1161. MAKALAH : Tulisan kami untuk mengingatkan adanya hasutan atau ghazwul fikri

Dalam beberapa tulisan berturut-turut pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/19/dipengaruhi-oleh-paganisme/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/19/asal-kaum-khawarij/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/21/ada-tanpa-tempat/ http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/21/upaya-takwil/
Telah  diuraikan bagaimana akibat hasutan atau ghazwul fikri (perang  pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi agar kaum muslim  memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (otodidak)  melalui muthola’ah (menelaah kitab) dengan akal pikiran masing-masing  tanpa mempedulikan pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim  (Imam  Mujtahid Mutlak) yakni Imam Mazhab yang empat dan pemahaman ulama para  pengikut Imam Mazhab yang empat yang termasuk  ulama-ulama  bersanad  ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi  wasallam.
Salah seorang ulama keturunan cucu Rasulullah, Habib Munzir mengatakan, “Orang  yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan  menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru  bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi  kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya,  maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh  baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita  bisa tanya jika kita mendapatkan masalah”
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud  dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar  untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu  mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga  meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya  dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan  al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan  pengamalan“
Para ulama telah menyampaikan bahwa  jika memahami Al Qur’an dan As  Sunnah dengan belajar sendiri (secara  otodidak)  melalui cara muthola’ah  (menelaah kitab) dan memahaminya  dengan akal pikiran sendiri,  kemungkinan besar akan berakibat negative  seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya.
Salah  satu contoh memahami dengan akal pikiran adalah memahami ayat-ayat  sifat tanpa ta’wil  atau tanpa mengambil hikmah sebagaimana yang  dipegang oleh  ulama-ulama korban hasutan atau ghazwul fikri (perang  pemahaman ) dari kaum Zionis Yahudi, seperti  ulama Ibn Taimiyyah, Ibnu  Qoyyim al Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahhab  dan para pengikutnya yang  mengi’tiqodkan berdasarkan makna dzahirnya
Terhadap  lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan  maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih  (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan  secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Imam  Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad,  “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi  Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari  berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu  salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis  dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat  Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna  khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa.  Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana  makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat),  ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Sayyidina  Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini  ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang  bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran  mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina  Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena  pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa  ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota  badan.”
Kita harus bedakan antara “mencari-cari takwil”  sebagaimana kaum mu’tazilah dengan “mentakwilkan” sebagaimana contohnya  yang dilakukan oleh Ibnu Abbas ra dan Ulil Albab lainnya
Doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk Ibnu Abbas ra untuk dapat menta’wilkan  atau mengambil hikmah,
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al Ta’wil
dan
Allahum ‘allimhu al hikmah
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah  menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan  As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang  dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang  banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman  Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Dijelaskan  dalam (QS Ali Imron [3]:7) bahwa yang dapat menta’wilkan atau mengambil  pelajaran (menta’wilkan) atau mengambil hikmah dari ayat-ayat  mutasyabihat adalah Ulil Albab, muslim yang menggunakan lubb atau akal  qalbu atau muslim yang menundukkan akal pikirannya kepada akal qalbu  sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/29/tundukkan-akal-pikiran/
Dalam  kitab-kitab ilmu tauhid seperti  kitab ilmu tauhid berjudul  “Hasyiyah  ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin”  karya Syeikh Al-Akhthal halaman 109 baris  9 s/d 12 menuliskan
و اعلم أن  من اعتقد أن الله جسم  كالأجسام فهو كافر و من المعتقد أنه جسم لا كالأجسام  فهو عاص غير كافر و  الاعتقاد الحق اعتقاد أن الله ليس بجسم و لا صفة و لا  يعلم ذاته الا هو
Artinya: “Dan ketahuilah oleh kalian bahwa sesungguhnya:
1.  Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala  seperti  jisim (bentuk suatu makhluk) sebagimana jisim-jisim lainnya,  maka orang  tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqad).”
2.  Orang yang  mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala  seperti jisim (bentuk suatu  makhluk), tapi tidak disamakan sebagaimana  jisim-jisim (bentuk-bentuk  makhluk) lainnya, maka orang tersebut  hukumnya “‘aashin” atau orang yang  telah berbuat durhaka kepada Allah  Subhanahu wa Ta’ala.
3. I’tiqad yang benar  adalah  i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu  bukanlah  seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa  sifat. Tidak  ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala  kecuali Dia.”
Dalam beberapa tulisan yang telah kami  sampaikan tujuannya untuk mengingatkan akan adanya hasutan atau ghazwul  fikri yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi yang berakibat segelintir  kaum muslim membenci mayoritas kaum muslim yang melaksanakan amal  kebaikan seperti dzikir berjamaah, maulid Nabi, tawassul, ratib,  istighotsah, ziarah kubur, yasinan, tahlilan, dll 
Bahkan  hasutan atau ghazwul fikri yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi  berakibat terjadinya pembunuhan terhadap sesama muslim seperti  pembunuhan terhadap Sayyidina Ustman ra, Imam Sayyidina Ali ra,  Sayyidina Husein ra dan pembunuhan lainnya sebagaimana yang terlukiskan  dalam tulisan pada  http://www.aswaja-nu.com/2010/01/dialog-syaikh-al-syanqithi-vs-wahhabi_20.html  atau pada  http://www.facebook.com/photo.php?fbid=220630637981571&set=a.220630511314917.56251.100001039095629
Contoh  pada zaman sekarang pembunuhan terhadap sesama manusia yang telah  bersyahadat akibat hasutan atau ghazwul fikri yang dilancarkan oleh kaum  Zionis Yahudi adalah apa yang terjadi pada tragedi Darul Hadits,  Dammaj, Yaman.
Majalah Dakwah Islam  “Cahaya Nabawiy”  Edisi  no 101, Januari 2012  memuat topik utama berjudul “SYIAH-WAHABI:  Dua seteru abadi” ,  Berikut  sedikit kutipannya,
**** awal kutipan ****
“Sebenarnya  ada fakta lain yang luput dari pemberitaan media dalam  tragedi itu.  Peristiwa itu bermula dari tertangkapnya mata-mata utusan  Darul Hadits  oleh  orang-orang suku Hutsi yang menganut Syiah. Selama  beberapa lama  Darul Hadits memang mengirim mata-mata untuk mengamati  kesaharian warga  Syiah. Suku Hutsi merasa kehormatan mereka terusik  dengan keberadaan  mata-mat ini. Kehormatan adalah masalah besar bagi  suku-suku di Jazirah  Arab. Tak ayal, suku Hutsi pun menyerbu Darul  Hadits sebagai ungkapan  amarah mereka. Selama beberapa hari Darul Hadits  dikepung orang-orang  Hutsi yang kebanyakan tergabung dalam milisi  pemberontak“
“Dua  warga Indonesia tewas dalam baku tembak, sementara yang lainnya   bersembunyi di kampus. Anehnya, meskipun beberapa kali dibujuk , para   mahasiswa tetap tak mau dievakuasi pihak kedutaan. Mereka berdalih bahwa   diri mereka sedang berjihad melawan musuh. Doktrin yang ditanamkan   kepada mahasiswa Darul Hadits cukup, sangar yakni, “Jihad terhadap syiah   rafidah al-Houtsi”
***** akhir kutipan *****
Ironis sekali , kedua sekte masing-masing merasa berjihad dan memerangi sesama manusia yang telah bersyahadat.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim 97)
Rasulullah lalu bertanya: ‘Kenapa  kamu membunuh orang yang telah  mengucapkan Laa Ilaaha Illaahu? ‘ Aku  menjawab, Wahai Rasulullah!  Sesungguhnya lelaki itu mengucap demikian  karena takutkan ayunan pedang.  Rasulullah bertanya lagi: Sudahkah kamu  membelah dadanya sehingga kamu  tahu dia benar-benar mengucapkan Kalimah  Syahadat atau tidak? Rasulullah  terus mengulangi pertanyaan itu  kepadaku hingga menyebabkan aku  berandai-andai bahwa aku baru masuk  Islam saat itu.  (HR Muslim 140)
Dia berkata, ‘Dan  kami saat itu diberitahukan peristiwa Usamah  bin Zaid, yang mana  ketika dia telah mengangkat pedangnya, tiba-tiba  orang musyrik itu  mengucap, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah)  kecuali Allah’, namun  dia tetap saja membunuhnya. Maka Basyir pun  mendatangi Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengadukan dan  menanyakan hal itu  kepada beliau. Dia menceritakannya kepada beliau dan  apa yang diperbuat  oleh lelaki tadi. Maka beliau pun memanggil Usamah  dan menanyainya,  ‘Kenapa kamu membunuhnya? ‘ Dia menjawab, ‘Wahai  Rasulullah, dia telah  melukai kaum muslimin, dia telah membunuh si fulan  dan si fulan, dan  dia menyebutkan sebuah nama kepadanya, dan sungguh  telah menyimpan  dendam terhadapnya, namun ketika dia melihat pedangku  ini, dia  mengucap, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali  Allah’.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah  kamu  yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya  lagi:  ‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada  tuhan  (yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak  ia  datang (untuk minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘  (HR Muslim 142)
Sedangkan kejadian sekitar abad 12 Hijriah terlukiskan dalam apa yang disampaikan oleh ulama-ulama bermazhab seperti
Dari  kalangan ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin   Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih   al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri   sekte Wahhabi, sebagai berikut:  “Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad  bin Abdul Wahhab), juga menentang  terhadap dakwahnya dan membantahnya  dengan bantahan yang baik  berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan  hadits-hadits Nabi shallallahu  alaihi wa sallam. Syaikh Sulaiman  menamakan bantahannya dengan judul  Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala  Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah  menyelamatkan Syaikh Sulaiman  dari keburukan dan tipu daya adiknya  meskipun ia sering melakukan  serangan besar yang mengerikan terhadap  orang-orang yang jauh darinya.  Karena setiap ada orang yang  menentangnya, dan membantahnya, lalu ia  tidak mampu membunuhnya secara  terang-terangan, maka ia akan mengirim  orang yang akan menculik dari  tempat tidurnya atau di pasar pada malam  hari karena pendapatnya yang  mengkafirkan dan menghalalkan membunuh  orang yang menyelisihinya.” (Ibn  Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal.  275).
Dari  kalangan ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang   populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah   Radd al-Muhtar sebagai berikut: “Keterangan tentang pengikut  Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij  pada masa kita. Sebagaimana  terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn  Abdil Wahhab yang keluar dari  Najd dan berupaya keras menguasai dua  tanah suci. Mereka mengikuti  madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka  meyakini bahwa mereka saja kaum  Muslimin, sedangkan orang yang berbeda  dengan keyakinan mereka adalah  orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu  mereka menghalalkan membunuh  Ahlussunnah dan para ulamanya sampai  akhirnya Allah memecah kekuatan  mereka, merusak negeri mereka dan  dikuasai oleh tentara kaum Muslimin  pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin,  Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262)
Dari  kalangan ulama madzhab al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad  al-Shawi  al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan  pendiri  Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai   berikut: “Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka  yang  mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab itu  mereka  menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana  yang  terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri  Hijaz  yang disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa  mereka  akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang   pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).
Salah  satu contoh penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward  Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens  Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan  berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan  mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf.
Laurens  mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis  buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut  diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak  orientalis.
Cara ulama-ulama yang anti tasawuf dan anti  mazhab menghasut adalah memotong-motong firman Allah, hadits  Rasulullah, perkataan Salafush Sholeh maupun perkataan ulama-ulama  terdahulu seperti perkataan Imam Mazhab yang empat.
Dalam  tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/02/potongan-perkataan-ulama/  telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh potongan perkataan ulama.
Dalam  tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/03/terhasut-pengalihan-makna/  telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh pengalihan makna  perkataan ulama.
Dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/05/menyalah-maknakan-hadits/  telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh penyalah makna dari  hadits.
Dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/08/terhasut-pembatasan-makna/  telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh pembatasan makna firman  Allah ta’ala
Contoh hasutan lainnya yang dilancarkan  oleh Kaum Zionis Yahudi adalah menghasut dengan cara mencitrakan hal  yang buruk terhadap tasawuf  dalam rangka menjauhkan umat Islam dari  jalan (thariqat) untuk mencapai muslim yang berakhlakul karimah atau  muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifat
Salah satu yang termakan hasutan atau ghazwul fikri dari kaum Zionis Yahudi adalah pemerintahan kerajaan dinasti Saudi
Ulama  keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abuya Prof. DR.  Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya dalam  pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah  1424 H di Makkah al Mukarromah, menyampaikan bahwa dalam kurikulum  tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah di Arab  Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah  (aliran–aliran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama. Kutipan  makalah selengkapnya ada pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/
Padahal  kalau kita mau melihat kurikulum atau silabus tentang tasawuf pada  perguruan tinggi Islam, pastilah tasawuf adalah jalan (thariqat) untuk  mencapai muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang ihsan atau  muslim yang bermakrifat
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak  & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah  Jakarta mengutip perkataan Imam  Syafi’i  ~rahimahullah yang menyatakan  bahwa orang yang buruk itu  seperti pantatnya dandang (tempat menanak  nasi) yang hitam. Kata Imam  Syafi’i, dia hitam, dan dia ingin  menempelkannya ke kulit kita. Kalau  kita terpancing, maka yang hitam itu  dua. Jadi kalau sampai kita sadar  bahwa ada ruhani yang tidak stabil,  dan kita terpancing untuk tidak  stabil, maka sesungguhnya yang terjadi  adalah dua ketidakstabilan,  karena kita terpancing. Selengkapnya uraian  dosen Ahmad Shodiq tentang  tasawuf dan pendidikan akhlak ada dalam  tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Pada  hakikatnya upaya kaum Zionis Yahudi menjauhkan kaum muslim dari tasawuf  adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaimana mereka  menyebarluaskan pornografi, gaya hidup bebas, liberalisme, sekulerisme,  pluralisme , hedonisme dll
Imam As Syafi’i  ~rahimahullah menasehatkan kita untuk menjalankan perkara syariat  sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus  menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh,  muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah  engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani  tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya  demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang  hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka  hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang  hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka  bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Begitupula  dengan nasehat Imam Malik ~rahimahullah bahwa menjalankan tasawuf agar  manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia  yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (perkara syariat) rusak  keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf  rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar” .
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Pos terkait