Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,”Orang-orang  yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari  golongan  Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka  dengan baik,  Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah  dan Allah  menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir  sungai-sungai di  dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya.  Itulah kemenangan  yang besar“.  (QS at Taubah [9]:100)
Berdasarkan  firmanNya tersebut maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau firqatun najiyah  (golongan yang selamat) adalah orang-orang yang mengikuti Salafush  Sholeh.
Siapakah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh ?
Imam  Mazhab yang empat  adalah termasuk orang-orang yang mengikuti Salafush  Sholeh karena bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh
Jadi  kesimpulannya adalah orang-orang yang mengikuti Imam Mazhab yang empat  berdasarkan apa yang disampaikan  oleh para ulama yang sholeh yang  memiliki ilmu riwayah dan dirayah  dari Imam Mazhab yang empat adalah  termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah  atau firqatun najiyah (golongan yang  selamat)
Bagaimana dengan mereka yang mengaku Salafi atau Wahabi ?
Ulama  Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz mentashhihkan kitab biografi Ulama   Muhammad ibnu Abdil Wahhab karya Syaikh Ahmad ibn Hajar al- Butami yang   menyampaikan bahwa Wahhabi adalah pengikut ulama Muhammad bin Abdul   Wahhab
– Di halaman 59 disebutkan : ﻓﻘﺎﻣﺖ ﺍﻟﺜﻮﺭﺍﺕ ﻋﻠﻰ ﻳﺪ ﺩﻋﺎﺓ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﻴﻦ “maka tegaklah revolusi di atas tangan para da’i Wahhabi”
–  Di halaman 60 disebutkan : ﻋﻠﻰ ﺃﺳﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ ﻓﻲ  ﻣﻜﺔ “  atas dasar dari dakwah  agama wahhabi di Mekkah” , ﻳﺪﻳﻨﻮﻥ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ  ﻋﻠﻰ  ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻲ , “mereka  beragama dengan Islam atas Mazhab Wahhabi”
Salafi adalah  orang-orang yang merupakan produk atau hasil pengajaran para ulama dari kerajaan dinasti Saudi.
Jadi  Salafi atau Wahabi adalah mereka yang mengikuti akal  pikiran para ulama  seperti ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama Ibnu  Taimiyyah, ulama  Ibnu Qoyyim al Jauziah, ulama Al Albani dan ulama-ulama lainnya yang  mengaku-aku mengikuti Salafush namun kenyataanya tidak bertemu atau  bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh. Mereka mengikuti Salafush  Sholeh bersandarkan muthola’ah,  menelaah kitab dengan akal pikiran  mereka sendiri. Bagaimana hasil  telaah kitab yang mereka lakukan ?    Wallahu a’lam. Yang jelas mereka   tidak bertemu dan bertalaqqi (mengaji)  dengan Salafush Sholeh dan juga tidak dikenal berkompetensi sebagai  Imam Mujtahid Mutlak.
Sedangkan para  ulama sufi, dalam  perkara syariat atau fiqih  mereka istiqomah mengikuti  Imam Mazhab yang  empat. Mereka tidak  termakan oleh hasutan atau  ghazwulf ikri (perang  pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis  Yahudi untuk menyibukkan  diri, membuang-buang waktu untuk mengulang kembali apa yang telah  dikerjakan oleh Imam  Mazhab yang empat.
Perkara  syariat (fiqih) adalah segala apa  yang telah disyariatkanNya yang  meliputi menjalankan kewajiban yang jika  ditinggalkan berdosa, menjauhi  apa yang telah dilarangNya dan apa yang  telah diharamkanNya yang jika  dilanggar/dikerjakan berdosa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya  Allah  telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka  jangan  kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa  larangan  (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah  telah  mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu   pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda   kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan   dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Tidak  ada  hal yang baru dalam perkara syariat (fiqih). Tidak diperbolehkan   mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya, melarang sesuatu yang tidak   dilarangNya maupun mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah!  Tuhanku hanya  mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul  daripadanya dan apa  yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak  benar dan kamu  menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak  turunkan keterangan  padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah  dengan sesuatu yang kamu  tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Dalam hadits Qudsi ,  Rasulullah bersabda: “Aku  ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang  lurus, tetapi kemudian  datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini  kemudian membelokkan  mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka  sesuatu yang Aku  halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya  mereka mau  menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan  keterangan  padanya.” (Riwayat Muslim)
Tidak ada seorang ulama mujaddid (pembaharu) pun yang boleh melakukan pembaharuan dalam perkara syariat.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda, “di  dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal  pikiran,  sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan  larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Dalam  perkara  syariat (segala apa yang telah disyariatkanNya) atau fiqih  kita harus bersikukuh  atau istiqomah hanya dengan apa yang telah  disampaikan oleh lisannya  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sedangkan para ulama sufi dengan thariqat-thariqat nya mereka tidak terkait dengan perkara syariat (fiqih).
Mereka  hanya “menceritakan” tentang perjalanan mereka hingga mereka  sampai  (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla. Tentulah pengalaman  perjalanan  tersebut bersifat indvidual sehingga bisa saja terjadi  perbedaan di   antara sufi sesuai tingkatan maqom (derajat) mereka disisi  Allah Azza   wa Jalla
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Adapun  orang-orang yang beriman  kepada Allah dan berpegang teguh  kepada  (agama)-Nya niscaya Allah akan  memasukkan mereka ke dalam rahmat  yang  besar dari-Nya (surga) dan  limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki  mereka  kepada jalan yang lurus  (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175) 
“Allah  membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan  Allah  memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha   Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35  )
“Sesungguhnya  Kami telah mensucikan mereka dengan  (menganugerahkan kepada mereka)  akhlak yang tinggi yaitu selalu  mengingatkan (manusia) kepada negeri  akhirat. Dan sesungguhnya mereka  pada sisi Kami benar-benar termasuk  orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan  barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu  akan  bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,   yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan   orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim  yang terbaik untuk bukan Nabi dalam meraih maqom  disisiNya  sehingga  menjadi kekasih Allah (wali Allah) dengan mencapai  shiddiqin,  muslim  yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain  bashiroh)  atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan  shiddiqin  sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Utsman bin Karamah telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal telah menceritakan kepadaku Syarik bin Abdullah bin Abi Namir dari ‘Atho` dari Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah   berfirman; Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang   kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan  diri kepada-Ku dengan   sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang  telah Aku wajibkan, jika   hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah,   maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah   pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia   jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul,   dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku,   pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti   Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi   pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa   seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri   khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya  ada  di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi  dan  bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan  Syuhada’  pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi  Allah Swt  seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu  wahai  Rasulullah?  Semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi Saw menjawab  dengan   sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang  dengan   anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan  karena  harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka  berdiri di  atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut  seperti  manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para  manusia  berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya   diantara hamba-hambaku  itu ada manusia manusia yang bukan termasuk   golongan para Nabi, bukan  pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah   ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan   syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan   mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang   saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak   bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya,   dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat   mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut  seperti yang  ditakuti  manusia, dan tidak susah seperti yang  disusahkan manusia,”  kemudian  beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah  itu,  tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka  bersedih  hati. (QS Yunus [10]:62 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
			
									





