammamatuh ilaihi.” Ada juga berpendapat, diambil dari kalimat “Qarana baina al-ba’irain, idza jama’a bainahuma”. Dari kalimat terakhir ini muncul sebutan Qiran terhadap pengumpulan pelaksanaan ibadah haji dan umrah dengan hanya satu ihram.
  2. Golongan kedua diwakili, antara lain oleh al-Farra (Suyuthi,1,1343:87). Berpendapat bahwa lafal Al-Qur’an musytaq dari kata qara’un, jamak dari kata qarinah, karena ayat-ayat al-Qur’an (lafalnya) banyak yang sama antara yang satu dengan yang lain.
  3. F.     Sejarah Al-Qur’an
  4. 1.      Masa Rasulullah
Dalam sejarah kehidupan Rasulullah SAW. Kita temui pribadi yang seluruh kehidupannya menyerupai lembaran buku terbuka dari kulit ke kulit, dari saat lahir yang yatim hingga masa kanak-kanak, masa remaja, masa kerasulan dan saat-saat menjadi pengusaha seluruh Arabia, hingga akhrinya ke saat wafatnya. Beliau dicatat sebagai seorang yang tidak mampu membaca tulisan, seorang yang ummi. Karena itu, ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah SAW. Perintah membaca ini turun pada saat ia sedang dalam perenungannya di Gua Hira dekat Jabal Nur. Allah Maha Pengasih memanggilnya, dan Allah mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah S.A.W. “ Baca! Atas nama Tuhan Yang Mencipatkan segalanya; Mencipatakan manusia dari segumpal darah; Baca! Tuhanmu Maha Mukya; Yang telah mengajar menggunakan pena; mengajar manusia segala yang belum diketahui”. (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Kejadian yang baru dialami beliau tersebut diceritakan kepada isteri beliau yaitu Siti Khadijah. Dan juga beliau membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalnya kepada Siti Khadijah.
Ketika Allah SWT. memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar melaksanakan secara terang-terangan terhadap apa yang diperintahkan, agar mempublikasikan dakwah Islam, maka Nabi melaksanakan perintah tersebut. Dalam hal ini beliau tidak sendirian dalam menyebarkan agama Islam, beliau juga dapat dukungan dari kakek Abu Mutholib, Zaid bin Tsabit, Abu Bakar Ashidiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abu Tholib, dan beberapa sahabat lainnya. Dengan merekalah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam mengajak umat manusia untuk masuk Islam, yakni menerima Islam sebagai agamanya dan juga menerima Al-Qur’an. mereka (yang mendapat hidayah dengan memeluk Islam) membacanya dengan benar, dan mereka selalu berkumpul dirumah Arqam bin Abi al-Arqam. untuk menghafal al-Qur’an dan mempelajari ayat-ayat secara detail. mereka adalah orang-orang Arab asli. Hal inilah yang memudahkan mereka memahami al-Qur’an, karena bahasa al-Qur’an merupakan bahasa yang sudah menjadi satu jiwa mereka. Jika[2] mereka menemukan kesulitan makna yang trekandung dalam al-Qur’an ataupun ada yang terasa kurang jelas tujuannya, mereka bias saling bertanya. Hal ini disebabkan, diantara mereka ada yang lebih tahu dari yang lain dan kadar pengetahuannya berbeda. Apabila belum mendapatkan jawaban yang memuaskan, mereka langsung bertanya kepada Nabi, dan beliau memberikan penjelasan secara detail.  
Sejak agama Islam mulai di dakawahkan oleh Nabi Muhammad SAW bisa dikatakan mulai saat itu juga Ulum al-Qur’an telah tumbuh. Hal ini dikarenakan adanya penghafal, penyalinan, dan penafsiran, yang kesemuanya termasuk ilmu-ilmu al-Qur’an yang sangat penting. Akan tetapi istilah disiplin ilmu Ulum al-Qur’an belum dikenal pada masa ini.
  1. 2.     Masa Sahabat
Pada masa sahabat memperhatikan situasi dan kondisi pembelajaran al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) sangat baik secara lisan. Walaupun pada masa itu istilah kodifikasi masih belum dikenal. Ada beberapa factor yang melatar belakangi para sahabat untuk tidak melakukan kodifikasi pada saat itu, yaitu: pertama, karena para sahabat pada umumnya adalah ummi (tidak bisa baca), bahkan kurang mengenal adanya bacaan dari tulisan; kedua, keterbatasan alat-alat tulis di kalangan mereka; ketiga, apabila ada masalah dalam memahami al-Qur’an mereka langsung menanyakan kepada Rasul; keempat Rasulullah melarang para sahabat menulis selain al-Qur’an, lewat sabdanya yang terkenal: “Jangan kamu menulis selain apa yang kusampaiakan (Hadits). Barang siapa yang menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an, hendaknya menghapusnya”. (H.R. Muslim). Sebagian orang mempunyai asumsi bahwa Rasulullah SAW melarang para sahabat menulis apapun selain al-Qur’an, disebabkan kekhawatiran beliau akan bercampurnya al-Qur’an dengan yang bukan al-Qur’an. Menurut pendapat saya, bahwa asumsi tersebut tidak benar dan terkesan kurang menghargai kecendikiawan para sahabat. Padahal larangan tersebut menunjukkan bahwa para sahabat adalah orang-orang yang mempunyai kecerdasan dalam bersikap, dan mampu merasakan nikmatnya gaya penjelasan al-Qur’an. Mereka juga mempunyai kemampuan menilai gaya bahasa dan wazan kalimatnya. Mereka juga bisa mengetahui kemukjizatan al-Qur’an secara sempurna meskipun hanya melalui proses mendengarkan, sementara sebagian yang lain menguasainya dengan hati. Jadi, bagaimana baik dengan sesuatu yang bukan bersumber dari al- Qur’an, semisal hadits-hadits Nabi, apalagi dengan ungkapan yang dibikin manusia. Alasan peperangan itu dlatarbelakangi oleh Rasulullah SAW. yang menginginkan adanya tanggnug jawab seluruh sahabat tanpa pandang bulu dalam menyampaikan dan meneruskan dakwah beliau. Seaindainya upaya penulisan selain al-Qur’an diberi izin, maka mereka yang tidak bisa membaca dan menulis akan mempunyai asumsi bahwa tanggung jawab dalam menyampaikan dakwah hanya terbatas bagi para penulis saja. Sebab para penulis bisa memelihara nash-nash hukum lewat tulisan-tulisan mereka, dan tanggung jawab benar-benar dibebankan ke pundak mereka. Maka ketika Rasulullah SAW. jadikan para sahabat menerima segala sesuatu dari Rasulullah SAW. untk disampaikan kepada yang belum mendengarkan, dan tidak terdapat perbedaan antara orang yang pandai menulis dengan yang buta huruf. Karena itu da’wah Islam merupakan kewajiban seluruh para sahabat, dan hal ini sangat penting mengingat bahwa dakwah yang baik adalah menyebarkannya dengan melibatkan[3] seluruh sahabat, tidak terbatas pada mereka yang pandai menulis saja. Jika anda mengatakan, “seandainya yang terjadi adalah seperti hipotesa di atas, mengapa Rasulullah SAW. mengizinkan mereka menulis al-Qur’an?”. Saya berpendapat, bahwa upaya menyampaikan al-Qur’an tidak sama dengan saya    menyampaikan sesuatu yang bukan al-Qur’an. sebagian dari para sahabat yang ummi  tidak mempunyai asumsi bahwa menyampaikan pesan moral al-Qur’an  hanya diwajibkan kepada para sahabat membacda al-Qur’an, baik dengan suara yang lirih maupun dengan suarau yaring-di rumah-rumah mereka dan masjid. Mereka juga membacanya saat sendirian maupun bersama-sama bahkan dalam shalat. Oleh karena itu, bahwa menyampaikan pesan moral al-Qur’an mempunyai berbagai media yang tidak dimiliki oleh selain al-Qur’an. juga tidak terbatas pad para sahabat yang menulis saja, sebab semua para sahabat senantiasa membaca al-Qur’an malam dan siang, maka tidak mungkin mereka yang mungkin mereka yang ummi mewakilkan kepada yang mampu membacda dan menulis dalam menyampaikan da’wah islam. Oleh karena itu, para sahabat mempunyai kemampuan akan sebab-sebab dilarangnya upaya kondifikasi ilmu-ilmu al-Qur’an sesuai dengan keyakinan dan kemampuan mereka terhadap al-Qur’an. para sahabat dalam penguasaannya terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an sama dengan kekuatan hafalan mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an imam at-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud : Jika para sahabat mempelajari ayat al-Qur’an, mereka pasti mengetahui betul makna-maknanya dan mengamalkannya. dalam riwayat lain Abu ‘Abdurrahman as-Salami berkata: orang-orang yang selalu membacakan hadits kepada kami, mengabarkan bahwa mereka selalu meminta Nabi  
untuk membaca al-Qur’an. Apabila mempelajari ayat dari al-Qur’an, mereka tidak akan menyikapinya secara berbeda (menyalahinya), sebelum mereka mengetahui amalan yang terdapat pada bacaaan tersebut, sehingga kami mempelajari sekaligus mengamalkannya al-Qur’an (Thabari, I, 1328:80). Abdullah berkata: “Demi Allah tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya setiap surat Al-Qur’an yang turun, pasti aku mengetahui dimana turunnya. Setiap ayat Al-Qur’an yang turun pasti aku mengetahui tentang hal apa yang ia turunkan. seandianya aku mengetahui ada seseorang yang pengetahuannya tentang Al-Qur’an melebihi pengetahuanku, sementara untuk menemuinya harus mengendarai unta, maka aku pastilah kesana untuk menemuinya” (Bukhari,VI, 1979: 102). Oleh karena larangan tersebut, para sahabat mempunyai kemampuan yang luar biasa didalam mengahafalkan Al-Qur’an dan menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, bahkan bisa dikatakan seimbang penguasaannya. Sebagaimana  pendapat Al-tabari, “Jika para sahabat mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an mereka pasti mengetahui betul maknanya dan mengamalkannya” (Abdurrahman Rumi, 1996 : 56). Kondisi ini berlangsung selama kepemimpinjan Nabi, Abu Bakar dan Umar. Pada kepemimpinan Utsman, karena wilayah kekuasaan Islam telah tersebar luas di beberapa negeri dengan dialek, adat dan budaya yang berbeda. mak untuk menjaga kemurnian al-Qur’an, tidak bisa hanya dengan hafalan saja. oleh karena itu, khalifah Utsman mempelopori pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf, yang kemudian terkenal dengan mushaf Utsamani. Setelah dikumpulkan dalam satu mushaf, maka khalifah Utsman juga memerintahkan untuk membuat salianan beberapa naskah lagi yang dikirimkan ke semua Negara-negara Islam.
            Sedangkan mushaf-mushaf selain mushaf Utsmani diperintahkan untuk dibakar. Dengan Usahanya itu, beliau dianggap sebagai peletak dasar Ilmu Rasm Al-Qur’an atau Ilmu Rasm al-Utsmani. (Abdul Djalal, 1998:28-29) pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, usaha untuk menjaga eksistensi Al-Qur’an ini dilanjutkan. Beliau mempunyai perhatian yang besar terhadap orang-orang asing yang suka menodai kemurnian bahasa Arab. beliau khawatir akan terjadinya kerusakan dalam bahasa Arab itu. untuk itu beliau memerintahkan sahabat Aswad al-Dawli untuk membuat sebagian kaidah-kaidah guna memelihara kemurnian bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Dengan usahanya ini, khlifah Ali dianggap sebagai peletak dasar Ilmu Nahwu atau Ilmu I’rab Al-Qur’an. (Abdul Djalal, 1998 : 28-29).[4]
  1. 3.     Masa Tabi’in   
            Ketika wilyah islam telah tersebar luas, para sahabat juga telah tersebar diberbagai penjuru negeri yang telah berada dalam wilayah kekuasaan islam. pada massa ini para sahabat mengajarkan al-Qur’an lengkap dengan bacaan, isi/penafsiran dan ilmu-ilmu yan terkandung di dalamnya. pada masa ini juga telah muncul adanya lembaga-lembaga yang yang lazim disebut dengan Madrasyah al-Tafsir dan banyak sekali jumlahnya. Akan tetapi, hanya tiga yang terkenal yaitu : Madrasah Ibn Abbas di Makkah, Madrasah Ubay bin ka’ab di Madinah dan Madrasah ‘Abd Allah bin Mas’ud di Kufah. (Abdurrahman Rumi, 1996 : 58). Ketiga tokoh (yang namanya dijadikan sebagai nama madrasah) tersebut, merupakan sahabat yang mempunyai keahlian dalam bidan tafsir. Murid-murid dari ketiga tokoh yang terkenal itu, termasuk dalam golongan tabi’in mereka adalah sa’id bin Jabir, Mujahid bin Jabar, Ikrimah, Tha’wus,
 dan Atha’ bin Abu Rabah (murid Ibnu Abbas), Zaid bin Aslam, Abu al-aliyah, Muhammad bin Ka’ab dan sebagainya. Pada tabi’in tersebut, merupakan tokoh-tokoh yang meletakkan dasar-dasar ilmu tafsir seperti ; Ilmu Gharib, Al-Qur’an, Ilmu Asbab Al-Nuzul, Nasikh Mansukh, Ilmu Makkiyah dan Madaniyah dan lain-lain. Sistem dan metodologi penafsiran yang dikaji para tabi’in pada masa ini, tidak hanyaterbatasa pada penafsiran dengan pengertiannya yang secara khusus, tetapi system dan metodologi nya telah meliputi berebagai segi keilmuan dalam penafsiran seperti Ilmu Gharib Al-Qur’an, Ilmu Asbab Al-Nuzul, dan lain sebagainya. Proses penyampaian ilmu pada masa ini seperti Al-Qur’an melalui periwayatan dan belum dikodifikasikan.
4. Masa Kodifikasi
            Setelah dirintis dasar-dasar ‘ulum Al-Qur’an, maa para mufassir mulai melakukan kodifikasi/penulisan ‘ulum Al-Qur’an. Tetapi sebelum cita-cita ini dilakukan, terlebih dahulu mereka melakukan pembukuan tafsir Al-Qur’an. sebab tafsir Al-Qur’an yang alin. Orang-orang yang pertama melakukan ini adalah Yazid bin Harun Al-Salami (w. 117H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w.160H), Waki’ bin al-Jarrah (w.197H) dan lain-lain. Tafsir-tafsir yang mereka tulis berupa koleksi pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in yang kebanyakan belum dicetak, sehingga tidak sampai pada generasi sekarang. Setelah itu muncul penafsir-penafsir yang masyhur seperti Ibn Majah (w.273H), Ibnu Jarir Al-Qur’an-Thabari (w.310), Abu Bakar bin Al-Qur’an-Mundzir An-Nisaburi (w.318 H), Ibn Abi hatim (w.327 H) dan Ibn Hibban (w.369 H), Al-Hakim (w.369 H) dan lain-lain. Tafsir Al-Qur’an-Thabari merupakan tafsir yang paling besar dengan memakai metode muqaran. Sebab beliau adalah orang pertama yang melakukan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengemukakan pendapat-pendapat para ulama’ dan membandingkan pendapat sebagian dengan sebagian yang lain. kitab tafsir Al-Thabari itu adalah kitab Jami Al-Bayan fi Tafsiir Al-Qur’an. setelah itu cabang-cabang “ulum Al-Qur’an yang lain mulai bermunculan teruatama pada abad ketiga Hijriyah. Pada abad inilah lahir ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh dan ilmu tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah. Ulama semisal Ali Ibnul Madini 234 H, guru imam al-Bukhari, adalah penulis kitab asbab al-nuzul, Abu Ubayd al-Qasim bin Salam 224 H menulis kitab Ilmu Nasikh wa al-Manuskh. Kemudian Muhammad Ayyub al-Dharis (294 H), menulis kitab ilmu Makki wa al-Madani, dan Muhammad Khalaf ibn al-Mirzaban (309 H) yang menulis kitab al-haawii fii ‘ulum al-Qur’an yang terdiri atas 27 juz. Sedangkan pada abad ke-IV Hijriah ada lima ulama’ yang giat mengarang ‘uluum al-Qur’an yang menyusun kitab-kitabnya yaitu : (a) Abu Bakar al-Sijistani 330 H, menulis karya Ilmu Gahrib al-Qur’an, (b) Abu Bakar Bin Qasim al-Ambari 328 H dengan kitabnya Aja’ib Ulum al-Qur’an, (c) Abu Hasan al-asy’ari 324 H menulis kitab Mukhtazan fi ‘ulum al-Qur’an, (d) Abu Muhammad bin Ali al-Adfawi 388 H menulis kitab al-Istigha’ fi ‘ulum al-Qur’an  20 jilid. Kemudian pada VI juga ada satu tokoh yang termashyur, yaitu: Abu al-Qasim Abd al-Rahman al-Suhayli 581 H yang menulis kitab ilmu Mubbamat al-Qur’an.  Selanjutnya pada abad VII H. Ada tokoh yang pertama yang menulis kitab ilmu I’jaz al-Qur’an, yaitu Abd al-salam 660 H dan orang yang pertama kali ilmu Qira’at yaitu Alam al-Din al-sakhawi 643 H, lalu diikuti oleh Abu Syamah Abd al-Rahman Ibn Ismail al-Maqdisi 665 H, yang menulis kitab al-mursyid Wajiz fi ma Yata’allaq bi al-Qur’an al-azhim. Demikian semangat para mufassir, sehingga menimbulkan lahirnya ilmu-ilmu al-Qur’an yang baru, yang membuat orang heran karena melihat buku-buku memenuhi gedung perpustakaan besar di dunia setelah itu pada abad selanjutnya atau abad VIII H, juga muncul pengarang-pengarang ‘ulum al-Qur’an, yaitu (a) Imam Ahmad Ibn Zubayr 708 H, yang mengarang kitab al-Burhan fi Tartib suwar al-Qur’an, (b) Imam Najm al-Din al-Thufi, menulis kitab ilmu Jidal al-Qur’an; (c) Ibn Qayyim al-jawzirah 751H menulis kitab al-Tibyan fi Aqsham al-Qur’an dan beberapa kitab lainnya (Abdurrahman Rumi, 1996:32-33). Kecermerlangan Ulum al-Quran ini berlanjut pada abad IX H. dengan munculnya pengarang-pengarang kenamaan yaitu: (a) Imam Jalal al-Din al-Bulqini (W.824 H) yang menulis kitab Mawaqi’ al-ulum min mawaqi al-Nujum, yang berisi tentang 50 cabang Ulum al-Qur’an; Imam Muhammad bin Sualiman al-Kafiaji (879 H) yang menulis kitab Ulum al-Qur’an; (b) Imam Muhammad al-Buqa’i(885 H) yang menulis kitab Nuzhumat al-Durar fi Tanasuh Ayat wa Suwar. (Abdurrahman Rumi, 1996:36). Kemudian pada Abad X kecermelangan Ulum al-Qur’an ini berakhir di pakar ulum al-Qur’an, yaitu: Imam Jalal al-Din abd Rahman al-Suyuthi (991 H) yang sempat mengarang tiga buah kitab, yaitu: Tanasuqud Durar fi Tanasub al-Suwari, al-Tabbir fi ulum al-Tafsir, yang membahas 102 cabang ulum al-Qur’andan al-Itqam fi ‘ulum al-Qur’an yang terdiri dari dua juz, tetapi dibukukan menjadi satu jilid. Setelah abad X ini, kegiatan pembukuan ulum al-Qur’an berlanjut sampai abad XI, yaitu: al-Banna (w. 923 H), menulis kitab Ittihaf Fudhala’I al- basyar fi Qira’at al-Arba’a Asyara; As-Syaikh Mar’i al-Karami (w1033 H), menyusun kitab Qala’id al-Marjan fi an-Nasikh wa al- Mansukh min al-Qur’an; Ahmad bin Muhammad al-Maqqari (w. 1041 H), menyusun kitab I’rab al-Qur’an. Beberapa ulama yang penulis tidak sebutkan satu-satu, hingga abad XIV H. Pada abad XIV H ini, banyak mufassir yang menulis kitab di sekitar al-Qur’an, sejarahnya dan ilmu-ilmunya, yaitu: (a) Syaikh Thahir al-Jazari, menulis kitab al-Tibyan fi Ba’d Mabahit al-Muta’alliqat bi al-Qur’an; (b) Jamal al-Din al-Qasimi (w.1322), menuli kitab al-Ta’wil; (c) Muhammad ‘Abd al- Azhim al-Zarqani, menulis kitab Manahil al-Irfan fi ulum al-Qur’an; (d) Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, menulis kitab Tafsir al-Qur’an al-Hakim yang terkenal Tafsir al-Manar. (Hasbi Ash-Shiddiqy, 10-11).  
            Demikan sekilas beberapa ulama dan buah karangannya yang berkenaan dengan pembahasan ulumul Qur’an di masa lampau, yang relatife cukup banyak jumlahnya. Ketika anda memperhatikan kitab-kitab yang ditulis tersebut, anda akan menemukan kenyataan bahwa masing-masing tulisan hanya mendapatkan satu ilmu saja dari berbagai ilmu-ilmu al-Qur’an.    
5.  Munculnya Istilah Ulumul-Qur’an
            Seiring dengan kamjuan perkembangan ‘ulum al-Qur’an . Tahap demi tahap ilmu-ilmu yang menjadi bagian dari disiplin ilmu ini juga mengalami perkembangan,
seperti ilmu Tafsir, ilmu rasm al-Qur’an, ilmu Qira’at ilmu Gharib al-Qur’an, dan seterusnya (Ramli Abdul Wahid, 2002:22). Ilmu-ilmu ini kemudian membentuk kesatuan yang mempunyai hubungan dengan al-Qur’an, baik dari segi keberadaan al-Qur’an maupun dari segi pemahamannya. Karena itu ilmu-ilmu ini disenut dengan ilmu-ilmu al-Qur’an yang dalam bahasa Arab disebut ‘ulum al-Qur’an (baca: ulumul Qur’an). Akan tetapi pengertian ‘ulumul-Qur’an dalam konteks sebagai sebuah istilah, baru dikenal pada periode-periode akhir, yaitu pada akhir abad ketiga atau menjelang awal abad keeempat Hijri, ketika seorang ulama bernama Muhammad bin Khalaf bin al-Muazban (w. 309 H) menyusun sebuah kitab berjudul Al-Hawi fi Tafsir al-Qur’an (Nadim, t.t.:214; dan Daudi,t.t.:141). Sedangkan sebagian ahli meyakini bahwa permulaan periode dikenalnya istilah ‘ulumul –Qur’an adalah pada permulaan abad V Hijri, yaitu ketika Ali bin Ibrahim al-Haufi (w.430 H) menulis sebuah kitab bertajuk Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Asumsi ini kurang valid, sebab nama kitab yang dikarang al-Haufi adalah Al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an (Zadah, t.t.:108; Humawi, XII, t.t.:222, dan Khulaifah, I, t.t.: 241). Disamping itu, banyak bermunculan kitab-kitab yang ditulis para ulama pada kurun sebelumnya, yang secara tersirat menunjukkan adanya istilah Ulumul-Qur’an dalam konteks kodifikatif. hal ini diperjelas oleh kitab yang disusun Ibnu al-Murazban dan ulama lain. [5] 
6. Kesimpulan
a)      Nabi menerima wahyu dari Allah berupa Al-Qur’an, lalu beliau dapat perintah dari Allah untuk menyampaikan kepada umat manusia. Pada zaman ini belum ada kajian tentang ulum al-Qur’an, pengikut beliau hanya menghafal dan kalau ada masalah langsung  menanyakan pada beliau.  
b)      Khulafa’ur Rasyidin, setelah kejadian 70 pengahfal al-Qur’an tewas dalam peperangan. Adanya kekhawatiran tentang hilangnya orang-orang pengahafal al-Qur’an, dan beberapa sahabat mengusulkan disusun menjadi sebuah mushaf. setelah mengalami kodifikasi dan juga adanya kekhawatiran pemahaman tentang al-Qur’an.
c)      Pada zaman Tabi’in mulai adanya kajian-kajian tentang al-Qur’an dan beberapa ilmu yang termasuk dalam al-Qur’an, Tetapi belum begitu mengkajinya secara mendalam. Pada jaman tabi’in kecil baru mengkaji secara mendalam pembagian tentang ilmu-ilmu yang ada dalamnya.
d)     Dalam perkembangannya ilmu ini disebut ulumul Qur’an. Serta kajian detail dan ulama-ulama sudah banyak membahas tentang ulumul Qur’an.
                    
                                    DAFTAR PUSTAKA
 Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta, 2002
Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta
Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Pt. Remaja Rosdakarya; Bandung, 1992
1 Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta, 2002
Dr.Fadh bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press
[1] Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta
[2] [2] Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Pt. Remaja Rosdakarya; Bandung, 1992
[3] Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta
[4] Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta
[5] [5] Saifullah dkk, Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press; Yogyakarta

Pos terkait