1482. KAJIAN KEISLAMAN : FIQIH DAN KEBEBASAN NEGARA

Dari tradisi keilmu-agamaan seperti itu sudah tentu logis kalau lalu muncul pandangan kemasyarakatan yang tidak bercorak “hitam-putih”. Perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan.

Bacaan Lainnya
Hal ini sudah tentu ada implikasinya sendiri kepada pandangan kenegaraan yang dianut warga NU yang masih belum kehilangan tradisi keilmu-agamaannya. Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksisitensi negara meng-haruskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah meng-haruskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan.
Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan per-baikan keadaan senantiasa bercorak gradual. Pandangan tentang negara barulah akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika keseluruhan tradisi keilmuagamaan yang dianut NU telah memberikan legitimasi untuk itu, seperti terjadi dengan “fatwa perang jihad” yang dikeluarkan Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy’ari pada permulaan perang kemerdeka-an, yang mendukung bentuk negara baru Republik Indonesia.
Ketentuan yang sama itu juga yang membuat NU menolak kehadiran “Negara Islam Indonesia” yang didirikan oleh Kartosuwiryo, bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat(pemberontak) yang harus dibasmi. Untuk keperluan itulah, dikukuhkan kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia menjadi waliyyul amri dharuri bissyaukah (pemegang pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh), oleh sebuah pertemuan ulama yang didominir ulama NU.
Presiden Rl diterima sebagai pemegang pemerintahan, karena negara telah ada dan harus ada yang memimpin. Kedudukannya bersifat sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak di-pilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (ahlul halli wal aqdi), melainkan melalui proses lain, sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan dimata hukum fiqh. Namun kekuasaannya tetap harus efektif, karenanya ia berkuasa penuh. Atas dasar kekuasaannya itu, ia berwewenang meng-angkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang itu kepada menteri agama. Misalnya saja, penunjukan ketua pengadilan agama sebagai wali hakim dalam kasus-kasus tidak adanya wali bagi gadis dalam pernikahan. Wali hakim (legal guardian) adalah keharusan dalam keadaan seperti itu, guna memperoleh keabsahan perkawinan yang diseleng-garakan dan sudut pandang fiqh.
Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan berorganisasi dewasa ini. Dalam pandangan fiqh asas Pancasila adalah salah satu dan sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi mengganti-kan kedudukan agama dalam kehidupan organisasi yang bersangkutan. Islam sendiri dapat saja diletak-kan dalam kedudukan yang berbeda-beda dalam kehidupan organisasi, dalam kurun waktu yang berlainan. Pada suatu saat ia dijadikan asas, di waktu lain dijadikan landasan keimanan (aqidah), karena masalahnya hanyalah sekadar pencapaian legitimasi dalam pandangan fiqh.
Karenanya, tuduhan oportunistik dalam watak politik NU tidaklah tepat. NU seringkali mengeluarkan keputusan yang secara sepintas lain tampak dibuat sembarangan, yang memenuhi selera penguasa pada satu saat, yang sangat bersifat akomodatif terhadap kepentingan pemerintah pada saat itu. Oportunisme NU itupun seringkali dijadikan kambing hitam bagi tidak konsistennya “perjuangan Islam” di Indonesia, dan menjadi casus belli perbedaan tajam dalam strategi perjuangan yang dianut sebagai gerakan Islam di negeri ini. Tuduhan itu dikatakan tidak tepat, karena bagi NU pedomannya bukanlah “strategi perjuangan politik” atau “ideologi Islam” dalam artiannya yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqh.
Fiqh menentukan asas organisasi sebagai hanya salah satu persyaratan hidupnya, sedangkan “landasan keagamaan” dapat saja dirumuskan dibagian lain dari anggaran dasarnya, seperti dibuat Munas Alim Ulama NU di Situbondo yang meletakkannya dalam Mukaddimah Anggaran Dasar NU yang akan diubah oleh Muktamar XXVII nanti. Ini memungkinkan penerimaan asas Pancasila. Fiqh menentukan absahnya kekuasaan Presiden Rl sebagai pemegang pemerintahan, karena ia harus ditunduki dan dipatuhi, di hadapkan sebuah Negara Islam Indonesia sekalipun!
Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melaku-kan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintahan untuk melaksanakan wewenangnya. Yang jelas, pandangan seperti itu -bagaimanapun- juga akan sering berbenturan dengan pandangan yang mem-perlakukan Islam sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi ideologi politik. Upaya menampilkan Islam sebagai ‘jalan hidup alternatif‘ yang membentuk sistem kemasyarakatan baru di luar yang telah ada, jelas sulit diterima oleh para ulama NU, kecuali jika telah menjadi bentuk kenegaraan yang memiliki wujud penuh dan mampu mempertahankan diri, seperti Iran, Libya dan Saudi Arabia dewasa ini.
Landasan penolakan sistem alternatif ‘Islam’ itu adalah keabsahan bentuk negara yang telah ada. Namun, itu tidak berarti jalannya pemerintahan juga lain terlepas sama sekali dari kendala keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqh, sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintahan sendiri sebagai “hambatan” di kala melaksanakan wewenang mereka. Untuk kepentingan penilaian apakah jalannya pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh, digunakan tolok ukur berupa sejumlah kaidah fiqh, seperti “kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikufi kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘alarraiyyah manutun bil mashlahah).
Bentuk formal pemerintahan dengan demikian fidaklah menjadi permasalahan bagi NU, selama masih diikuti pola perilaku formal negara yang tidak bertentangan dengan hukum fiqh. Kasus-kasus penyimpangan dari “pola umum” perilaku formal negara itu tidaklah sampai kepada penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintahan yang sudah ada. Sebagaimana yang dikemukakan Menteri Agama Munawir Syadzali dalam sebuah kesempatan, pemikiran para teoretis politik yang besar dalam Islam bukanlah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang telah ada. lbn Abi Rubai’,  al-Ghazali, lbn Taimiyyah, lbn Khaldun dan al-Mawardi jelas-jelas menempuh perbaikan keadaan secara gradual, dengan mencoba mencarikan masukan dari fiqh untuk menyempumakan bentuk-bentuk negara yang telah ada. Hanyalah al-Farabi yang mencoba menyusun sebuah Utopia berjudul “Negara Utama” (Al-Madinah Al-Fadhilah). Kasus-kasus penyimpangan haruslah ditangani secara kasuistik, bukannya dengan menolak kehadiran negara dan mengubah bentuk pemerintahannya.
Pola berpikir seperti itu jelas harus dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan di lingkungan NU sendiri, yang mengutamakan konsensus dalam artiannya yang paling luas. Fiqh, yang dirumuskan oleh para ulama NU sebagai “pengetahuan tentang hukum-hukum agama yang ditarik dalil-dalil sumbernya”, memberikan peluang sebesar-besarnya bagi semua pendapat untuk muncul dalam perdebatan mengenai sesuatu permasalahan. Spektrum pandangan yang begitu luas, dari yang menyetujuhi hmgga kepada yang menolak sesuatu usul, kemudian akan mengendap menjadi hanya dua atau tiga pendapat utama saja, masih dalam pola setuju atau menolak. Namun, masing-masing memiliki alasannya sendiri yang kuat, sehingga tidak dapat demikian saja diabaikan. Dari posisi seperti itu, akhirnya dipertemukan dalam sebuah sidang yang akan menformalkan pendapat akhir, seperti terjadi pada Munas Alim Ulama di Situbondo.
Dalam keadaan tidak dapat dicarikan pe-mecahan dan disepakati bersama, diambil keputusan untuk mengakui dua atau tiga pendapat utama sebagai pendapat yang sama-sama mengandung kebenaran. Dalam keadaan seperti itu, maka pendapat manapun yang digunakan oleh para warga NU tidak akan disalahkan oleh pihak yang berbeda pendapat. Kasus ini dapat dilihat dalam pendapat tentang DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royang) pada tahun 1960-an, dengan adanya dua pendapat yang saling bertentangan.
Pendapat pertama menganggap adalah we-wenang kepala negara untuk membekukan lembaga-lembaga perwakilan, jika di nilainya keadaan mendesak dan dapat menjadi keadaan darurat (Al-haja yanzilu manzilatad dharurah). Jadi ada keperluan untuk membekukan lembaga perwakilan yang ada, dan dengan sendirinya diperlukan gantinya. Karena tidak mungkin diselenggarakan pemilihan umum, kepala negara menggunakan wewenangnya untuk menyusun keanggotaan lembaga perwakilan baru dari keanggotaan lembaga perwakilan yang lama.
Pendapat kedua menganggap tidak sah pembubaran DPR hasil pemilihan umum 1955, karena itu berarti kepala negara menyerobot hak rakyat tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. Jika DPR tidak sah pembubarannya dengan sendirinya tidak dapat digantikan oleh DPR-GR. Dalam keadaan macet dan tidak dapat dipertemu-kan antra kedua pendapat itu, terbuka kemungkinan untuk menerima keanggotaan DPR-GR bagi yang menyetujui pembentukannya, dan juga disahkan penolakan oleh mereka yang tidak menerima keabsahan pembentukannya.
Mekanisme “setuju untuk tidak bersetuju” (agree to disagree) itu menjamin adanya proses tolak-angsur yang sangat fleksibel di lingkungan pengambilan keputusan dalam NU, sehingga dapat terjaga keutuhan organisasi yang senantiasa dipenuhi perbedaan pendapat itu! Walaupun ada juga kelemahan mekanisme pengambilan konsensus untuk setuju (dan juga untuk tidak setuju) seperti itu, seperti lamanya proses pengambilan keputusan dan tidak jelasnya pendapat organisasi dalam suatu masalah; yang jelas ia berhasil menjamin keutuhan NU, tidak sampai pecah menjadi dua seperti oganisasi lain. Demikian pula, dalam hal yang di-sepakati keputusan atasnya, lalu terjadi penerimaan yang tuntas atasnya oleh semua kalangan.
Sebuah kelemahan lain dari sistem pengambilan keputusan berdasarkan konsensus itu adalah relatif mudahnya dijaga status quo dan sulitnya dilakukan perubahan dalam tubuh NU.
Mekanisme “membenarkan dua pendapat” di atas belum tentu berarti mudahnya dilakukan percobaan untuk mengubah keadaan. Sebuah cara yang digunakan untuk menembus status quo itu adalah dengan cara “membudayakan terobosan”. Mereka yang ingin melakukan perubahan, harus memulai-nya di lingkungan sendiri, sudah tentu pula -dengan risiko ditanggung sendiri jika mengalami kegagalan. Jika telah dibuktikan hasil positif dari upaya rintisan itu, barulah akan muncul pengakuan (dan kemudian peniruan) dari kalangan warga NU yang lain, semuanya dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama.
Hal ini dapat dilihat dalam kasus madrasah nizamiah yang dirintis oleh K.H.A. Wahid Hasyim di Pesantren Tebuireng, Jombang, semasa hidup ayahnya, berupa sebuah sistem pendidikan agama dengan kurikulum campuran pada dasawarsa 1930-an. Temyata dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, upaya rintisan itu telah menjadi model utama bagi ratusan madrasah lain yang telah melihat sendiri kualitas tinggi dan para alumninya. Dengan “budaya terobosan” seperti itulah derajat toleransi terhadap inovasi di lingkungan NU temyata menjadi cukup besar.
DIKUTIP DARI KUMPULAN ARTIKEL GUS DUR

Pos terkait